About

If I wind....I can bring every single laugh and tears in the same way
Should I tell you like the same way when I was crying or laughing at that time?

Let's be a friend!!!

Cari Blog Ini

We Need Time, Only Time

We Need Time, Only Time

Di dunia ini tidak ada hal yang paling kuinginkan selain meminta maaf padanya. Entahlah, aku hanya ingin mengatakan padanya perkataan itu sejak aku menariknya masuk ke kehidupanku. Sejak 24 jam hidupku mulai disesaki dirinya. Aku ingin sekali menatap mata beningnya  lalu mengusap bahunya sambil mengatakan permintaan maaf berkali-kali. Aku tidak tahu itu karena keegoisanku atau aku yang mulai tidak tahan melihat mata terluka itu tiap pandangan kami bertemu.
            Aku akui kalau aku laki-laki paling pengecut. Mengucapkan kata maaf pada orang yang paling kucintai pun aku tak sanggup. Bahkan saat sosoknya bersliweran di hadapanku 24 jam. Kata-kata itu terkunci di bibirku. Dan hanya bisa kubisikkan diam-diam ke telinganya saat ia tertidur.
***
            Nania  mengusap rambutnya saat panas matahari menampar pipinya lembut. Ah, dia pasti kesiangan lagi. Kadang dismonerhae gara-gara haid itu membuatnya tak bisa membuatnya mengangkat tubuh dari kasur.
            Dia berjalan tertatih ke dapur. Rumah sepi. Apa dia sudah berangkat? Baguslah. Setidaknya aku  tidak perlu bersikap sebagai istri sok baik yang  selalu menyalaminya setiap pagi. Nania melirik tudung dapur yang tertata sempurna. Sebuah kertas pink terselip di atasnya. Itu warna kesukaan Nania. Pasti Ivan yang meletakkannya di sana sebelum berangkat tadi.
            Selamat ulang tahun, Nania
            Ini kado pertama hari ini. Aku akan memberi kado lain saat aku pulang nanti.
            What?! Ulang tahun?! Apa-apaan laki-laki ini, bahkan dia sudah lupa kapan hari lahir sababat...ah, istrinya sendiri.
            Nania menghela nafas. Ditatapnya foto pernikahan mereka yang menggantung bisu di ujung dinding. Foto yang aneh bagi Nania. Karena tidak ada satupun lekukan senyum di bibir mungilnya. Itu sudah dua tahun lalu. Dua tahun yang menyakitkan bagi Nania saat dia ingat apa alasannya menikah dengan laki-laki itu. Dia bahkan heran kenapa bisa melewati dua tahun bersama laki-laki itu.
            Ponsel Nania bergetar pelan.  Beberapa kiriman foto masuk di LINE miliknya. Dari Ivan. Menyuruhnya datang ke salah satu kedai teh di pinggiran Bandung nanti sore. Ada sesuatu yang ingin dia bicarakan, begitu katanya. Nania mengabaikannya sejenak sebelum akhirnya mengiyakan dalam hati. Oke, Van. Doakan aku tidak ketiduran lagi.

