We Need Time, Only Time
Di
dunia ini tidak ada hal yang paling kuinginkan selain meminta maaf padanya.
Entahlah, aku hanya ingin mengatakan padanya perkataan itu sejak aku menariknya
masuk ke kehidupanku. Sejak 24 jam hidupku mulai disesaki dirinya. Aku ingin
sekali menatap mata beningnya lalu
mengusap bahunya sambil mengatakan permintaan maaf berkali-kali. Aku tidak tahu
itu karena keegoisanku atau aku yang mulai tidak tahan melihat mata terluka itu
tiap pandangan kami bertemu.
Aku akui kalau aku laki-laki paling
pengecut. Mengucapkan kata maaf pada orang yang paling kucintai pun aku tak
sanggup. Bahkan saat sosoknya bersliweran di hadapanku 24 jam. Kata-kata itu
terkunci di bibirku. Dan hanya bisa kubisikkan diam-diam ke telinganya saat ia
tertidur.
***
Nania mengusap rambutnya saat panas matahari
menampar pipinya lembut. Ah, dia pasti kesiangan lagi. Kadang dismonerhae gara-gara haid itu
membuatnya tak bisa membuatnya mengangkat tubuh dari kasur.
Dia
berjalan tertatih ke dapur. Rumah sepi.
Apa dia sudah berangkat? Baguslah. Setidaknya aku tidak perlu bersikap sebagai istri sok baik
yang selalu menyalaminya setiap pagi.
Nania melirik tudung dapur yang tertata sempurna. Sebuah kertas pink terselip
di atasnya. Itu warna kesukaan Nania. Pasti Ivan yang meletakkannya di sana
sebelum berangkat tadi.
Selamat ulang tahun, Nania
Ini kado pertama hari ini. Aku akan
memberi kado lain saat aku pulang nanti.
What?! Ulang tahun?! Apa-apaan laki-laki
ini, bahkan dia sudah lupa kapan hari lahir sababat...ah, istrinya sendiri.
Nania
menghela nafas. Ditatapnya foto pernikahan mereka yang menggantung bisu di
ujung dinding. Foto yang aneh bagi Nania. Karena tidak ada satupun lekukan
senyum di bibir mungilnya. Itu sudah dua tahun lalu. Dua tahun yang menyakitkan
bagi Nania saat dia ingat apa alasannya menikah dengan laki-laki itu. Dia
bahkan heran kenapa bisa melewati dua tahun bersama laki-laki itu.
Ponsel
Nania bergetar pelan. Beberapa kiriman
foto masuk di LINE miliknya. Dari Ivan. Menyuruhnya datang ke salah satu kedai
teh di pinggiran Bandung nanti sore. Ada sesuatu yang ingin dia bicarakan,
begitu katanya. Nania mengabaikannya sejenak sebelum akhirnya mengiyakan dalam
hati. Oke, Van. Doakan aku tidak
ketiduran lagi.
***
Nania
mengerang kesal meliat kamar Ivan. Apa
laki-laki itu tak pernah bisa mengurus dirinya? Dia bergidik jijik melihat
botol-botol kopi beserak di sudut ruang itu. Bagaimana dia bisa bertahan di tempat seperti ini sih?
Nia, aku minta tolong padamu. Aku ada
meeting nanti malam. Laptopku ada di kamar. Bisa tolong anbilin?
Itu
permintaan Ivan sejam lalu. Nania nyaris membalasnya dengan penolakan. Tapi
mengingat dia akan menemui laki-laki itu nanti sore, kenapa ia tidak berbaik
hati sekalian membawakan laptopnya?
Nania
membawa laptop maroon itu keluar sebelum berpikir untuk mengacak-acak file Ivan.
Dia tertegun lama saat berhasil membuka password
laptop Ivan dengan mengetik namanya. Ditatap lama layar desktop yang menampil
cengirannya saat wisuda di samping Ivan. Nania menutup laptop itu cepat.
