Let's be a friend!!!
Cari Blog Ini
Resensi Novel : Malam-Malam Terang
Judul
: Malam-malam Terang
Penulis
: Tasniem Fauzia Rais & Ridho Rahmadi
Penerbit
: Gramedia Pustaka
Tahun
Terbit : Desember 2015
Tebal
Buku : 244 halaman
Ukuran
Buku : 13 x 20 cm
Kesuksesan adalah harga mati bagi
para pekerja keras. Segala pikiran, hati bahkan raga hanya ditujukan untuk satu
titik tujuan. Tapi ketika kesuksesan itu lepas begitu saja dari tangan, dunia
siapa yang tidak runtuh sesaat? Apalagi ketika usaha yang dilakukan tidak
main-main. Menguras energi yang tidak bisa diukur lagi dengan satuan joule. Entah kenapa saat itu dunia serasa tidak adil.
Iya kan?
Begitupun halnya dengan Tasniem
kecil yang kehilangan kesempatannya untuk masuk SMA impiannya hanya karena
nilai ujian akhirnya yang jatuh, jauh dari perkiraan. Padahal dia siswa rajin,
pekerja keras, berkali-kali mendapatkan peringkat di sekolah. Seharusnya satu
kursi di SMA impiannya itu berhak ia dapatkan. Tapi Tuhan berkata lain. Tasniem
jatuh. Runtuh dengan segala ego dan mimpinya.
Sembari membangun kembali mimpinya
di usianya yang masih 15 tahun, Tasniem kecil membawa lari dirinya ke luar
negeri. Singapura. Dengan mengorbankan sepetak tanah dan modal restu dari
ayah-ibunya, Tasniem membawa hari-harinya bertarung dengan tanah rantau.
Bertarung dengan ke-heterogen-an sekolah barunya,kesepian, keterasingan,persaingan,
prinsip hidup, bahkan bertarung dengan dirinya sendiri.
Satu hal yang Tasniem yakini dalam
perjalanannya yang tidak bisa dibilang mudah. Bahwa setelah kesulitan itu ada
kemudahan. Bahwa ketika dia meninggalkan keluarganya, Tuhan mengirimkannya
sahabat-sahabat yang walau berbeda dari segala fisik sampai kepercayaan,
membuatnya tenang dan kembali bersemangat. Bahwa ketika kegagalan membuatnya
runtuh, Tuhan sedang mengajarinya untuk kuat. Bahwa ketika pilihan itu terasa
menyesakkan dan menyakitkan, Tuhan sedang menyiapkan hikmah lain yang lebih
indah.
Bersahabatlah dengan kegagalan, karena
kegagalan adalah pengingat yang hebat kala dirimu terlena oleh kemalasan.
Itu adalah quote yang mungkin muncul di batok kepala saat membaca buku ini.
Novel karya Tasniem Fauzia Rais dan suaminya ini merupakan novel yang
menceritakan dirinya sendiri saat masih berusia 15 tahun. Usia yang cukup belia
untuk bisa menemukan pintu petunjuk dari liku-liku hidupnya saat itu. Bukan hanya menyajikan usaha tanpa henti dari
sosok mungil Tasniem, tapi juga tentang persahabatan. Petualangannya dengan 3
sahabatnya yang membuat mereka belajar banyak hal tentang arti persahabatan. Persembahan untuk orang tua yang telah
merelakannya merantau dituliskan dengan pesona sendiri hingga membuat pembaca
bisa mengingat orang tuanya sendiri. Dan tidak lupa juga sentuhan roman antara Tasniem dan cinta pertamanya saat SMP.
Dari buku ini kita akan belajar
tentang kerja tiada henti dan doa yang tiada putus dari makhluk kecil bernama manusia. Membuat
kita merenungi tentang pekatnya malam
dan semua misteri di dalamya. Lalu membuat kita berpikir bagaimana caranya
mengubah malam itu menjadi malam-malam terang penuh cahaya. Tasniem sudah melaluinya
dengan mengalami banyak hal. Membuat kelam malamnya menjadi lentera-lentera
petunjuk jalan. Lalu bagaimana dengan kita? Dan belajarlah dari “Malam-malam Terang”. ^_^
I
appreciate this book with five white roses. Then I want to write my other point
of view with informal words. J
Kuberikan
point 3,7 untuk buku ini (dengan skala 4). Meski bukan motivasi, perjalanan
hidup Bu Tasniem yang merupakan putri ke-4 Amien Rais membuatku bercermin pada
beliau. Membuatku kembali menelaah bahwa perjalananku sampai ketika aku menulis
review ini nggak lebih dari sekedar ngupil. Hehehe….
Jujur
aku juga pernah gagal. Pernah marah dan mengutuk betapa nggak adilnya dunia
ini. Jadi aku mengerti sekali perasaan Bu Tasniem kala itu. Mungkin beberapa
orang bakal berkomentar: Aih, itu kan cuma nilai. Plis! Ini bukan masalah nilai.
Tapi masalah mimpi yang kandas di tengah jalan. Tangga impian yang disusun
semanis mungkin, roboh hanya gara-gara sebuah NEM.