***
            Nania mengerang kesal meliat kamar Ivan. Apa laki-laki itu tak pernah bisa mengurus dirinya? Dia bergidik jijik melihat botol-botol kopi beserak di sudut ruang itu. Bagaimana dia bisa bertahan di tempat seperti ini sih?
            Nia, aku minta tolong padamu. Aku ada meeting nanti malam. Laptopku ada di kamar. Bisa tolong anbilin?
            Itu permintaan Ivan sejam lalu. Nania nyaris membalasnya dengan penolakan. Tapi mengingat dia akan menemui laki-laki itu nanti sore, kenapa ia tidak berbaik hati sekalian membawakan laptopnya?
            Nania membawa laptop maroon itu keluar sebelum berpikir untuk mengacak-acak file Ivan. Dia tertegun lama saat berhasil membuka password laptop Ivan dengan mengetik namanya. Ditatap lama layar desktop yang menampil cengirannya saat wisuda di samping Ivan. Nania menutup laptop itu cepat. Berharap ingatan lamanya tidak ditarik keluar lagi.
            Ah, laki-laki ini....
***
Aku meremas amplop coklat yang kupegang. Membuat ujungnya terlipat. Desahan napasku keluar lagi.  Bercampur dengan dingin yang mulai merambat di tepian kota Bandung. Ayo, Van...kita akhiri saja beban yang selama ini membuatmu mati rasa.
            Kusesap vanilla latte yang kupesan duluan. Kopi favoritku itu bahkan terasa perih saat menyentuh lambung. Aku kembali menghela napas sambil menatap foto Nania. Bukan. Itu foto pernikahan kami berdua. Tapi hanya fotonya yang kugunting dan kuselipkan di dompetku. Kuusap wajah lembutnya pelan. Bahkan dia tidak sanggup tersenyum di hari pernikahannya. Dan aku lah satu-satu orang yang membuatnya seperti itu.
            Awalnya, aku dan Nania hanya kawan biasa. Kami sama-sama aktif di organisasi kampus dan menjadi kawan dekat. Dia adalah gadis manis yang selalu mengumbar senyumnya. Jujur, aku menyukainya sejak kali pertama aku menatapnya. Tapi aku hanya menyimpan perasaan itu di depannya. Dia gadis yang terlalu baik untukku.Dan terlalu naif kalau aku berpikir untuk memilikinya.
            Sampai suatu hari Nania wisuda dari kampus. Aku yang sudah meniti karier di dunia kerja menyiapkan pesta kecil bersama teman-teman yang lain. Tidak ada yang aneh memang, hingga kejahilanku dan cowok-cowok lain kambuh. Kami menaruh wine di gelas Nania. Sengaja membuat gadis perfecsionis itu kehilangan kewarasannya.
            Itu adalah awal di mana aku menghancurkan seluruh kehidupan Naina. Menghancurkan mimpinya dan mimpi orang tuanya.
            Malam itu Nania benar-benar mabuk. Dia menceracau tak karuan di depanku sampai akhirnya  jatuh tertidur tepat di bahuku. Entah iblis mana yang merasukiku saat itu.  Malam itu, aku tega merengut kehormatan Naina. Membiarkan gadis itu mengiyakan apa yang aku inginkan sebagai seorang laki-laki.
            Dan paginya, saat Nania sadar, dia mendelik ke arahku. Dia menatapku setengah tak percaya sebelum akhirnya  memakiku dan menamparku berkali-kali. Letupan amarahnya terasa menyakitkan sekali di pipiku. Itu adalah akhir persahabatan antara aku dan Nania.
***
            Semuanya terasa asing sekarang. Nania tidak pernah mau menemuiku. Dan aku juga tidak berani menemuinya. Sampai kabar itu mampir di telingaku. Nania hamil. Hanya berselang  dua bulan sejak kejadian itu, kawan sekampusku yang memberi tahu  kalau Nania hamil.
            Aku tidak tahu apa lagi yang ada di otakku selain rasa bersalah yang makin hari makin menikam dada. Sampai aku datang menemui Nania. Tapi bukan permintaan maaf yang terlontar. Aku mengajaknya menikah. Menyembunyikan perutnya yang makin lama makin membuncit. Dan aku yakin Nania tidak punya pilihan lain. Aku benar-benar merasa jadi makhluk paling jahat saat itu. Tapi aku juga tidak tahu apa yang harus aku lakukan selain hal itu..
