About

If I wind....I can bring every single laugh and tears in the same way
Should I tell you like the same way when I was crying or laughing at that time?

Let's be a friend!!!

Cari Blog Ini

We Need Time, Only Time

We Need Time, Only Time

Di dunia ini tidak ada hal yang paling kuinginkan selain meminta maaf padanya. Entahlah, aku hanya ingin mengatakan padanya perkataan itu sejak aku menariknya masuk ke kehidupanku. Sejak 24 jam hidupku mulai disesaki dirinya. Aku ingin sekali menatap mata beningnya  lalu mengusap bahunya sambil mengatakan permintaan maaf berkali-kali. Aku tidak tahu itu karena keegoisanku atau aku yang mulai tidak tahan melihat mata terluka itu tiap pandangan kami bertemu.
            Aku akui kalau aku laki-laki paling pengecut. Mengucapkan kata maaf pada orang yang paling kucintai pun aku tak sanggup. Bahkan saat sosoknya bersliweran di hadapanku 24 jam. Kata-kata itu terkunci di bibirku. Dan hanya bisa kubisikkan diam-diam ke telinganya saat ia tertidur.
***
            Nania  mengusap rambutnya saat panas matahari menampar pipinya lembut. Ah, dia pasti kesiangan lagi. Kadang dismonerhae gara-gara haid itu membuatnya tak bisa membuatnya mengangkat tubuh dari kasur.
            Dia berjalan tertatih ke dapur. Rumah sepi. Apa dia sudah berangkat? Baguslah. Setidaknya aku  tidak perlu bersikap sebagai istri sok baik yang  selalu menyalaminya setiap pagi. Nania melirik tudung dapur yang tertata sempurna. Sebuah kertas pink terselip di atasnya. Itu warna kesukaan Nania. Pasti Ivan yang meletakkannya di sana sebelum berangkat tadi.
            Selamat ulang tahun, Nania
            Ini kado pertama hari ini. Aku akan memberi kado lain saat aku pulang nanti.
            What?! Ulang tahun?! Apa-apaan laki-laki ini, bahkan dia sudah lupa kapan hari lahir sababat...ah, istrinya sendiri.
            Nania menghela nafas. Ditatapnya foto pernikahan mereka yang menggantung bisu di ujung dinding. Foto yang aneh bagi Nania. Karena tidak ada satupun lekukan senyum di bibir mungilnya. Itu sudah dua tahun lalu. Dua tahun yang menyakitkan bagi Nania saat dia ingat apa alasannya menikah dengan laki-laki itu. Dia bahkan heran kenapa bisa melewati dua tahun bersama laki-laki itu.
            Ponsel Nania bergetar pelan.  Beberapa kiriman foto masuk di LINE miliknya. Dari Ivan. Menyuruhnya datang ke salah satu kedai teh di pinggiran Bandung nanti sore. Ada sesuatu yang ingin dia bicarakan, begitu katanya. Nania mengabaikannya sejenak sebelum akhirnya mengiyakan dalam hati. Oke, Van. Doakan aku tidak ketiduran lagi.