Buku
ini cocok banget untuk mereka yang sedang berjuang di penghujung kelas. Secara akademis
maksudku. Entah yang kelas 6 SD, 3 SMP, 3 SMA, sedang skripsi atau sedang
tesis. Seperti dibisikkan bahwa kegagalan itu tidak akan membuat kita mati.
Tidak akan membuat malaikat Izrail langsung datang dan membawa nyawa kita masuk
neraka. Tenang saja, Tuhan Mahatahu yang terbaik bagi kita. Dia nggak akan
membuat kita hidup nelangsa meski kita gagal di ujian akhir sekolah.
Well,
aku menangis saat episode Bu Tasniem yang dipanggi sebagai the first from The
Big Ten. Rasanya seperti namaku sendiri yang dipanggil. Rasanya semua sakit,
ngantuk, capek, tangis, saat belajar disambi baca novel ini terpuaskan dengan suara
imaji tepuk tangan. Sensasi yang mungkin susah kalau kurealisasikan ( ya kali,
aku kan bukan siswa Globe College), tapi aku bener-benar menikmatinya.
Well…well
…well… I love the story like my live
right now. J
We Need Time, Only Time
We Need Time, Only Time
Di
dunia ini tidak ada hal yang paling kuinginkan selain meminta maaf padanya.
Entahlah, aku hanya ingin mengatakan padanya perkataan itu sejak aku menariknya
masuk ke kehidupanku. Sejak 24 jam hidupku mulai disesaki dirinya. Aku ingin
sekali menatap mata beningnya lalu
mengusap bahunya sambil mengatakan permintaan maaf berkali-kali. Aku tidak tahu
itu karena keegoisanku atau aku yang mulai tidak tahan melihat mata terluka itu
tiap pandangan kami bertemu.
Aku akui kalau aku laki-laki paling
pengecut. Mengucapkan kata maaf pada orang yang paling kucintai pun aku tak
sanggup. Bahkan saat sosoknya bersliweran di hadapanku 24 jam. Kata-kata itu
terkunci di bibirku. Dan hanya bisa kubisikkan diam-diam ke telinganya saat ia
tertidur.
***
Nania mengusap rambutnya saat panas matahari
menampar pipinya lembut. Ah, dia pasti kesiangan lagi. Kadang dismonerhae gara-gara haid itu
membuatnya tak bisa membuatnya mengangkat tubuh dari kasur.
Dia
berjalan tertatih ke dapur. Rumah sepi.
Apa dia sudah berangkat? Baguslah. Setidaknya aku tidak perlu bersikap sebagai istri sok baik
yang selalu menyalaminya setiap pagi.
Nania melirik tudung dapur yang tertata sempurna. Sebuah kertas pink terselip
di atasnya. Itu warna kesukaan Nania. Pasti Ivan yang meletakkannya di sana
sebelum berangkat tadi.
Selamat ulang tahun, Nania
Ini kado pertama hari ini. Aku akan
memberi kado lain saat aku pulang nanti.
What?! Ulang tahun?! Apa-apaan laki-laki
ini, bahkan dia sudah lupa kapan hari lahir sababat...ah, istrinya sendiri.
Nania
menghela nafas. Ditatapnya foto pernikahan mereka yang menggantung bisu di
ujung dinding. Foto yang aneh bagi Nania. Karena tidak ada satupun lekukan
senyum di bibir mungilnya. Itu sudah dua tahun lalu. Dua tahun yang menyakitkan
bagi Nania saat dia ingat apa alasannya menikah dengan laki-laki itu. Dia
bahkan heran kenapa bisa melewati dua tahun bersama laki-laki itu.
Ponsel
Nania bergetar pelan. Beberapa kiriman
foto masuk di LINE miliknya. Dari Ivan. Menyuruhnya datang ke salah satu kedai
teh di pinggiran Bandung nanti sore. Ada sesuatu yang ingin dia bicarakan,
begitu katanya. Nania mengabaikannya sejenak sebelum akhirnya mengiyakan dalam
hati. Oke, Van. Doakan aku tidak
ketiduran lagi.
***
Nania
mengerang kesal meliat kamar Ivan. Apa
laki-laki itu tak pernah bisa mengurus dirinya? Dia bergidik jijik melihat
botol-botol kopi beserak di sudut ruang itu. Bagaimana dia bisa bertahan di tempat seperti ini sih?
Nia, aku minta tolong padamu. Aku ada
meeting nanti malam. Laptopku ada di kamar. Bisa tolong anbilin?
Itu
permintaan Ivan sejam lalu. Nania nyaris membalasnya dengan penolakan. Tapi
mengingat dia akan menemui laki-laki itu nanti sore, kenapa ia tidak berbaik
hati sekalian membawakan laptopnya?
Nania
membawa laptop maroon itu keluar sebelum berpikir untuk mengacak-acak file Ivan.
Dia tertegun lama saat berhasil membuka password
laptop Ivan dengan mengetik namanya. Ditatap lama layar desktop yang menampil
cengirannya saat wisuda di samping Ivan. Nania menutup laptop itu cepat.
Berharap ingatan lamanya tidak ditarik keluar lagi.
Ah,
laki-laki ini....