            Dan saat itulah aku benar-benar menghapus senyum di bibir Nania.
            Anak itu tidak pernah lahir. Nania keguguran sebulan setelah aku dan dia menikah. Depresi berat, itu kata dokter yang menangani Nania. Dan penjelasan itu cukup membuatku ditusuk seribu sembilu. Aku bisa melihat Nania menangis saat itu. Bahunya terguncang hebat. Dan saat aku ingin meraihnya, dia buru-buru menampik lenganku. Menatapku penuh kebencian. Saat itulah aku kembali menghapus senyum milik Nania.
            Aku menyukainya. Sungguh mencintainya. Tapi entah kenapa apa yang aku lakukan justru membuatnya makin membenciku. Dan ujung-ujungnya selalu membuatnya terluka.
***
            “Apa yang ingin kau bicarakan, Van?” Nania mengambil tempat di seberang Ivan sambil merapikan blus satunnya. Dia menyerahkan laotop Ivan lalu menatap sekilas laki-laki itu. Entah kenapa kali ini Nania menatap laki-laki di depannya lain. Tadi siang dia menemukan setumpuk file milik Ivan. File yang terpassword dan dibuka Nania dengan mudah hanya dengan mengetik namanya, tanggal lahirnya, dan tanggal pernikahan mereka. 
            Ivan suka fotografi. Nania tahu itu sejak pertama kali mereka bertemu. Tapi Nania sama sekali tidak tahu kalau Ivan suka sekali memotretnya diam-diam. Sejak pertama kali mereka saling kenal sampai sekarang.
            Ivan tersenyum tipis. “Mau pesan apa. Aku yang traktir.”
            Nania mencibir pelan. “Boleh aku tanya?”
            “Ehm..?”
            “Van, kamu seharusnya ingat kan kalau hari ini bukan hari ulang tahunku?”
            Ivan mengangguk. “Ingat. Kenapa?”
            “Lalu kenapa kau mengatakan ‘selamat ulang tahun’ padaku?”
            Ivan memutar bola matanya. Cara yang selalu ampuh membuat Nania tertawa. Dulu tapi. “Kamu ingat? Hari ini adalah tanggal pertama kali kita bertemu...”
            Nania menautkan alisnya. Oh ya? Dia bahkan sudah lupa kapan bertemu pertama kali  dengan Ivan. Karena yang ada di ingatan Nania cuma... Nania buru-buru menghela nafas dalam. Mencoaba mati-matian berdamai dengan kejadian itu.
            “...dan mungkin hari ini hari terakhir kita bertemu.” Ivan menatap mata jernih itu yang mulai kebingungan. Dia meliukkan senyum.
            “Maksudmu?”
            Ivan mengulurkan amplop coklat yang sudah lecek di tangannya. Dan Nania hanya menatapnya penuh tanya.
            “Apa ini?”
            “Surat cerai.”
            Nania membeku di tempatnya. Apa?! Cerai?! Ditatap raut laki-laki di depannya yang menyiratkan kesungguhan.  Jangan bercanda. Apa laki-laki di depannya ini mau membuangnya begitu saja? Setelah apa yang dia lakukan pada kehidupanku?
          “Aku mencintaimu, Nia. Sangat. Tapi perasaanku sangat menyakitkan buatmu bukan? Makanya...ayo kita cerai saja. Aku tidak tahan melihatmu terluka karena aku.”
            Jemari Nania bergetar mendengarnya. Dimasukkan surat itu ke tasnya. “A-aku....akan memikirkannya,” ujarnya sebelum meninggalkan Ivan.
***
            Ini sudah tengah malam. Dan aku masih menatap langit kamar kosong. Berusaha melukis bayangan laki-laki yang tadi sore menatapku berkaca-kaca. Pandanganku beralih pada amplop colat yang bisa kutebak apa isinya. Aku mendesah.Ada beban yang tiba-tiba menghimpit paru-paruku.