***
            Nania mengerang kesal meliat kamar Ivan. Apa laki-laki itu tak pernah bisa mengurus dirinya? Dia bergidik jijik melihat botol-botol kopi beserak di sudut ruang itu. Bagaimana dia bisa bertahan di tempat seperti ini sih?
            Nia, aku minta tolong padamu. Aku ada meeting nanti malam. Laptopku ada di kamar. Bisa tolong anbilin?
            Itu permintaan Ivan sejam lalu. Nania nyaris membalasnya dengan penolakan. Tapi mengingat dia akan menemui laki-laki itu nanti sore, kenapa ia tidak berbaik hati sekalian membawakan laptopnya?
            Nania membawa laptop maroon itu keluar sebelum berpikir untuk mengacak-acak file Ivan. Dia tertegun lama saat berhasil membuka password laptop Ivan dengan mengetik namanya. Ditatap lama layar desktop yang menampil cengirannya saat wisuda di samping Ivan. Nania menutup laptop itu cepat. Berharap ingatan lamanya tidak ditarik keluar lagi.
            Ah, laki-laki ini....
***
Aku meremas amplop coklat yang kupegang. Membuat ujungnya terlipat. Desahan napasku keluar lagi.  Bercampur dengan dingin yang mulai merambat di tepian kota Bandung. Ayo, Van...kita akhiri saja beban yang selama ini membuatmu mati rasa.
            Kusesap vanilla latte yang kupesan duluan. Kopi favoritku itu bahkan terasa perih saat menyentuh lambung. Aku kembali menghela napas sambil menatap foto Nania. Bukan. Itu foto pernikahan kami berdua. Tapi hanya fotonya yang kugunting dan kuselipkan di dompetku. Kuusap wajah lembutnya pelan. Bahkan dia tidak sanggup tersenyum di hari pernikahannya. Dan aku lah satu-satu orang yang membuatnya seperti itu.
            Awalnya, aku dan Nania hanya kawan biasa. Kami sama-sama aktif di organisasi kampus dan menjadi kawan dekat. Dia adalah gadis manis yang selalu mengumbar senyumnya. Jujur, aku menyukainya sejak kali pertama aku menatapnya. Tapi aku hanya menyimpan perasaan itu di depannya. Dia gadis yang terlalu baik untukku.Dan terlalu naif kalau aku berpikir untuk memilikinya.
            Sampai suatu hari Nania wisuda dari kampus. Aku yang sudah meniti karier di dunia kerja menyiapkan pesta kecil bersama teman-teman yang lain. Tidak ada yang aneh memang, hingga kejahilanku dan cowok-cowok lain kambuh. Kami menaruh wine di gelas Nania. Sengaja membuat gadis perfecsionis itu kehilangan kewarasannya.
            Itu adalah awal di mana aku menghancurkan seluruh kehidupan Naina. Menghancurkan mimpinya dan mimpi orang tuanya.
            Malam itu Nania benar-benar mabuk. Dia menceracau tak karuan di depanku sampai akhirnya  jatuh tertidur tepat di bahuku. Entah iblis mana yang merasukiku saat itu.  Malam itu, aku tega merengut kehormatan Naina. Membiarkan gadis itu mengiyakan apa yang aku inginkan sebagai seorang laki-laki.
            Dan paginya, saat Nania sadar, dia mendelik ke arahku. Dia menatapku setengah tak percaya sebelum akhirnya  memakiku dan menamparku berkali-kali. Letupan amarahnya terasa menyakitkan sekali di pipiku. Itu adalah akhir persahabatan antara aku dan Nania.
***
            Semuanya terasa asing sekarang. Nania tidak pernah mau menemuiku. Dan aku juga tidak berani menemuinya. Sampai kabar itu mampir di telingaku. Nania hamil. Hanya berselang  dua bulan sejak kejadian itu, kawan sekampusku yang memberi tahu  kalau Nania hamil.
            Aku tidak tahu apa lagi yang ada di otakku selain rasa bersalah yang makin hari makin menikam dada. Sampai aku datang menemui Nania. Tapi bukan permintaan maaf yang terlontar. Aku mengajaknya menikah. Menyembunyikan perutnya yang makin lama makin membuncit. Dan aku yakin Nania tidak punya pilihan lain. Aku benar-benar merasa jadi makhluk paling jahat saat itu. Tapi aku juga tidak tahu apa yang harus aku lakukan selain hal itu..