***
Aku
meremas amplop coklat yang kupegang. Membuat ujungnya terlipat. Desahan napasku
keluar lagi. Bercampur dengan dingin
yang mulai merambat di tepian kota Bandung. Ayo, Van...kita akhiri saja beban
yang selama ini membuatmu mati rasa.
Kusesap vanilla latte yang kupesan
duluan. Kopi favoritku itu bahkan terasa perih saat menyentuh lambung. Aku
kembali menghela napas sambil menatap foto Nania. Bukan. Itu foto pernikahan
kami berdua. Tapi hanya fotonya yang kugunting dan kuselipkan di dompetku.
Kuusap wajah lembutnya pelan. Bahkan dia tidak sanggup tersenyum di hari
pernikahannya. Dan aku lah satu-satu orang yang membuatnya seperti itu.
Awalnya, aku dan Nania hanya kawan
biasa. Kami sama-sama aktif di organisasi kampus dan menjadi kawan dekat. Dia
adalah gadis manis yang selalu mengumbar senyumnya. Jujur, aku menyukainya
sejak kali pertama aku menatapnya. Tapi aku hanya menyimpan perasaan itu di
depannya. Dia gadis yang terlalu baik untukku.Dan terlalu naif kalau aku
berpikir untuk memilikinya.
Sampai suatu hari Nania wisuda dari
kampus. Aku yang sudah meniti karier di dunia kerja menyiapkan pesta kecil
bersama teman-teman yang lain. Tidak ada yang aneh memang, hingga kejahilanku
dan cowok-cowok lain kambuh. Kami menaruh wine di gelas Nania. Sengaja membuat
gadis perfecsionis itu kehilangan kewarasannya.
Itu adalah awal di mana aku
menghancurkan seluruh kehidupan Naina. Menghancurkan mimpinya dan mimpi orang
tuanya.
Malam itu Nania benar-benar mabuk.
Dia menceracau tak karuan di depanku sampai akhirnya jatuh tertidur tepat di bahuku. Entah iblis
mana yang merasukiku saat itu. Malam
itu, aku tega merengut kehormatan Naina. Membiarkan gadis itu mengiyakan apa
yang aku inginkan sebagai seorang laki-laki.
Dan paginya, saat Nania sadar, dia mendelik
ke arahku. Dia menatapku setengah tak percaya sebelum akhirnya memakiku dan menamparku berkali-kali. Letupan
amarahnya terasa menyakitkan sekali di pipiku. Itu adalah akhir persahabatan
antara aku dan Nania.
***
Semuanya terasa asing sekarang. Nania tidak
pernah mau menemuiku. Dan aku juga tidak berani menemuinya. Sampai kabar itu mampir
di telingaku. Nania hamil. Hanya berselang
dua bulan sejak kejadian itu, kawan sekampusku yang memberi tahu kalau Nania hamil.
Aku tidak tahu apa lagi yang ada di
otakku selain rasa bersalah yang makin hari makin menikam dada. Sampai aku
datang menemui Nania. Tapi bukan permintaan maaf yang terlontar. Aku
mengajaknya menikah. Menyembunyikan perutnya yang makin lama makin membuncit.
Dan aku yakin Nania tidak punya pilihan lain. Aku benar-benar merasa jadi
makhluk paling jahat saat itu. Tapi aku juga tidak tahu apa yang harus aku
lakukan selain hal itu..
Dan saat itulah aku benar-benar
menghapus senyum di bibir Nania.
Anak itu tidak pernah lahir. Nania
keguguran sebulan setelah aku dan dia menikah. Depresi berat, itu kata dokter
yang menangani Nania. Dan penjelasan itu cukup membuatku ditusuk seribu
sembilu. Aku bisa melihat Nania menangis saat itu. Bahunya terguncang hebat.
Dan saat aku ingin meraihnya, dia buru-buru menampik lenganku. Menatapku penuh
kebencian. Saat itulah aku kembali menghapus senyum milik Nania.
Aku menyukainya. Sungguh
mencintainya. Tapi entah kenapa apa yang aku lakukan justru membuatnya makin
membenciku. Dan ujung-ujungnya selalu membuatnya terluka.
***
“Apa
yang ingin kau bicarakan, Van?” Nania mengambil tempat di seberang Ivan sambil
merapikan blus satunnya. Dia menyerahkan laotop Ivan lalu menatap sekilas
laki-laki itu. Entah kenapa kali ini Nania menatap laki-laki di depannya lain.
Tadi siang dia menemukan setumpuk file milik Ivan. File yang terpassword dan dibuka Nania dengan mudah
hanya dengan mengetik namanya, tanggal lahirnya, dan tanggal pernikahan
mereka.
Ivan
suka fotografi. Nania tahu itu sejak pertama kali mereka bertemu. Tapi Nania
sama sekali tidak tahu kalau Ivan suka sekali memotretnya diam-diam. Sejak pertama
kali mereka saling kenal sampai sekarang.
Ivan
tersenyum tipis. “Mau pesan apa. Aku yang traktir.”
Nania
mencibir pelan. “Boleh aku tanya?”
“Ehm..?”
“Van,
kamu seharusnya ingat kan kalau hari ini bukan hari ulang tahunku?”
Ivan
mengangguk. “Ingat. Kenapa?”
“Lalu
kenapa kau mengatakan ‘selamat ulang tahun’ padaku?”