            Aku memang tidak menyukainya. Tapi tidak bisa sepenuhnya membenci laki-laki itu. Tentu saja. Aku pernah menyukainya sebelum dia melakukan hal itu padaku. Iya, pernah...meski cuma sebentar.
            Dinding di kamarku kali ini benar-benar terasa dingin. Di samping kamarku ada kamar Ivan. Entah apa yang laki-laki itu lakukan sekarang. Sejam lalu aku masih bisa mendengar Simple Plan mengalun sebelum akhirnya mati. Kutatap lagi amplop itu lama. Surat cerai?
             Aku mencintaimu, Nia. Sangat. Tapi perasaanku sangat menyakitkan buatmu bukan? Makanya...ayo kita cerai saja. Aku tidak tahan melihatmu terluka karena aku.
            Dia mencintaiku? Tapi kenapa dia ingin cerai denganku? Karena dia selalu menyakitiku? Ah, padahal seandainya dia mengucapkan maaf sekali saja, aku akan mencoba memaafkannya. Aku menutup separuh wajahku dengan bantal. Menyembunyikan sesak yang tiba-tiba menjalar cepat. Dan aku menangis.
***
            Ivan terkejut saat melihat Nania sudah bergumul dengan panci penggorengan saat adzan subuh baru berkumandang. “Apa yang kau lakukan?”
            “Kau tak bisa melihatku memasak? Kau bilang kau ada meeting pagi nanti kan? Aku sedang membuatkanmu sarapan,” terang Nania diantara kesibukannya membalik nila di panci penggorengan.
            “Ah...” Ivan mengangguk. Membiarkan Nania melakukan kebiasaannya itu. “...Nia, soal surat..”
            “Aku membakarnya,” potong Nania cepat.
            Prang! Ivan menjatuhkan gelas yang dipegangnya. Ditatapnya Nania setengah tak percaya.
            “Ah,kenapa kau menjatuhkannya. Itu gelas oleh-oleh temanku dari Prancis tau?” Nania mulai merepet. Dia memunguti pecahannya dan .... “Ah...”
            “Nia! Kau tidak apa-apa?” Ivan meraih tangan Nania cepat. Memastikan kalau dia tidak apa-apa. Tapi Nania buru-buru menarik tangannya. “Ah, maaf...”
            “Kau bisa mengucapnya kan?”
            “Apa?”
            “Barusan kau mengucapkannya. ‘Maaf’.” Nania menatap laki-laki di sampingnya. Mungkin ini kali pertama dia kembali menikmati mata bulat itu. Mata yang selalu dinilai sebagai mata yang paling jujur yang pernah Nania tahu. “Seharusnya kau mengucapkannya dari dulu.”
            “Nia...aku...” Ivan kehilangan kata-katanya.
            “Apa kau pikir hidup di sini bersamamu itu mudah? Memang kau pikir aku masak setiap hari, mencuci bajumu setiap hari, membersihkan rumah sampai pinggangku mau patah itu mudah? Apa kau pikir aku mau melakukannya tanpa upah? Tapi aku melakukannya kan? Apa itu bukan berarti ada cinta yang setiap hari kulakukan untukmu?”
            Ivan membiarkan jantungnya berpacu kencang. Dia bisa merasakan himpitan yang selama ini menyesaki dadanya mulai berkurang.
            “Seseorang pernah mengatakan padaku. Ketika kau mencintai seseorang terlalu besar , kau harus menerima konsekuensi  kalau dia tak akan melihat cintamu. Atau ketika cinta itu terlalu dekat, kau juga harus menerima konsekuensi kalau dia tak akan menyadari cintamu. Aku benar  kan?”
            “...”
            Kali ini Ivan terkatup. Itu kata-kata yang dia ucapkan saat menyatakan perasaannya pada Nania secara tidak langsung. Dulu Ivan selalu berpikir kalau Nania tidak akan mengerti maksudnya. Tapi sekarang Ivan tahu, Nania bahkan mengingat kata-kata itu.
            “Kita hanya perlu waktu, Van. Kau butuh waktu untuk meminta maaf padaku. Dan aku...juga butuh waktu untuk memaafkanmu. Kita hanya butuh waktu, Van.”
            Nania menahan  napas. Kali ini dia tidak mendorong tubuh kekar Ivan saat laki-laki itu memeluknya.
End***end