            Dan saat itulah aku benar-benar menghapus senyum di bibir Nania.
            Anak itu tidak pernah lahir. Nania keguguran sebulan setelah aku dan dia menikah. Depresi berat, itu kata dokter yang menangani Nania. Dan penjelasan itu cukup membuatku ditusuk seribu sembilu. Aku bisa melihat Nania menangis saat itu. Bahunya terguncang hebat. Dan saat aku ingin meraihnya, dia buru-buru menampik lenganku. Menatapku penuh kebencian. Saat itulah aku kembali menghapus senyum milik Nania.
            Aku menyukainya. Sungguh mencintainya. Tapi entah kenapa apa yang aku lakukan justru membuatnya makin membenciku. Dan ujung-ujungnya selalu membuatnya terluka.
***
            “Apa yang ingin kau bicarakan, Van?” Nania mengambil tempat di seberang Ivan sambil merapikan blus satunnya. Dia menyerahkan laotop Ivan lalu menatap sekilas laki-laki itu. Entah kenapa kali ini Nania menatap laki-laki di depannya lain. Tadi siang dia menemukan setumpuk file milik Ivan. File yang terpassword dan dibuka Nania dengan mudah hanya dengan mengetik namanya, tanggal lahirnya, dan tanggal pernikahan mereka. 
            Ivan suka fotografi. Nania tahu itu sejak pertama kali mereka bertemu. Tapi Nania sama sekali tidak tahu kalau Ivan suka sekali memotretnya diam-diam. Sejak pertama kali mereka saling kenal sampai sekarang.
            Ivan tersenyum tipis. “Mau pesan apa. Aku yang traktir.”
            Nania mencibir pelan. “Boleh aku tanya?”
            “Ehm..?”
            “Van, kamu seharusnya ingat kan kalau hari ini bukan hari ulang tahunku?”
            Ivan mengangguk. “Ingat. Kenapa?”
            “Lalu kenapa kau mengatakan ‘selamat ulang tahun’ padaku?”
            Ivan memutar bola matanya. Cara yang selalu ampuh membuat Nania tertawa. Dulu tapi. “Kamu ingat? Hari ini adalah tanggal pertama kali kita bertemu...”
            Nania menautkan alisnya. Oh ya? Dia bahkan sudah lupa kapan bertemu pertama kali  dengan Ivan. Karena yang ada di ingatan Nania cuma... Nania buru-buru menghela nafas dalam. Mencoaba mati-matian berdamai dengan kejadian itu.
            “...dan mungkin hari ini hari terakhir kita bertemu.” Ivan menatap mata jernih itu yang mulai kebingungan. Dia meliukkan senyum.
            “Maksudmu?”
            Ivan mengulurkan amplop coklat yang sudah lecek di tangannya. Dan Nania hanya menatapnya penuh tanya.
            “Apa ini?”
            “Surat cerai.”
            Nania membeku di tempatnya. Apa?! Cerai?! Ditatap raut laki-laki di depannya yang menyiratkan kesungguhan.  Jangan bercanda. Apa laki-laki di depannya ini mau membuangnya begitu saja? Setelah apa yang dia lakukan pada kehidupanku?
          “Aku mencintaimu, Nia. Sangat. Tapi perasaanku sangat menyakitkan buatmu bukan? Makanya...ayo kita cerai saja. Aku tidak tahan melihatmu terluka karena aku.”
            Jemari Nania bergetar mendengarnya. Dimasukkan surat itu ke tasnya. “A-aku....akan memikirkannya,” ujarnya sebelum meninggalkan Ivan.
***
            Ini sudah tengah malam. Dan aku masih menatap langit kamar kosong. Berusaha melukis bayangan laki-laki yang tadi sore menatapku berkaca-kaca. Pandanganku beralih pada amplop colat yang bisa kutebak apa isinya. Aku mendesah.Ada beban yang tiba-tiba menghimpit paru-paruku.
            Aku memang tidak menyukainya. Tapi tidak bisa sepenuhnya membenci laki-laki itu. Tentu saja. Aku pernah menyukainya sebelum dia melakukan hal itu padaku. Iya, pernah...meski cuma sebentar.