Ivan
memutar bola matanya. Cara yang selalu ampuh membuat Nania tertawa. Dulu tapi.
“Kamu ingat? Hari ini adalah tanggal pertama kali kita bertemu...”
Nania
menautkan alisnya. Oh ya? Dia bahkan sudah lupa kapan bertemu pertama kali dengan Ivan. Karena yang ada di ingatan Nania
cuma... Nania buru-buru menghela nafas dalam. Mencoaba mati-matian berdamai
dengan kejadian itu.
“...dan
mungkin hari ini hari terakhir kita bertemu.” Ivan menatap mata jernih itu yang
mulai kebingungan. Dia meliukkan senyum.
“Maksudmu?”
Ivan
mengulurkan amplop coklat yang sudah lecek di tangannya. Dan Nania hanya
menatapnya penuh tanya.
“Apa
ini?”
“Surat
cerai.”
Nania
membeku di tempatnya. Apa?! Cerai?! Ditatap raut laki-laki di depannya yang
menyiratkan kesungguhan. Jangan
bercanda. Apa laki-laki di depannya ini mau membuangnya begitu saja? Setelah
apa yang dia lakukan pada kehidupanku?
“Aku
mencintaimu, Nia. Sangat. Tapi perasaanku sangat menyakitkan buatmu bukan?
Makanya...ayo kita cerai saja. Aku tidak tahan melihatmu terluka karena aku.”
Jemari
Nania bergetar mendengarnya. Dimasukkan surat itu ke tasnya. “A-aku....akan
memikirkannya,” ujarnya sebelum meninggalkan Ivan.
***
Ini sudah tengah malam. Dan aku
masih menatap langit kamar kosong. Berusaha melukis bayangan laki-laki yang
tadi sore menatapku berkaca-kaca. Pandanganku beralih pada amplop colat yang
bisa kutebak apa isinya. Aku mendesah.Ada beban yang tiba-tiba menghimpit
paru-paruku.
Aku memang tidak menyukainya. Tapi
tidak bisa sepenuhnya membenci laki-laki itu. Tentu saja. Aku pernah
menyukainya sebelum dia melakukan hal itu padaku. Iya, pernah...meski cuma
sebentar.
Dinding di kamarku kali ini
benar-benar terasa dingin. Di samping kamarku ada kamar Ivan. Entah apa yang
laki-laki itu lakukan sekarang. Sejam lalu aku masih bisa mendengar Simple Plan
mengalun sebelum akhirnya mati. Kutatap lagi amplop itu lama. Surat cerai?
Aku mencintaimu, Nia. Sangat. Tapi perasaanku
sangat menyakitkan buatmu bukan? Makanya...ayo kita cerai saja. Aku tidak tahan
melihatmu terluka karena aku.
Dia mencintaiku? Tapi kenapa dia
ingin cerai denganku? Karena dia selalu menyakitiku? Ah, padahal seandainya dia
mengucapkan maaf sekali saja, aku akan mencoba memaafkannya. Aku menutup
separuh wajahku dengan bantal. Menyembunyikan sesak yang tiba-tiba menjalar
cepat. Dan aku menangis.
***
Ivan
terkejut saat melihat Nania sudah bergumul dengan panci penggorengan saat adzan
subuh baru berkumandang. “Apa yang kau lakukan?”
“Kau
tak bisa melihatku memasak? Kau bilang kau ada meeting pagi nanti kan? Aku
sedang membuatkanmu sarapan,” terang Nania diantara kesibukannya membalik nila
di panci penggorengan.
“Ah...”
Ivan mengangguk. Membiarkan Nania melakukan kebiasaannya itu. “...Nia, soal
surat..”
“Aku
membakarnya,” potong Nania cepat.
Prang! Ivan menjatuhkan gelas yang
dipegangnya. Ditatapnya Nania setengah tak percaya.
“Ah,kenapa
kau menjatuhkannya. Itu gelas oleh-oleh temanku dari Prancis tau?” Nania mulai
merepet. Dia memunguti pecahannya dan .... “Ah...”
“Nia!
Kau tidak apa-apa?” Ivan meraih tangan Nania cepat. Memastikan kalau dia tidak
apa-apa. Tapi Nania buru-buru menarik tangannya. “Ah, maaf...”
“Kau
bisa mengucapnya kan?”
“Apa?”
“Barusan
kau mengucapkannya. ‘Maaf’.” Nania menatap laki-laki di sampingnya. Mungkin ini
kali pertama dia kembali menikmati mata bulat itu. Mata yang selalu dinilai sebagai
mata yang paling jujur yang pernah Nania tahu. “Seharusnya kau mengucapkannya
dari dulu.”
“Nia...aku...”
Ivan kehilangan kata-katanya.
“Apa
kau pikir hidup di sini bersamamu itu mudah? Memang kau pikir aku masak setiap
hari, mencuci bajumu setiap hari, membersihkan rumah sampai pinggangku mau
patah itu mudah? Apa kau pikir aku mau melakukannya tanpa upah? Tapi aku
melakukannya kan? Apa itu bukan berarti ada cinta yang setiap hari kulakukan
untukmu?”
Ivan
membiarkan jantungnya berpacu kencang. Dia bisa merasakan himpitan yang selama
ini menyesaki dadanya mulai berkurang.