            

Melengkung Asa



Di sini, tanah nun jauh dari kerlip kota
Membingkai ufuk dan rimbun hutan belantara
Tapi ini juga tanah Tuan, tempat Tuan melebarkan sayap-sayap kekuasaan

Tuan, tahukan anda?
Tanah disini digorongi tikus hutan
Melenyapkan gabah dan jagung kami tanpa sisa
Membuat kami yang sudah miskin makin merana
Tertatih dalam pekat kehidupan

Tuan....entah apa lagi yang mau di kata
Tanah ini dipenuhi kilau emas
Tapi kami memuaskan diri dengan hampa arang
Berharap ia akan berubah jadi intan

Tuan, kami tidak akan tahu rasanya duduk di singgasana
Kami  pun tidak mau tahu bagaimana rasanya
Itu urusan Tuan...
Tapi Tuan...sudikah kiranya Tuan turun sejenak
Menyapa kami yang duduk menghamba demi tanah ini
Demi tanah yag mulai kerontang akan asa
Tanah yang mulai kering dari sumber-sumber keadilan

Tuan...apa singgasana itu terlalu nyaman
Sampai lupa kalau singgasana itu yang akan menuntutmu kelak di akhirat
Apa singgasana itu membuatmu lupa ...
Lupa bahwa  kami juga pernah menggiringmu  sampai disana

Tuan, pinta kami sederhana...
Tengoklah kami yang nun jauh di ujung tanah  ini
Yang menulis setiap detk kehidupan dengan kelam arang
Yang berebut pangan dengan tikus hutan

Tuan, asa ini kami titipkan
Untukmu yang duduk di singgasana...
Tidak muluk, hanya sebuah tatapan kebijakan pada kami
Bukan perlakuan tiran dan diktator...
Tanah ini biarlah mengering seperti ini...
Asal kau tidak memutus sumbernya, kami akan mencoba bertahan..
Dalam detak-detak asa yang entah pada siapa dan sampai kapan kami gantungkan...


Abandon

Pengalaman kemarin nulis cerpen buat lomba LSCO. Dapet ide 7 jam sebelum deadline penutupan, dikerjakan  5 jam sebelum deadline penutupan. Menyerah di hitungan mundur satu jam. "Ya udah deh, kirim aja. Ketimbang kecewa gara-gara gak ngirim mending kalah secara terhormat." Itu yang kupikirkan waktu itu. Waktu berlalu...dan aku lupa kalau sempet ikutan event ini. Sampai SMS dari panitia datang:

Panitia : Assalamualaikum. Maaf, kami dari panitia LSCO, bisa minta kirimin nama asli dan biodata narasi lengkap. Kami butuh untuk proses lebih lanjut.
Waktu SMS datag pagi-pagi sempet mikir, nih orang salah kirim apa kek mana sih?! LSCO apa ya? Kapan aku ikut nih agenda. 

Me  : LSCO apa ya?
Panitia : Lho belum buka pengumuman ya mbak?
Me : *masih nggak ngeh* Akhirnya  aku obrak-abrik FB dan nemuin salah satu web yang pernah aku share. Owaalah....ternyata...:D. Dan ngakaklah begitu lihat pengumumannya. 

Aku sadar kok, dari sisi diksi, cerita ini masih gabut banget. Seandainya aku kasih ke mentorku di #KampusFiksi pasti aku dijtak habis-habisan. Tapi ya kek mana lagi? Aku baru kepikiran ide 7 jam sebelum DL, digarap cerpennya juga hanya dalam waktu 5 jam tanpa selfedit. Pake ding tapi cuma sekali. Dan hasilnya kayak gitu. Hemmm....Ini bukti the power of kepepet kali ya. Hehehe. 


