Pengalaman kemarin nulis cerpen buat lomba LSCO. Dapet ide 7 jam sebelum deadline penutupan, dikerjakan 5 jam sebelum deadline penutupan. Menyerah di hitungan mundur satu jam. "Ya udah deh, kirim aja. Ketimbang kecewa gara-gara gak ngirim mending kalah secara terhormat." Itu yang kupikirkan waktu itu. Waktu berlalu...dan aku lupa kalau sempet ikutan event ini. Sampai SMS dari panitia datang:
Panitia : Assalamualaikum. Maaf, kami dari panitia LSCO, bisa minta kirimin nama asli dan biodata narasi lengkap. Kami butuh untuk proses lebih lanjut.
Waktu SMS datag pagi-pagi sempet mikir, nih orang salah kirim apa kek mana sih?! LSCO apa ya? Kapan aku ikut nih agenda.
Me : LSCO apa ya?
Panitia : Lho belum buka pengumuman ya mbak?
Me : *masih nggak ngeh* Akhirnya aku obrak-abrik FB dan nemuin salah satu web yang pernah aku share. Owaalah....ternyata...:D. Dan ngakaklah begitu lihat pengumumannya.
Aku sadar kok, dari sisi diksi, cerita ini masih gabut banget. Seandainya aku kasih ke mentorku di #KampusFiksi pasti aku dijtak habis-habisan. Tapi ya kek mana lagi? Aku baru kepikiran ide 7 jam sebelum DL, digarap cerpennya juga hanya dalam waktu 5 jam tanpa selfedit. Pake ding tapi cuma sekali. Dan hasilnya kayak gitu. Hemmm....Ini bukti the power of kepepet kali ya. Hehehe.
Abandon
Jakarta,
2150
Di
sebuah kawasan metropolitan , seorang
laki-laki paruh baya duduk di salah satu
privat bar. Ditemani alunan lagu-lagu
barat yang menghentak lembut. Dia
mengetukkan jemarinya di meja gelisah.
Terlihat sedang menunggu seseorang.
“Dok?”
Seorang laki-laki klimis yang lebih muda dari laki-laki yang duduk itu tiba
sambil berusaha mengatur nafasnya yang masih terengah-engah.
“Ah,
Nathan...akhirnya kau datang,” serunya lega. Dia menyuruh laki-laki yang dia
panggil Nathan itu duduk disampingnya. “Jadi bagaimana? Kau sudah mendapatkan
info?”
Nathan
mengangguk. Dia merapikan jas maroonnya
sambil berusaha mengusir gugup. “Mereka menambah pintu gerbang dan
melipatkan penjagaan, Dok.”
Laki-laki
itu menghela nafas. Meskipun dia sudah menduganya, dia tidak berpikir untuk
mendengarnya dari anak buah kepercayaannya itu, Nathan. Pikirannya melayang.
Dia kembali teringat puluhan tahun
sebelum dia sampai di kota ini dan duduk di salah satu kursi pemerintahannya. Siapa sangka beberapa dekade kemudian tempat
yang dulu sangat dia sukai menjadi tempat yang mengerikan.
Masih
segar di ingatannya saat penduduk kota itu yang mulai diblok-blok berdasarkan kasta
mereka. Masyarakat kelas rendah dan miskin
ditempatkan di tembok paling dalam. Terisolasi dari dunia luar. Dibiarkan terpuruk dalam kemiskinan , virus
mematikan dan wabah penyakit. Tembok yang lebih luar memuat mereka yang hidup
serba pas-pasan dan berkecupan. Sedang tembok terluar ditempati para politikus
dan para pemegang tapuk pemerintahan yang mengaku peduli akan nasib rakyat.
“Itu
harus kita lakukan, Gi?”
“Untuk
apa? Kita ini pemimpin yang bertanggung jawab pada hidup mereka,Leo?” Laki-laki
itu kembali teringat percakapannya dengan salah satu rekannya yang bekerja di pemerintahan.