“Seseorang
pernah mengatakan padaku. Ketika kau mencintai seseorang terlalu besar , kau
harus menerima konsekuensi kalau dia tak
akan melihat cintamu. Atau ketika cinta itu terlalu dekat, kau juga harus
menerima konsekuensi kalau dia tak akan menyadari cintamu. Aku benar kan?”
“...”
Kali
ini Ivan terkatup. Itu kata-kata yang dia ucapkan saat menyatakan perasaannya
pada Nania secara tidak langsung. Dulu Ivan selalu berpikir kalau Nania tidak
akan mengerti maksudnya. Tapi sekarang Ivan tahu, Nania bahkan mengingat
kata-kata itu.
“Kita
hanya perlu waktu, Van. Kau butuh waktu untuk meminta maaf padaku. Dan
aku...juga butuh waktu untuk memaafkanmu. Kita hanya butuh waktu, Van.”
Nania
menahan napas. Kali ini dia tidak
mendorong tubuh kekar Ivan saat laki-laki itu memeluknya.
End***end
Melengkung Asa
Di sini, tanah nun jauh dari kerlip kota
Membingkai ufuk dan rimbun hutan
belantara
Tapi ini juga tanah Tuan, tempat Tuan
melebarkan sayap-sayap kekuasaan
Tuan, tahukan anda?
Tanah disini digorongi tikus hutan
Melenyapkan gabah dan jagung kami tanpa
sisa
Membuat kami yang sudah miskin makin
merana
Tertatih dalam pekat kehidupan
Tuan....entah apa lagi yang mau di kata
Tanah ini dipenuhi kilau emas
Tapi kami memuaskan diri dengan hampa
arang
Berharap ia akan berubah jadi intan
Tuan, kami tidak akan tahu rasanya duduk
di singgasana
Kami
pun tidak mau tahu bagaimana rasanya
Itu urusan Tuan...
Tapi Tuan...sudikah kiranya Tuan turun
sejenak
Menyapa kami yang duduk menghamba demi
tanah ini
Demi tanah yag mulai kerontang akan asa
Tanah yang mulai kering dari
sumber-sumber keadilan
Tuan...apa singgasana itu terlalu nyaman
Sampai lupa kalau singgasana itu yang
akan menuntutmu kelak di akhirat
Apa singgasana itu membuatmu lupa ...
Lupa bahwa kami juga pernah menggiringmu sampai disana
Tuan, pinta kami sederhana...
Tengoklah kami yang nun jauh di ujung
tanah ini
Yang menulis setiap detk kehidupan
dengan kelam arang
Yang berebut pangan dengan tikus hutan
Tuan, asa ini kami titipkan
Untukmu yang duduk di singgasana...
Tidak muluk, hanya sebuah tatapan
kebijakan pada kami
Bukan perlakuan tiran dan diktator...
Tanah ini biarlah mengering seperti
ini...
Asal kau tidak memutus sumbernya, kami
akan mencoba bertahan..
Dalam detak-detak asa yang entah pada
siapa dan sampai kapan kami gantungkan...
Abandon
Pengalaman kemarin nulis cerpen buat lomba LSCO. Dapet ide 7 jam sebelum deadline penutupan, dikerjakan 5 jam sebelum deadline penutupan. Menyerah di hitungan mundur satu jam. "Ya udah deh, kirim aja. Ketimbang kecewa gara-gara gak ngirim mending kalah secara terhormat." Itu yang kupikirkan waktu itu. Waktu berlalu...dan aku lupa kalau sempet ikutan event ini. Sampai SMS dari panitia datang:
Panitia : Assalamualaikum. Maaf, kami dari panitia LSCO, bisa minta kirimin nama asli dan biodata narasi lengkap. Kami butuh untuk proses lebih lanjut.
Waktu SMS datag pagi-pagi sempet mikir, nih orang salah kirim apa kek mana sih?! LSCO apa ya? Kapan aku ikut nih agenda.
Me : LSCO apa ya?
Panitia : Lho belum buka pengumuman ya mbak?
Me : *masih nggak ngeh* Akhirnya aku obrak-abrik FB dan nemuin salah satu web yang pernah aku share. Owaalah....ternyata...:D. Dan ngakaklah begitu lihat pengumumannya.
Aku sadar kok, dari sisi diksi, cerita ini masih gabut banget. Seandainya aku kasih ke mentorku di #KampusFiksi pasti aku dijtak habis-habisan. Tapi ya kek mana lagi? Aku baru kepikiran ide 7 jam sebelum DL, digarap cerpennya juga hanya dalam waktu 5 jam tanpa selfedit. Pake ding tapi cuma sekali. Dan hasilnya kayak gitu. Hemmm....Ini bukti the power of kepepet kali ya. Hehehe.
Abandon
Jakarta,
2150
Di
sebuah kawasan metropolitan , seorang
laki-laki paruh baya duduk di salah satu
privat bar. Ditemani alunan lagu-lagu
barat yang menghentak lembut. Dia
mengetukkan jemarinya di meja gelisah.
Terlihat sedang menunggu seseorang.
“Dok?”