            Dinding di kamarku kali ini benar-benar terasa dingin. Di samping kamarku ada kamar Ivan. Entah apa yang laki-laki itu lakukan sekarang. Sejam lalu aku masih bisa mendengar Simple Plan mengalun sebelum akhirnya mati. Kutatap lagi amplop itu lama. Surat cerai?
             Aku mencintaimu, Nia. Sangat. Tapi perasaanku sangat menyakitkan buatmu bukan? Makanya...ayo kita cerai saja. Aku tidak tahan melihatmu terluka karena aku.
            Dia mencintaiku? Tapi kenapa dia ingin cerai denganku? Karena dia selalu menyakitiku? Ah, padahal seandainya dia mengucapkan maaf sekali saja, aku akan mencoba memaafkannya. Aku menutup separuh wajahku dengan bantal. Menyembunyikan sesak yang tiba-tiba menjalar cepat. Dan aku menangis.
***
            Ivan terkejut saat melihat Nania sudah bergumul dengan panci penggorengan saat adzan subuh baru berkumandang. “Apa yang kau lakukan?”
            “Kau tak bisa melihatku memasak? Kau bilang kau ada meeting pagi nanti kan? Aku sedang membuatkanmu sarapan,” terang Nania diantara kesibukannya membalik nila di panci penggorengan.
            “Ah...” Ivan mengangguk. Membiarkan Nania melakukan kebiasaannya itu. “...Nia, soal surat..”
            “Aku membakarnya,” potong Nania cepat.
            Prang! Ivan menjatuhkan gelas yang dipegangnya. Ditatapnya Nania setengah tak percaya.
            “Ah,kenapa kau menjatuhkannya. Itu gelas oleh-oleh temanku dari Prancis tau?” Nania mulai merepet. Dia memunguti pecahannya dan .... “Ah...”
            “Nia! Kau tidak apa-apa?” Ivan meraih tangan Nania cepat. Memastikan kalau dia tidak apa-apa. Tapi Nania buru-buru menarik tangannya. “Ah, maaf...”
            “Kau bisa mengucapnya kan?”
            “Apa?”
            “Barusan kau mengucapkannya. ‘Maaf’.” Nania menatap laki-laki di sampingnya. Mungkin ini kali pertama dia kembali menikmati mata bulat itu. Mata yang selalu dinilai sebagai mata yang paling jujur yang pernah Nania tahu. “Seharusnya kau mengucapkannya dari dulu.”
            “Nia...aku...” Ivan kehilangan kata-katanya.
            “Apa kau pikir hidup di sini bersamamu itu mudah? Memang kau pikir aku masak setiap hari, mencuci bajumu setiap hari, membersihkan rumah sampai pinggangku mau patah itu mudah? Apa kau pikir aku mau melakukannya tanpa upah? Tapi aku melakukannya kan? Apa itu bukan berarti ada cinta yang setiap hari kulakukan untukmu?”
            Ivan membiarkan jantungnya berpacu kencang. Dia bisa merasakan himpitan yang selama ini menyesaki dadanya mulai berkurang.
            “Seseorang pernah mengatakan padaku. Ketika kau mencintai seseorang terlalu besar , kau harus menerima konsekuensi  kalau dia tak akan melihat cintamu. Atau ketika cinta itu terlalu dekat, kau juga harus menerima konsekuensi kalau dia tak akan menyadari cintamu. Aku benar  kan?”
            “...”
            Kali ini Ivan terkatup. Itu kata-kata yang dia ucapkan saat menyatakan perasaannya pada Nania secara tidak langsung. Dulu Ivan selalu berpikir kalau Nania tidak akan mengerti maksudnya. Tapi sekarang Ivan tahu, Nania bahkan mengingat kata-kata itu.
            “Kita hanya perlu waktu, Van. Kau butuh waktu untuk meminta maaf padaku. Dan aku...juga butuh waktu untuk memaafkanmu. Kita hanya butuh waktu, Van.”
            Nania menahan  napas. Kali ini dia tidak mendorong tubuh kekar Ivan saat laki-laki itu memeluknya.
End***end

            

¡Compártelo!

0 komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger
 
Little Queen Wind Copyright © 2011 | Tema diseñado por: compartidisimo | Con la tecnología de: Blogger