Kawan lama sekaligus teman seperjuangan selama hidup di Jakarta.
“Gi,
kamu tahu apa yang menyerang mereka? HIV, AIDS, dan entah penyakit apa yang
menempel di tubuh mereka. Kita melakukanya untuk melindungi penduduk lain di
tembok yang lebih luar. Agar mereka tidak tertular.”
“Leo,
mereka....yang berada di tembok paling dalam tidak akan punya kesempatan untuk
menyembuhkan diri mereka kalau kita tidak membantu mereka. Mereka bahkan tidak punya penghasilan untuk makan,
Leo,” Gio menatap sahabatnya. Dia benar-benar tidak mengerti kenapa idealisme
yang pernah mereka bangun semasa masih mahasiswa runtuh disini.
“Gi,
kalau kau membantu mereka, aku pesan jangan. Yang berada di dalam tembok biarlah di dalam tembok.”
Gio
menghela nafas berkali-kali mengingatnya. Ini kesalahannya, juga kesalahan
kawan-kawannya yang membiarkan perdanganngan bebas di tahun kesekian menjamur.
Membuat semua barang yang entah apa masuk tanpa disortir. Mereka bahkan tidak
sadar kalau virus-virus baru berdatangan bersamaan dengan barang itu. Menyerang
mereka yang tidak punya biaya jaminan kesehatan. Dan satu-satunya cara untuk
melindungi mereka yang belum tertular adalah pembangunan puluhan tembok blokade. Tembok perlidungan dengan jarak puluhan kilometer yang
memisahkan masing-masing kasta. Meminimalisir korban. Itu alasannya.
“Dok,
apa dokter yakin dokter akan turun tangan ke tembok terdalam?”
Gio
mengangguk. Sebagai dokter pribadi keluarga presiden, mau tidak mau Gio harus turun ke tembok terdalam.
Ini tuntutan kemanusiaan.
“Iya.
Tentu saja, aku harus tahu virus apa yang menyerang mereka. Dan satu-satunya
caraku untuk mengetahui apa itu adalah
datang ke tempatnya.”
“Tapi,
Dok...”
“Nathan...”
Gio menahan nafas lalu menatap anak buah
sekaligus muridnya itu dalam. “Aku memintamu kemari untuk mencari tahu jalan
ke tembok dalam tanpa ketahuan kan? Jadi apa kau sudah menemukannya?” Gio
mengalihkan pembicaraan.
Nathan
membalas tatapan itu ragu. Tapi dia tetap mengangguk pelan. “Ya, Dok..”
***
Malam
itu, Gio membulatkan tekadnya untuk menyusup ke tembok terdalam. Tempat
yang pernah dia datangi satu dekade
silam. Karena setelah itu Gio ditarik menjadi dokter pribadi presiden lalu mendekam di tembok terluar. Membuat aksesnya keluar-masuk tembok
blokade semakin sempit.
Dirapatkan
jaket antiviral yang ia kenakan. Dia
menyalakan monitor yang keluar dari jam tangannya. Sebuah teknologi bentukan
Barat yang pernah beredar beberapa waktu lalu. Monitor itu memandunya masuk ke dalam
lorong-lorong yang gelap yang
menunjukkan sebuah peta hasil
riset Nathan. Dia akan kesana sendirian. Terlalu berbahaya jika mengajak Nathan
keluar.
Gio
yakin sudah menjalankan sepatu anginnya
sepanjang malam menelusuri lorong itu, tapi entah kenapa lorong itu tak
berujung sama sekali. Gio mersasakan ada secercah cahaya yang menyapa matanya sesaat sebelum dia menyerah. Dan
ketika dia benar-benar menemukan ujung
lorong itu, Gio nyaris tidak percaya dengan penglihatannya.