Seorang laki-laki klimis yang lebih muda dari laki-laki yang duduk itu tiba
sambil berusaha mengatur nafasnya yang masih terengah-engah.
“Ah,
Nathan...akhirnya kau datang,” serunya lega. Dia menyuruh laki-laki yang dia
panggil Nathan itu duduk disampingnya. “Jadi bagaimana? Kau sudah mendapatkan
info?”
Nathan
mengangguk. Dia merapikan jas maroonnya
sambil berusaha mengusir gugup. “Mereka menambah pintu gerbang dan
melipatkan penjagaan, Dok.”
Laki-laki
itu menghela nafas. Meskipun dia sudah menduganya, dia tidak berpikir untuk
mendengarnya dari anak buah kepercayaannya itu, Nathan. Pikirannya melayang.
Dia kembali teringat puluhan tahun
sebelum dia sampai di kota ini dan duduk di salah satu kursi pemerintahannya. Siapa sangka beberapa dekade kemudian tempat
yang dulu sangat dia sukai menjadi tempat yang mengerikan.
Masih
segar di ingatannya saat penduduk kota itu yang mulai diblok-blok berdasarkan kasta
mereka. Masyarakat kelas rendah dan miskin
ditempatkan di tembok paling dalam. Terisolasi dari dunia luar. Dibiarkan terpuruk dalam kemiskinan , virus
mematikan dan wabah penyakit. Tembok yang lebih luar memuat mereka yang hidup
serba pas-pasan dan berkecupan. Sedang tembok terluar ditempati para politikus
dan para pemegang tapuk pemerintahan yang mengaku peduli akan nasib rakyat.
“Itu
harus kita lakukan, Gi?”
“Untuk
apa? Kita ini pemimpin yang bertanggung jawab pada hidup mereka,Leo?” Laki-laki
itu kembali teringat percakapannya dengan salah satu rekannya yang bekerja di pemerintahan.
Kawan lama sekaligus teman seperjuangan selama hidup di Jakarta.
“Gi,
kamu tahu apa yang menyerang mereka? HIV, AIDS, dan entah penyakit apa yang
menempel di tubuh mereka. Kita melakukanya untuk melindungi penduduk lain di
tembok yang lebih luar. Agar mereka tidak tertular.”
“Leo,
mereka....yang berada di tembok paling dalam tidak akan punya kesempatan untuk
menyembuhkan diri mereka kalau kita tidak membantu mereka. Mereka bahkan tidak punya penghasilan untuk makan,
Leo,” Gio menatap sahabatnya. Dia benar-benar tidak mengerti kenapa idealisme
yang pernah mereka bangun semasa masih mahasiswa runtuh disini.
“Gi,
kalau kau membantu mereka, aku pesan jangan. Yang berada di dalam tembok biarlah di dalam tembok.”
Gio
menghela nafas berkali-kali mengingatnya. Ini kesalahannya, juga kesalahan
kawan-kawannya yang membiarkan perdanganngan bebas di tahun kesekian menjamur.
Membuat semua barang yang entah apa masuk tanpa disortir. Mereka bahkan tidak
sadar kalau virus-virus baru berdatangan bersamaan dengan barang itu. Menyerang
mereka yang tidak punya biaya jaminan kesehatan. Dan satu-satunya cara untuk
melindungi mereka yang belum tertular adalah pembangunan puluhan tembok blokade. Tembok perlidungan dengan jarak puluhan kilometer yang
memisahkan masing-masing kasta. Meminimalisir korban. Itu alasannya.
“Dok,
apa dokter yakin dokter akan turun tangan ke tembok terdalam?”
Gio
mengangguk. Sebagai dokter pribadi keluarga presiden, mau tidak mau Gio harus turun ke tembok terdalam.
Ini tuntutan kemanusiaan.
“Iya.
Tentu saja, aku harus tahu virus apa yang menyerang mereka. Dan satu-satunya
caraku untuk mengetahui apa itu adalah
datang ke tempatnya.”
“Tapi,
Dok...”
“Nathan...”
Gio menahan nafas lalu menatap anak buah
sekaligus muridnya itu dalam. “Aku memintamu kemari untuk mencari tahu jalan
ke tembok dalam tanpa ketahuan kan? Jadi apa kau sudah menemukannya?” Gio
mengalihkan pembicaraan.
Nathan
membalas tatapan itu ragu. Tapi dia tetap mengangguk pelan. “Ya, Dok..”
***
Malam
itu, Gio membulatkan tekadnya untuk menyusup ke tembok terdalam. Tempat
yang pernah dia datangi satu dekade
silam. Karena setelah itu Gio ditarik menjadi dokter pribadi presiden lalu mendekam di tembok terluar. Membuat aksesnya keluar-masuk tembok
blokade semakin sempit.
Dirapatkan
jaket antiviral yang ia kenakan. Dia
menyalakan monitor yang keluar dari jam tangannya. Sebuah teknologi bentukan
Barat yang pernah beredar beberapa waktu lalu. Monitor itu memandunya masuk ke dalam
lorong-lorong yang gelap yang
menunjukkan sebuah peta hasil
riset Nathan. Dia akan kesana sendirian. Terlalu berbahaya jika mengajak Nathan
keluar.