Berharap ingatan lamanya tidak ditarik keluar lagi.
Ah,
laki-laki ini....
***
Aku
meremas amplop coklat yang kupegang. Membuat ujungnya terlipat. Desahan napasku
keluar lagi. Bercampur dengan dingin
yang mulai merambat di tepian kota Bandung. Ayo, Van...kita akhiri saja beban
yang selama ini membuatmu mati rasa.
Kusesap vanilla latte yang kupesan
duluan. Kopi favoritku itu bahkan terasa perih saat menyentuh lambung. Aku
kembali menghela napas sambil menatap foto Nania. Bukan. Itu foto pernikahan
kami berdua. Tapi hanya fotonya yang kugunting dan kuselipkan di dompetku.
Kuusap wajah lembutnya pelan. Bahkan dia tidak sanggup tersenyum di hari
pernikahannya. Dan aku lah satu-satu orang yang membuatnya seperti itu.
Awalnya, aku dan Nania hanya kawan
biasa. Kami sama-sama aktif di organisasi kampus dan menjadi kawan dekat. Dia
adalah gadis manis yang selalu mengumbar senyumnya. Jujur, aku menyukainya
sejak kali pertama aku menatapnya. Tapi aku hanya menyimpan perasaan itu di
depannya. Dia gadis yang terlalu baik untukku.Dan terlalu naif kalau aku
berpikir untuk memilikinya.
Sampai suatu hari Nania wisuda dari
kampus. Aku yang sudah meniti karier di dunia kerja menyiapkan pesta kecil
bersama teman-teman yang lain. Tidak ada yang aneh memang, hingga kejahilanku
dan cowok-cowok lain kambuh. Kami menaruh wine di gelas Nania. Sengaja membuat
gadis perfecsionis itu kehilangan kewarasannya.
Itu adalah awal di mana aku
menghancurkan seluruh kehidupan Naina. Menghancurkan mimpinya dan mimpi orang
tuanya.
Malam itu Nania benar-benar mabuk.
Dia menceracau tak karuan di depanku sampai akhirnya jatuh tertidur tepat di bahuku. Entah iblis
mana yang merasukiku saat itu. Malam
itu, aku tega merengut kehormatan Naina. Membiarkan gadis itu mengiyakan apa
yang aku inginkan sebagai seorang laki-laki.
Dan paginya, saat Nania sadar, dia mendelik
ke arahku. Dia menatapku setengah tak percaya sebelum akhirnya memakiku dan menamparku berkali-kali. Letupan
amarahnya terasa menyakitkan sekali di pipiku. Itu adalah akhir persahabatan
antara aku dan Nania.
***
Semuanya terasa asing sekarang. Nania tidak
pernah mau menemuiku. Dan aku juga tidak berani menemuinya. Sampai kabar itu mampir
di telingaku. Nania hamil. Hanya berselang
dua bulan sejak kejadian itu, kawan sekampusku yang memberi tahu kalau Nania hamil.
Aku tidak tahu apa lagi yang ada di
otakku selain rasa bersalah yang makin hari makin menikam dada. Sampai aku
datang menemui Nania. Tapi bukan permintaan maaf yang terlontar. Aku
mengajaknya menikah. Menyembunyikan perutnya yang makin lama makin membuncit.
Dan aku yakin Nania tidak punya pilihan lain. Aku benar-benar merasa jadi
makhluk paling jahat saat itu. Tapi aku juga tidak tahu apa yang harus aku
lakukan selain hal itu..
Dan saat itulah aku benar-benar
menghapus senyum di bibir Nania.
Anak itu tidak pernah lahir. Nania
keguguran sebulan setelah aku dan dia menikah. Depresi berat, itu kata dokter
yang menangani Nania. Dan penjelasan itu cukup membuatku ditusuk seribu
sembilu. Aku bisa melihat Nania menangis saat itu. Bahunya terguncang hebat.