Abandon

Jakarta, 2150
            Di sebuah kawasan  metropolitan , seorang laki-laki  paruh baya duduk di salah satu privat bar. Ditemani alunan  lagu-lagu barat yang   menghentak lembut. Dia mengetukkan jemarinya di  meja gelisah. Terlihat sedang menunggu seseorang.
            “Dok?” Seorang laki-laki klimis yang lebih muda dari laki-laki yang duduk itu tiba sambil berusaha mengatur nafasnya yang masih terengah-engah.
            “Ah, Nathan...akhirnya kau datang,” serunya lega. Dia menyuruh laki-laki yang dia panggil Nathan itu duduk disampingnya. “Jadi bagaimana? Kau sudah mendapatkan info?”
            Nathan mengangguk. Dia merapikan  jas maroonnya sambil berusaha mengusir gugup. “Mereka menambah pintu  gerbang dan  melipatkan penjagaan, Dok.”
          Laki-laki itu menghela nafas. Meskipun dia sudah menduganya, dia tidak berpikir untuk mendengarnya dari anak buah kepercayaannya itu, Nathan. Pikirannya melayang. Dia kembali teringat  puluhan tahun sebelum dia sampai di kota ini dan duduk di salah satu kursi pemerintahannya.  Siapa sangka beberapa dekade kemudian tempat yang dulu sangat dia sukai menjadi tempat yang  mengerikan.
            Masih  segar di ingatannya saat  penduduk kota itu  yang mulai diblok-blok berdasarkan kasta mereka. Masyarakat kelas rendah dan miskin  ditempatkan di tembok paling dalam. Terisolasi dari dunia luar.  Dibiarkan terpuruk dalam kemiskinan , virus mematikan dan wabah penyakit. Tembok yang lebih luar memuat mereka yang hidup serba pas-pasan dan berkecupan. Sedang tembok terluar ditempati para politikus dan para pemegang tapuk pemerintahan yang mengaku  peduli akan nasib rakyat.
            “Itu harus kita lakukan, Gi?”
         “Untuk apa? Kita ini pemimpin yang bertanggung jawab pada hidup mereka,Leo?” Laki-laki itu kembali teringat percakapannya dengan salah satu rekannya yang bekerja di pemerintahan. Kawan lama sekaligus teman seperjuangan selama hidup di Jakarta.
            “Gi, kamu tahu apa yang menyerang mereka? HIV, AIDS, dan entah penyakit apa yang menempel di tubuh mereka. Kita melakukanya untuk melindungi penduduk lain di tembok yang lebih luar. Agar mereka tidak tertular.”
       “Leo, mereka....yang berada di tembok paling dalam tidak akan punya kesempatan untuk menyembuhkan diri mereka kalau kita tidak membantu mereka. Mereka  bahkan tidak punya penghasilan untuk makan, Leo,” Gio menatap sahabatnya. Dia benar-benar tidak mengerti kenapa idealisme yang pernah mereka bangun semasa masih mahasiswa runtuh disini.
           “Gi, kalau kau membantu mereka, aku pesan jangan. Yang berada di  dalam tembok biarlah di dalam tembok.”
            Gio menghela nafas berkali-kali mengingatnya. Ini kesalahannya, juga kesalahan kawan-kawannya yang membiarkan perdanganngan bebas di tahun kesekian menjamur. Membuat semua barang yang entah apa masuk tanpa disortir. Mereka bahkan tidak sadar kalau virus-virus baru berdatangan bersamaan dengan barang itu. Menyerang mereka yang tidak punya biaya jaminan kesehatan. Dan satu-satunya cara untuk melindungi mereka yang belum tertular adalah  pembangunan  puluhan tembok blokade. Tembok  perlidungan dengan jarak puluhan kilometer yang memisahkan masing-masing kasta. Meminimalisir korban. Itu  alasannya.
            “Dok, apa dokter yakin dokter akan turun tangan ke tembok terdalam?”
            Gio mengangguk. Sebagai dokter pribadi keluarga presiden, mau  tidak mau Gio harus turun ke tembok terdalam. Ini tuntutan kemanusiaan.
            “Iya. Tentu saja, aku harus tahu virus apa yang menyerang mereka. Dan satu-satunya caraku untuk mengetahui apa itu adalah  datang ke tempatnya.”
            “Tapi, Dok...”
            “Nathan...” Gio menahan  nafas lalu menatap anak buah sekaligus muridnya itu dalam. “Aku memintamu kemari untuk mencari tahu jalan ke  tembok dalam tanpa ketahuan  kan? Jadi apa kau sudah menemukannya?” Gio mengalihkan pembicaraan.
            Nathan membalas tatapan itu ragu. Tapi dia tetap mengangguk pelan. “Ya, Dok..”

