About

If I wind....I can bring every single laugh and tears in the same way
Should I tell you like the same way when I was crying or laughing at that time?

Let's be a friend!!!

Cari Blog Ini

Abandon

Pengalaman kemarin nulis cerpen buat lomba LSCO. Dapet ide 7 jam sebelum deadline penutupan, dikerjakan  5 jam sebelum deadline penutupan. Menyerah di hitungan mundur satu jam. "Ya udah deh, kirim aja. Ketimbang kecewa gara-gara gak ngirim mending kalah secara terhormat." Itu yang kupikirkan waktu itu. Waktu berlalu...dan aku lupa kalau sempet ikutan event ini. Sampai SMS dari panitia datang:

Panitia : Assalamualaikum. Maaf, kami dari panitia LSCO, bisa minta kirimin nama asli dan biodata narasi lengkap. Kami butuh untuk proses lebih lanjut.
Waktu SMS datag pagi-pagi sempet mikir, nih orang salah kirim apa kek mana sih?! LSCO apa ya? Kapan aku ikut nih agenda. 

Me  : LSCO apa ya?
Panitia : Lho belum buka pengumuman ya mbak?
Me : *masih nggak ngeh* Akhirnya  aku obrak-abrik FB dan nemuin salah satu web yang pernah aku share. Owaalah....ternyata...:D. Dan ngakaklah begitu lihat pengumumannya. 

Aku sadar kok, dari sisi diksi, cerita ini masih gabut banget. Seandainya aku kasih ke mentorku di #KampusFiksi pasti aku dijtak habis-habisan. Tapi ya kek mana lagi? Aku baru kepikiran ide 7 jam sebelum DL, digarap cerpennya juga hanya dalam waktu 5 jam tanpa selfedit. Pake ding tapi cuma sekali. Dan hasilnya kayak gitu. Hemmm....Ini bukti the power of kepepet kali ya. Hehehe. 