Puluhan,
atau bahkan ratusan manusia kurus kering tanpa daging berkeliaran
di luar tembok. Mereka bersandar pada dinding tembok yang kasar dan berbatu tanpa tenaga. Sorot dari mata cekung mereka menunjukkan
penderitaan yang amat sangat.
Gio menelan ludah kelu. Ada perasaan
bersalah yang menghantam
dirinya. Dia memutuskan untuk mendatangi mereka. Sekedar melihat kondisi dan memastikan apa
yang sebenarnya terjadi pada mereka.
“Maaf
permisi?” Gio menatap perempuan yang tidak bisa ia tebak usianya.
Perempuan itu terduduk diam dengan mata
terpejam.
Gio
nyaris mundur beberapa langkah begitu melihat wanita di depannya itu membuka mata lalu menatapnya tajam. Pandangannya bukan lagi
pandangan manusia. Entah bagaimana Gio
menjelaskannya. Detik berikutnya, wanita itu, entah mendapatkan kekuatan dari mana, mencekal lengan Gio kasar. Dia berusaha
merobek pelapis jaket antiviral yang membungkus Gio sambil menceracau tak
karuan. Mengeluarkan seluruh umpatan yang dia tahu pada pemerintah.
Gio
hanya bisa menelan ludah pahit.
DOR!
Sebuah
letupan membuat perempuan itu ambruk. Gio mendongak. Matanya membulat melihat
Nathan yang berlari ke arahnya sambil menenteng pistol. “Dok!”
“Apa
yang kau lakukan?!” Gio menahan
amarahnya. Mereka kini dikeliling puluhan pasang mata yang menatap mereka
kelaparan.
“Dok,
kau bilang kau hanya akan mengobservasi
mereka. Bukan mendatangi mereka. Itu berbahaya, Dok!”
Gio
mundur perlahan. “Ada apa denganmu? Bagaimana kau bisa menganggap berbahaya kalau kau tidak tahu apa yang terjadi dengan mereka?!”
Nathan tercekat. Dia hanya menunduk melihat tatapan
nanar dari gurunya itu. “Dok, ayo tinggalkan tempat ini. Aku tidak bisa
menjamin keselamatan dokter kalau kita terus disini....”
Gio
mengabaikan teriakan Nathan. Disambar jarum suntik yang sudah dia siapkan sebelumnya. Dia mengambil sampel darah dari
wanita yang kini telah tewas di depannya. Dia harus tahu...apa yang sebenarnya
terjadi di sini. Penyakit macam apa yang menjangkiti mereka.
***
Gio
nyaris tidak percaya dengan apa yang
dilihatnya di bawah mikroskop nano
elektron yang dia miliki. Sampel darah wanita itu mengandung virus yang sudah lama dinyatakan
hilang dari muka bumi. Bagaimana bisa? Volksyrine,
nama virus yang Gio temukan setengah dekade lalu muncul kembali setelah di
berhasil membuat antivirusnya. Bagaimana bisa?
Bukankah
dulu dia menolak mematenkan vaksin yang dibuatnya
agar seluruh lapisan masyarakat bisa menggunakan vaksin itu tanpa
gangguan biaya? Bukankah dia sendri yang membagikan vaksin itu pada mayarakat
saat kampanye presiden yang sekarang? Lalu bagaimana bisa virus itu kembali ada
dan menyerang mereka yang sudah pernah mendapatkan vaksin?
Gio
menoleh saat pintu ruangannya dibuka. “Leo, apa yang kau lakukan disini?”
“Mengunjungi
kawan lama,” sahut Leo cepat. “Kau sendiri kelihatan sibuk akhir-akhir ini? Aku
jarang melihatmu mendampingi presiden.”
Gio
mencoba menyingkirkan file yang terpampang di komputernya dalam ketukan jari.
Dia mencoba tersenyum tenang. “Presiden baik-baik saja. Tidak ada yang perlu
dikhawatirkan dari dia. Kau sendiri, apa kau menjalankan tugasmu dengan baik? Sebagai
sekretarisnya?”