Dan saat aku ingin meraihnya, dia buru-buru menampik lenganku. Menatapku penuh
kebencian. Saat itulah aku kembali menghapus senyum milik Nania.
Aku menyukainya. Sungguh
mencintainya. Tapi entah kenapa apa yang aku lakukan justru membuatnya makin
membenciku. Dan ujung-ujungnya selalu membuatnya terluka.
***
“Apa
yang ingin kau bicarakan, Van?” Nania mengambil tempat di seberang Ivan sambil
merapikan blus satunnya. Dia menyerahkan laotop Ivan lalu menatap sekilas
laki-laki itu. Entah kenapa kali ini Nania menatap laki-laki di depannya lain.
Tadi siang dia menemukan setumpuk file milik Ivan. File yang terpassword dan dibuka Nania dengan mudah
hanya dengan mengetik namanya, tanggal lahirnya, dan tanggal pernikahan
mereka.
Ivan
suka fotografi. Nania tahu itu sejak pertama kali mereka bertemu. Tapi Nania
sama sekali tidak tahu kalau Ivan suka sekali memotretnya diam-diam. Sejak pertama
kali mereka saling kenal sampai sekarang.
Ivan
tersenyum tipis. “Mau pesan apa. Aku yang traktir.”
Nania
mencibir pelan. “Boleh aku tanya?”
“Ehm..?”
“Van,
kamu seharusnya ingat kan kalau hari ini bukan hari ulang tahunku?”
Ivan
mengangguk. “Ingat. Kenapa?”
“Lalu
kenapa kau mengatakan ‘selamat ulang tahun’ padaku?”
Ivan
memutar bola matanya. Cara yang selalu ampuh membuat Nania tertawa. Dulu tapi.
“Kamu ingat? Hari ini adalah tanggal pertama kali kita bertemu...”
Nania
menautkan alisnya. Oh ya? Dia bahkan sudah lupa kapan bertemu pertama kali dengan Ivan. Karena yang ada di ingatan Nania
cuma... Nania buru-buru menghela nafas dalam. Mencoaba mati-matian berdamai
dengan kejadian itu.
“...dan
mungkin hari ini hari terakhir kita bertemu.” Ivan menatap mata jernih itu yang
mulai kebingungan. Dia meliukkan senyum.
“Maksudmu?”
Ivan
mengulurkan amplop coklat yang sudah lecek di tangannya. Dan Nania hanya
menatapnya penuh tanya.
“Apa
ini?”
“Surat
cerai.”
Nania
membeku di tempatnya. Apa?! Cerai?! Ditatap raut laki-laki di depannya yang
menyiratkan kesungguhan. Jangan
bercanda. Apa laki-laki di depannya ini mau membuangnya begitu saja? Setelah
apa yang dia lakukan pada kehidupanku?
“Aku
mencintaimu, Nia. Sangat. Tapi perasaanku sangat menyakitkan buatmu bukan?
Makanya...ayo kita cerai saja. Aku tidak tahan melihatmu terluka karena aku.”
Jemari
Nania bergetar mendengarnya. Dimasukkan surat itu ke tasnya. “A-aku....akan
memikirkannya,” ujarnya sebelum meninggalkan Ivan.
***
Ini sudah tengah malam. Dan aku
masih menatap langit kamar kosong. Berusaha melukis bayangan laki-laki yang
tadi sore menatapku berkaca-kaca. Pandanganku beralih pada amplop colat yang
bisa kutebak apa isinya. Aku mendesah.Ada beban yang tiba-tiba menghimpit
paru-paruku.
Aku memang tidak menyukainya. Tapi
tidak bisa sepenuhnya membenci laki-laki itu. Tentu saja. Aku pernah
menyukainya sebelum dia melakukan hal itu padaku. Iya, pernah...meski cuma
sebentar.
Dinding di kamarku kali ini
benar-benar terasa dingin. Di samping kamarku ada kamar Ivan. Entah apa yang
laki-laki itu lakukan sekarang. Sejam lalu aku masih bisa mendengar Simple Plan
mengalun sebelum akhirnya mati. Kutatap lagi amplop itu lama. Surat cerai?