Abandon

Jakarta, 2150
            Di sebuah kawasan  metropolitan , seorang laki-laki  paruh baya duduk di salah satu privat bar. Ditemani alunan  lagu-lagu barat yang   menghentak lembut. Dia mengetukkan jemarinya di  meja gelisah. Terlihat sedang menunggu seseorang.
            “Dok?” Seorang laki-laki klimis yang lebih muda dari laki-laki yang duduk itu tiba sambil berusaha mengatur nafasnya yang masih terengah-engah.
            “Ah, Nathan...akhirnya kau datang,” serunya lega. Dia menyuruh laki-laki yang dia panggil Nathan itu duduk disampingnya. “Jadi bagaimana? Kau sudah mendapatkan info?”
            Nathan mengangguk. Dia merapikan  jas maroonnya sambil berusaha mengusir gugup. “Mereka menambah pintu  gerbang dan  melipatkan penjagaan, Dok.”
          Laki-laki itu menghela nafas. Meskipun dia sudah menduganya, dia tidak berpikir untuk mendengarnya dari anak buah kepercayaannya itu, Nathan. Pikirannya melayang. Dia kembali teringat  puluhan tahun sebelum dia sampai di kota ini dan duduk di salah satu kursi pemerintahannya.  Siapa sangka beberapa dekade kemudian tempat yang dulu sangat dia sukai menjadi tempat yang  mengerikan.
            Masih  segar di ingatannya saat  penduduk kota itu  yang mulai diblok-blok berdasarkan kasta mereka. Masyarakat kelas rendah dan miskin  ditempatkan di tembok paling dalam. Terisolasi dari dunia luar.  Dibiarkan terpuruk dalam kemiskinan , virus mematikan dan wabah penyakit. Tembok yang lebih luar memuat mereka yang hidup serba pas-pasan dan berkecupan. Sedang tembok terluar ditempati para politikus dan para pemegang tapuk pemerintahan yang mengaku  peduli akan nasib rakyat.
            “Itu harus kita lakukan, Gi?”
         “Untuk apa? Kita ini pemimpin yang bertanggung jawab pada hidup mereka,Leo?” Laki-laki itu kembali teringat percakapannya dengan salah satu rekannya yang bekerja di pemerintahan. Kawan lama sekaligus teman seperjuangan selama hidup di Jakarta.
            “Gi, kamu tahu apa yang menyerang mereka? HIV, AIDS, dan entah penyakit apa yang menempel di tubuh mereka. Kita melakukanya untuk melindungi penduduk lain di tembok yang lebih luar. Agar mereka tidak tertular.”
       “Leo, mereka....yang berada di tembok paling dalam tidak akan punya kesempatan untuk menyembuhkan diri mereka kalau kita tidak membantu mereka. Mereka  bahkan tidak punya penghasilan untuk makan, Leo,” Gio menatap sahabatnya. Dia benar-benar tidak mengerti kenapa idealisme yang pernah mereka bangun semasa masih mahasiswa runtuh disini.
           “Gi, kalau kau membantu mereka, aku pesan jangan. Yang berada di  dalam tembok biarlah di dalam tembok.”
            Gio menghela nafas berkali-kali mengingatnya. Ini kesalahannya, juga kesalahan kawan-kawannya yang membiarkan perdanganngan bebas di tahun kesekian menjamur. Membuat semua barang yang entah apa masuk tanpa disortir. Mereka bahkan tidak sadar kalau virus-virus baru berdatangan bersamaan dengan barang itu. Menyerang mereka yang tidak punya biaya jaminan kesehatan. Dan satu-satunya cara untuk melindungi mereka yang belum tertular adalah  pembangunan  puluhan tembok blokade. Tembok  perlidungan dengan jarak puluhan kilometer yang memisahkan masing-masing kasta. Meminimalisir korban. Itu  alasannya.
            “Dok, apa dokter yakin dokter akan turun tangan ke tembok terdalam?”
            Gio mengangguk. Sebagai dokter pribadi keluarga presiden, mau  tidak mau Gio harus turun ke tembok terdalam. Ini tuntutan kemanusiaan.
            “Iya. Tentu saja, aku harus tahu virus apa yang menyerang mereka. Dan satu-satunya caraku untuk mengetahui apa itu adalah  datang ke tempatnya.”
            “Tapi, Dok...”
            “Nathan...” Gio menahan  nafas lalu menatap anak buah sekaligus muridnya itu dalam. “Aku memintamu kemari untuk mencari tahu jalan ke  tembok dalam tanpa ketahuan  kan? Jadi apa kau sudah menemukannya?” Gio mengalihkan pembicaraan.
            Nathan membalas tatapan itu ragu. Tapi dia tetap mengangguk pelan. “Ya, Dok..”