Gio
yakin sudah menjalankan sepatu anginnya
sepanjang malam menelusuri lorong itu, tapi entah kenapa lorong itu tak
berujung sama sekali. Gio mersasakan ada secercah cahaya yang menyapa matanya sesaat sebelum dia menyerah. Dan
ketika dia benar-benar menemukan ujung
lorong itu, Gio nyaris tidak percaya dengan penglihatannya.
Puluhan,
atau bahkan ratusan manusia kurus kering tanpa daging berkeliaran
di luar tembok. Mereka bersandar pada dinding tembok yang kasar dan berbatu tanpa tenaga. Sorot dari mata cekung mereka menunjukkan
penderitaan yang amat sangat.
Gio menelan ludah kelu. Ada perasaan
bersalah yang menghantam
dirinya. Dia memutuskan untuk mendatangi mereka. Sekedar melihat kondisi dan memastikan apa
yang sebenarnya terjadi pada mereka.
“Maaf
permisi?” Gio menatap perempuan yang tidak bisa ia tebak usianya.
Perempuan itu terduduk diam dengan mata
terpejam.
Gio
nyaris mundur beberapa langkah begitu melihat wanita di depannya itu membuka mata lalu menatapnya tajam. Pandangannya bukan lagi
pandangan manusia. Entah bagaimana Gio
menjelaskannya. Detik berikutnya, wanita itu, entah mendapatkan kekuatan dari mana, mencekal lengan Gio kasar. Dia berusaha
merobek pelapis jaket antiviral yang membungkus Gio sambil menceracau tak
karuan. Mengeluarkan seluruh umpatan yang dia tahu pada pemerintah.
Gio
hanya bisa menelan ludah pahit.
DOR!
Sebuah
letupan membuat perempuan itu ambruk. Gio mendongak. Matanya membulat melihat
Nathan yang berlari ke arahnya sambil menenteng pistol. “Dok!”
“Apa
yang kau lakukan?!” Gio menahan
amarahnya. Mereka kini dikeliling puluhan pasang mata yang menatap mereka
kelaparan.
“Dok,
kau bilang kau hanya akan mengobservasi
mereka. Bukan mendatangi mereka. Itu berbahaya, Dok!”
Gio
mundur perlahan. “Ada apa denganmu? Bagaimana kau bisa menganggap berbahaya kalau kau tidak tahu apa yang terjadi dengan mereka?!”
Nathan tercekat. Dia hanya menunduk melihat tatapan
nanar dari gurunya itu. “Dok, ayo tinggalkan tempat ini. Aku tidak bisa
menjamin keselamatan dokter kalau kita terus disini....”
Gio
mengabaikan teriakan Nathan. Disambar jarum suntik yang sudah dia siapkan sebelumnya. Dia mengambil sampel darah dari
wanita yang kini telah tewas di depannya. Dia harus tahu...apa yang sebenarnya
terjadi di sini. Penyakit macam apa yang menjangkiti mereka.
***
Gio
nyaris tidak percaya dengan apa yang
dilihatnya di bawah mikroskop nano
elektron yang dia miliki. Sampel darah wanita itu mengandung virus yang sudah lama dinyatakan
hilang dari muka bumi. Bagaimana bisa? Volksyrine,
nama virus yang Gio temukan setengah dekade lalu muncul kembali setelah di
berhasil membuat antivirusnya. Bagaimana bisa?
Bukankah
dulu dia menolak mematenkan vaksin yang dibuatnya
agar seluruh lapisan masyarakat bisa menggunakan vaksin itu tanpa
gangguan biaya? Bukankah dia sendri yang membagikan vaksin itu pada mayarakat
saat kampanye presiden yang sekarang? Lalu bagaimana bisa virus itu kembali ada
dan menyerang mereka yang sudah pernah mendapatkan vaksin?
Gio
menoleh saat pintu ruangannya dibuka. “Leo, apa yang kau lakukan disini?”
“Mengunjungi
kawan lama,” sahut Leo cepat. “Kau sendiri kelihatan sibuk akhir-akhir ini? Aku
jarang melihatmu mendampingi presiden.”
Gio
mencoba menyingkirkan file yang terpampang di komputernya dalam ketukan jari.
Dia mencoba tersenyum tenang. “Presiden baik-baik saja. Tidak ada yang perlu
dikhawatirkan dari dia. Kau sendiri, apa kau menjalankan tugasmu dengan baik? Sebagai
sekretarisnya?”
Leo
tertawa. “Tentu saja. Hey, kenapa kau ini? Kau kelihatan gugup?”
“Gugup?
Kenapa aku harus gugup?”
“Benar
juga ya. Kenapa juga kau harus gugup.” Leo membanting tubuhnya ke sofa. Dia
menatap kawannya lama. “Gi, ada sesuatu yang harus kukatakan padamu...”
Belum
sempat Gio membuka mulutnya untuk bertanya,
sesuatu yang dingin menempel di kepalanya. Pelatuk. Sebuah pelatuk dan
seseorang yang membawanya. Gio berbalik dan mendapati Nathan mengacungkan
Walther keperakan itu ke kepalanya.
Pistol buatan Jerman itu tepat menyentuh batok kepalanya.
“Nathan?!
Apa yang kau lakukan?”