Aku mencintaimu, Nia. Sangat. Tapi perasaanku
sangat menyakitkan buatmu bukan? Makanya...ayo kita cerai saja. Aku tidak tahan
melihatmu terluka karena aku.
Dia mencintaiku? Tapi kenapa dia
ingin cerai denganku? Karena dia selalu menyakitiku? Ah, padahal seandainya dia
mengucapkan maaf sekali saja, aku akan mencoba memaafkannya. Aku menutup
separuh wajahku dengan bantal. Menyembunyikan sesak yang tiba-tiba menjalar
cepat. Dan aku menangis.
***
Ivan
terkejut saat melihat Nania sudah bergumul dengan panci penggorengan saat adzan
subuh baru berkumandang. “Apa yang kau lakukan?”
“Kau
tak bisa melihatku memasak? Kau bilang kau ada meeting pagi nanti kan? Aku
sedang membuatkanmu sarapan,” terang Nania diantara kesibukannya membalik nila
di panci penggorengan.
“Ah...”
Ivan mengangguk. Membiarkan Nania melakukan kebiasaannya itu. “...Nia, soal
surat..”
“Aku
membakarnya,” potong Nania cepat.
Prang! Ivan menjatuhkan gelas yang
dipegangnya. Ditatapnya Nania setengah tak percaya.
“Ah,kenapa
kau menjatuhkannya. Itu gelas oleh-oleh temanku dari Prancis tau?” Nania mulai
merepet. Dia memunguti pecahannya dan .... “Ah...”
“Nia!
Kau tidak apa-apa?” Ivan meraih tangan Nania cepat. Memastikan kalau dia tidak
apa-apa. Tapi Nania buru-buru menarik tangannya. “Ah, maaf...”
“Kau
bisa mengucapnya kan?”
“Apa?”
“Barusan
kau mengucapkannya. ‘Maaf’.” Nania menatap laki-laki di sampingnya. Mungkin ini
kali pertama dia kembali menikmati mata bulat itu. Mata yang selalu dinilai sebagai
mata yang paling jujur yang pernah Nania tahu. “Seharusnya kau mengucapkannya
dari dulu.”
“Nia...aku...”
Ivan kehilangan kata-katanya.
“Apa
kau pikir hidup di sini bersamamu itu mudah? Memang kau pikir aku masak setiap
hari, mencuci bajumu setiap hari, membersihkan rumah sampai pinggangku mau
patah itu mudah? Apa kau pikir aku mau melakukannya tanpa upah? Tapi aku
melakukannya kan? Apa itu bukan berarti ada cinta yang setiap hari kulakukan
untukmu?”
Ivan
membiarkan jantungnya berpacu kencang. Dia bisa merasakan himpitan yang selama
ini menyesaki dadanya mulai berkurang.
“Seseorang
pernah mengatakan padaku. Ketika kau mencintai seseorang terlalu besar , kau
harus menerima konsekuensi kalau dia tak
akan melihat cintamu. Atau ketika cinta itu terlalu dekat, kau juga harus
menerima konsekuensi kalau dia tak akan menyadari cintamu. Aku benar kan?”
“...”
Kali
ini Ivan terkatup. Itu kata-kata yang dia ucapkan saat menyatakan perasaannya
pada Nania secara tidak langsung. Dulu Ivan selalu berpikir kalau Nania tidak
akan mengerti maksudnya. Tapi sekarang Ivan tahu, Nania bahkan mengingat
kata-kata itu.
“Kita
hanya perlu waktu, Van. Kau butuh waktu untuk meminta maaf padaku. Dan
aku...juga butuh waktu untuk memaafkanmu. Kita hanya butuh waktu, Van.”
Nania
menahan napas. Kali ini dia tidak
mendorong tubuh kekar Ivan saat laki-laki itu memeluknya.
End***end