***
            Malam itu, Gio membulatkan tekadnya untuk menyusup ke tembok terdalam. Tempat yang  pernah dia datangi satu dekade silam. Karena setelah itu Gio ditarik menjadi dokter pribadi  presiden lalu  mendekam di tembok  terluar. Membuat aksesnya keluar-masuk tembok blokade semakin sempit.
           Dirapatkan jaket antiviral yang ia kenakan. Dia menyalakan monitor yang keluar dari jam tangannya. Sebuah teknologi bentukan Barat  yang  pernah beredar beberapa waktu  lalu. Monitor itu memandunya masuk ke dalam lorong-lorong  yang  gelap yang  menunjukkan sebuah  peta hasil riset Nathan. Dia akan kesana sendirian. Terlalu berbahaya jika mengajak Nathan keluar.
            Gio yakin sudah menjalankan  sepatu anginnya sepanjang malam menelusuri lorong itu, tapi entah kenapa lorong itu tak berujung sama sekali. Gio mersasakan ada secercah cahaya yang menyapa  matanya sesaat sebelum dia menyerah. Dan ketika  dia benar-benar menemukan ujung lorong itu, Gio nyaris tidak percaya dengan penglihatannya.
            Puluhan, atau bahkan  ratusan  manusia kurus kering tanpa daging berkeliaran di luar tembok. Mereka bersandar pada dinding tembok yang kasar dan berbatu  tanpa tenaga. Sorot  dari mata cekung mereka menunjukkan penderitaan yang amat sangat.
                  Gio menelan ludah kelu. Ada perasaan bersalah  yang  menghantam  dirinya. Dia  memutuskan untuk mendatangi mereka. Sekedar melihat kondisi dan memastikan apa yang sebenarnya terjadi pada mereka.
 “Maaf  permisi?” Gio menatap perempuan yang tidak bisa ia tebak usianya. Perempuan itu terduduk diam dengan  mata terpejam.
            Gio nyaris mundur beberapa langkah begitu melihat wanita  di depannya itu membuka mata lalu  menatapnya tajam. Pandangannya bukan lagi pandangan  manusia. Entah bagaimana Gio menjelaskannya.  Detik berikutnya, wanita itu, entah mendapatkan kekuatan dari mana, mencekal lengan Gio kasar. Dia berusaha merobek pelapis jaket antiviral yang membungkus Gio sambil menceracau tak karuan. Mengeluarkan seluruh umpatan yang dia tahu pada pemerintah.
            Gio hanya bisa menelan ludah pahit.
            DOR!
          Sebuah letupan membuat perempuan itu ambruk. Gio mendongak. Matanya membulat melihat Nathan yang berlari ke arahnya sambil menenteng pistol. “Dok!”
            “Apa yang kau  lakukan?!” Gio menahan amarahnya. Mereka kini dikeliling puluhan pasang mata yang menatap mereka kelaparan.
           “Dok, kau  bilang kau hanya akan mengobservasi mereka. Bukan mendatangi mereka. Itu berbahaya, Dok!”
            Gio mundur perlahan. “Ada apa denganmu? Bagaimana kau bisa menganggap  berbahaya kalau kau  tidak tahu  apa yang terjadi dengan mereka?!”
            Nathan  tercekat. Dia hanya menunduk melihat tatapan nanar dari gurunya itu. “Dok, ayo tinggalkan tempat ini. Aku tidak bisa menjamin keselamatan dokter kalau kita terus disini....”
            Gio mengabaikan teriakan Nathan. Disambar  jarum suntik yang sudah dia siapkan  sebelumnya. Dia mengambil sampel darah dari wanita yang kini telah tewas di depannya. Dia harus tahu...apa yang sebenarnya terjadi di sini. Penyakit macam apa yang menjangkiti mereka.
***
            Gio nyaris tidak  percaya dengan apa yang dilihatnya di bawah  mikroskop nano elektron yang dia miliki. Sampel darah wanita itu  mengandung virus yang sudah lama dinyatakan hilang dari muka bumi. Bagaimana bisa? Volksyrine, nama virus yang Gio temukan setengah dekade lalu muncul kembali setelah di berhasil membuat antivirusnya. Bagaimana bisa?
            Bukankah dulu dia menolak mematenkan vaksin yang  dibuatnya  agar seluruh lapisan masyarakat bisa menggunakan vaksin itu tanpa gangguan biaya? Bukankah dia sendri yang membagikan vaksin itu pada mayarakat saat kampanye presiden yang sekarang? Lalu bagaimana bisa virus itu kembali ada dan menyerang mereka yang sudah pernah mendapatkan vaksin?