Leo
tertawa. “Tentu saja. Hey, kenapa kau ini? Kau kelihatan gugup?”
“Gugup?
Kenapa aku harus gugup?”
“Benar
juga ya. Kenapa juga kau harus gugup.” Leo membanting tubuhnya ke sofa. Dia
menatap kawannya lama. “Gi, ada sesuatu yang harus kukatakan padamu...”
Belum
sempat Gio membuka mulutnya untuk bertanya,
sesuatu yang dingin menempel di kepalanya. Pelatuk. Sebuah pelatuk dan
seseorang yang membawanya. Gio berbalik dan mendapati Nathan mengacungkan
Walther keperakan itu ke kepalanya.
Pistol buatan Jerman itu tepat menyentuh batok kepalanya.
“Nathan?!
Apa yang kau lakukan?”
“Maaf,
Dok...aku harus melakukannya.” Gio nyaris tidak percaya melihat kilat tajam
dari mata anak itu. Jangan-jangan dia....
“Gio,
aku sudah melarangmu berurusan dengan mereka. Tapi kenapa kau ngotot untuk menyelinap menemui mereka?”
“Apa
kau tahu sesuatu?” Gio berusaha membaca
situasinya sekarang. Apa yang sebenarnya
terjadi dengan semua ini?
“Itu
memang Volksyrine. Virus lama yang
kau temukan bersama Nathan, murid kesayanganmu itu. Aku menyuruh anak muda itu
memodifikasinya.”
Gio
membulatkan matanya. Dia berbalik menatap Nathan dan mendapati anak itu hanya menatapnya dengan
mata penuh penyesalan. Ada apa ini?
“Leo,
apa yang sebenarnya terjadi?”
“Aku
ingin membuatnya menjadi senjata biologi pemusnah massal.”
“APA?!
Kau gila. Untuk apa?”
“Tentu
saja untuk balas dendam pada orang-orang
yang menggencet negara kita, mengeruk kekayaan tanah kita, dan memperbudak kita
bertahun-tahun silam.”
Gio
nyaris tidak percaya dengan pendengarannya. Apa monster yang berdiri di depannya itu
benar-benar kawannya?
“Apa
kau tahu...mereka juga pernah melakukannya pada kita. Menyebarkan virus
mematikan pada kita lalu membuat vaksin untuk kita. Demi keuntungan. Demi uang.
Itu juga cara yang akan aku gunakan pada mereka.”
“Well,
Leo...aku mengerti maksudmu, tapi kenapa harus membuat warga kita menderita?
Mereka juga bagian dari tanah ini kan?”
Leo
mengangguk. “Itu hanya strategi tarik ulur. Kita harus membiarkan mereka melihat kalau negara kita juga pernah tertular
virus yang sama. Setidaknya mereka akan berpikir kalau kita sama-sama korban.”
Gio
menelan ludah. Apa yang sebenarnya merasuki pikiran kawannya itu? “Kau
mengkhianati bangsamu sendiri Leo...”
“Tidak,”
potong Leo cepat. “Kau pikir aku melakukan ini tanpa persetujuan atasan? Tidak
bukan?”
Presiden?!
Bagaimana mugkin?!!
“Maaf,
Gio...tugasmu berakhir sampai sini. Orang baik sepertimu kadang memang
menyebalkan.”
Gio
masih bisa melihat tubuh Leo yang lenyap dibalik pintu. Kini dia mengatur detak
jantungnya saat dia mendengar suara pistol
yang dikokang. “Nathan... kenapa kau melakukannya? Kau tidak serius
kan?”
DOR!
Nathan
menghela nafas saat peluru itu sempurna menembus batok Gio. Membuat dokter
paruh baya itu tergeletak tak bernyawa. “Demi uang,”sahut Nathan kemudian.
“Karena aku tidak mau menjadi makhluk miskin yang terisolasi di blokade
terdalam tempat ini.” *END*
0 komentar:
Posting Komentar