“Maaf,
Dok...aku harus melakukannya.” Gio nyaris tidak percaya melihat kilat tajam
dari mata anak itu. Jangan-jangan dia....
“Gio,
aku sudah melarangmu berurusan dengan mereka. Tapi kenapa kau ngotot untuk menyelinap menemui mereka?”
“Apa
kau tahu sesuatu?” Gio berusaha membaca
situasinya sekarang. Apa yang sebenarnya
terjadi dengan semua ini?
“Itu
memang Volksyrine. Virus lama yang
kau temukan bersama Nathan, murid kesayanganmu itu. Aku menyuruh anak muda itu
memodifikasinya.”
Gio
membulatkan matanya. Dia berbalik menatap Nathan dan mendapati anak itu hanya menatapnya dengan
mata penuh penyesalan. Ada apa ini?
“Leo,
apa yang sebenarnya terjadi?”
“Aku
ingin membuatnya menjadi senjata biologi pemusnah massal.”
“APA?!
Kau gila. Untuk apa?”
“Tentu
saja untuk balas dendam pada orang-orang
yang menggencet negara kita, mengeruk kekayaan tanah kita, dan memperbudak kita
bertahun-tahun silam.”
Gio
nyaris tidak percaya dengan pendengarannya. Apa monster yang berdiri di depannya itu
benar-benar kawannya?
“Apa
kau tahu...mereka juga pernah melakukannya pada kita. Menyebarkan virus
mematikan pada kita lalu membuat vaksin untuk kita. Demi keuntungan. Demi uang.
Itu juga cara yang akan aku gunakan pada mereka.”
“Well,
Leo...aku mengerti maksudmu, tapi kenapa harus membuat warga kita menderita?
Mereka juga bagian dari tanah ini kan?”
Leo
mengangguk. “Itu hanya strategi tarik ulur. Kita harus membiarkan mereka melihat kalau negara kita juga pernah tertular
virus yang sama. Setidaknya mereka akan berpikir kalau kita sama-sama korban.”
Gio
menelan ludah. Apa yang sebenarnya merasuki pikiran kawannya itu? “Kau
mengkhianati bangsamu sendiri Leo...”
“Tidak,”
potong Leo cepat. “Kau pikir aku melakukan ini tanpa persetujuan atasan? Tidak
bukan?”
Presiden?!
Bagaimana mugkin?!!
“Maaf,
Gio...tugasmu berakhir sampai sini. Orang baik sepertimu kadang memang
menyebalkan.”
Gio
masih bisa melihat tubuh Leo yang lenyap dibalik pintu. Kini dia mengatur detak
jantungnya saat dia mendengar suara pistol
yang dikokang. “Nathan... kenapa kau melakukannya? Kau tidak serius
kan?”
DOR!
Nathan
menghela nafas saat peluru itu sempurna menembus batok Gio. Membuat dokter
paruh baya itu tergeletak tak bernyawa. “Demi uang,”sahut Nathan kemudian.
“Karena aku tidak mau menjadi makhluk miskin yang terisolasi di blokade
terdalam tempat ini.” *END*
When You Start Counting Down Your Time
Menghitung mundur sebuah waktu....
Apa yang akan kamu lakukan kalau kamu ngerasa waktu yang kamu miliki tinggal 1,5 tahun. Yep 1,5 tahun. Kupikir waktu yang terlalu singkat untuk mengumpulkan kenangan dari orang-orang terdekat. Entah orang mana pun yang kau sukai.
Buatku 1,5 tahun itu waktu yang cukup kalau aku cuma mau menghabiskan buat selfishly. Something so nonsense! Tapi...1,5 tahun itu bukan waktu yang cukup buatku untuk memberikan apa yang bisa aku usahakan untuk orang-orang yang aku cintai. Bapak...Ibu...my lovely siblings. Entah apa yang bisa diberikan dalam waktu sesingkat itu.
Buat Bapak-Ibu yang sudah merawat sejak bayi, iyakah 1,5 tahun cukup untuk membalas sayang mereka. Dipikir pun mau balas dengan apa coba. Iya sih mungkin prestasi, kesholehan, hafalan...ah yang terakhir bikin sakit kepala. Berapa yang bisa dipersembahkan pada mereka untuk membuat mereka memakai mahkota disurga.
Dan...lagi....1,5 tahun, dengan kondisi yang masih berjauhan, bisakah mereka, orang-orang yang mencintaimu tidak membanjir air matanya waktu ditinggal pergi. Iyakah mereka tidak mengenangmu dalam sakit. Kalau aku jadi orang dengan sisa 1,5 tahun, aku akan melarang mereka menangis Buat apa? Toh, tujuan terakhir sama kan. Akhirat. Hanya antriannya aja yang berbeda.
Well, sebenarnya....wajar kan kalau misal ada orang yang ngerasa 1,5 tahun sisa hidupnya ingin menatap orang-orang yang dicintanya lebih lama? Bisa bercengkrama lebih lama? Berharap orang yang menyukai diam-diam kelak tidak akan menangisinya. Yah, paling tidak bisa mengukir kenangan baru lah. Sambil menyelesaikan kewajiban yang memang harus dipikulnya...
:D
midnight dream.
Miss you so much Mommy and Daddy.
Langganan:
Postingan (Atom)