            Gio menoleh saat pintu ruangannya dibuka. “Leo, apa yang kau  lakukan disini?”
          “Mengunjungi kawan lama,” sahut Leo cepat. “Kau sendiri kelihatan sibuk akhir-akhir ini? Aku jarang melihatmu mendampingi presiden.”
            Gio mencoba menyingkirkan file yang terpampang di komputernya dalam ketukan jari. Dia mencoba tersenyum tenang. “Presiden baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari dia. Kau sendiri, apa kau  menjalankan tugasmu dengan baik? Sebagai sekretarisnya?”
            Leo tertawa. “Tentu saja. Hey, kenapa kau ini? Kau kelihatan gugup?”
            “Gugup? Kenapa aku harus gugup?”
            “Benar juga ya. Kenapa juga kau harus gugup.” Leo membanting tubuhnya ke sofa. Dia menatap kawannya lama. “Gi, ada sesuatu yang harus kukatakan padamu...”
            Belum sempat Gio membuka mulutnya untuk bertanya,  sesuatu yang dingin menempel di kepalanya. Pelatuk. Sebuah pelatuk dan seseorang yang membawanya. Gio berbalik dan mendapati Nathan mengacungkan Walther  keperakan itu ke kepalanya. Pistol buatan Jerman itu tepat menyentuh batok kepalanya.
            “Nathan?! Apa yang kau lakukan?”
            “Maaf, Dok...aku harus melakukannya.” Gio nyaris tidak percaya melihat kilat tajam dari mata anak itu. Jangan-jangan dia....
            “Gio, aku sudah melarangmu berurusan dengan mereka. Tapi kenapa kau  ngotot untuk menyelinap menemui mereka?”
            “Apa kau tahu  sesuatu?” Gio berusaha membaca situasinya sekarang. Apa yang  sebenarnya terjadi dengan semua ini?
            “Itu memang Volksyrine. Virus lama yang kau temukan bersama Nathan, murid kesayanganmu itu. Aku menyuruh anak muda itu memodifikasinya.”
           Gio membulatkan matanya. Dia berbalik menatap Nathan dan  mendapati anak itu hanya menatapnya dengan mata penuh penyesalan. Ada apa ini?
            “Leo, apa yang sebenarnya terjadi?”
            “Aku ingin membuatnya menjadi senjata biologi pemusnah massal.”
            “APA?! Kau gila. Untuk apa?”
         “Tentu saja untuk balas dendam  pada orang-orang yang menggencet negara kita, mengeruk kekayaan tanah kita, dan memperbudak kita bertahun-tahun silam.”
            Gio nyaris tidak percaya dengan  pendengarannya.  Apa monster yang berdiri di depannya itu benar-benar kawannya?
            “Apa kau tahu...mereka juga pernah melakukannya pada kita. Menyebarkan virus mematikan pada kita lalu membuat vaksin untuk kita. Demi keuntungan. Demi uang. Itu juga cara yang akan aku gunakan pada mereka.”
            “Well, Leo...aku mengerti maksudmu, tapi kenapa harus membuat warga kita menderita? Mereka juga bagian dari tanah ini kan?”
            Leo mengangguk. “Itu hanya strategi tarik ulur. Kita harus membiarkan mereka  melihat kalau negara kita juga pernah tertular virus yang sama. Setidaknya mereka akan berpikir kalau  kita sama-sama korban.”
        Gio menelan ludah. Apa yang sebenarnya merasuki pikiran kawannya itu? “Kau mengkhianati bangsamu sendiri Leo...”
            “Tidak,” potong Leo cepat. “Kau pikir aku melakukan ini tanpa persetujuan atasan? Tidak bukan?”
            Presiden?! Bagaimana mugkin?!!
            “Maaf, Gio...tugasmu berakhir sampai sini. Orang baik sepertimu kadang memang menyebalkan.”
            Gio masih bisa melihat tubuh Leo yang lenyap dibalik pintu. Kini dia mengatur detak jantungnya saat dia mendengar suara pistol  yang dikokang. “Nathan... kenapa kau melakukannya? Kau tidak serius kan?”
            DOR!
            Nathan menghela nafas saat peluru itu sempurna menembus batok Gio. Membuat dokter paruh baya itu tergeletak tak bernyawa. “Demi uang,”sahut Nathan kemudian. “Karena aku tidak mau menjadi makhluk miskin yang terisolasi di blokade terdalam tempat ini.” *END*

¡Compártelo!

0 komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger
 
Little Queen Wind Copyright © 2011 | Tema diseñado por: compartidisimo | Con la tecnología de: Blogger