***
            Malam itu, Gio membulatkan tekadnya untuk menyusup ke tembok terdalam. Tempat yang  pernah dia datangi satu dekade silam. Karena setelah itu Gio ditarik menjadi dokter pribadi  presiden lalu  mendekam di tembok  terluar. Membuat aksesnya keluar-masuk tembok blokade semakin sempit.
           Dirapatkan jaket antiviral yang ia kenakan. Dia menyalakan monitor yang keluar dari jam tangannya. Sebuah teknologi bentukan Barat  yang  pernah beredar beberapa waktu  lalu. Monitor itu memandunya masuk ke dalam lorong-lorong  yang  gelap yang  menunjukkan sebuah  peta hasil riset Nathan. Dia akan kesana sendirian. Terlalu berbahaya jika mengajak Nathan keluar.
            Gio yakin sudah menjalankan  sepatu anginnya sepanjang malam menelusuri lorong itu, tapi entah kenapa lorong itu tak berujung sama sekali. Gio mersasakan ada secercah cahaya yang menyapa  matanya sesaat sebelum dia menyerah. Dan ketika  dia benar-benar menemukan ujung lorong itu, Gio nyaris tidak percaya dengan penglihatannya.
            Puluhan, atau bahkan  ratusan  manusia kurus kering tanpa daging berkeliaran di luar tembok. Mereka bersandar pada dinding tembok yang kasar dan berbatu  tanpa tenaga. Sorot  dari mata cekung mereka menunjukkan penderitaan yang amat sangat.
                  Gio menelan ludah kelu. Ada perasaan bersalah  yang  menghantam  dirinya. Dia  memutuskan untuk mendatangi mereka. Sekedar melihat kondisi dan memastikan apa yang sebenarnya terjadi pada mereka.
 “Maaf  permisi?” Gio menatap perempuan yang tidak bisa ia tebak usianya. Perempuan itu terduduk diam dengan  mata terpejam.
            Gio nyaris mundur beberapa langkah begitu melihat wanita  di depannya itu membuka mata lalu  menatapnya tajam. Pandangannya bukan lagi pandangan  manusia. Entah bagaimana Gio menjelaskannya.  Detik berikutnya, wanita itu, entah mendapatkan kekuatan dari mana, mencekal lengan Gio kasar. Dia berusaha merobek pelapis jaket antiviral yang membungkus Gio sambil menceracau tak karuan. Mengeluarkan seluruh umpatan yang dia tahu pada pemerintah.
            Gio hanya bisa menelan ludah pahit.
            DOR!
          Sebuah letupan membuat perempuan itu ambruk. Gio mendongak. Matanya membulat melihat Nathan yang berlari ke arahnya sambil menenteng pistol. “Dok!”
            “Apa yang kau  lakukan?!” Gio menahan amarahnya. Mereka kini dikeliling puluhan pasang mata yang menatap mereka kelaparan.
           “Dok, kau  bilang kau hanya akan mengobservasi mereka. Bukan mendatangi mereka. Itu berbahaya, Dok!”
            Gio mundur perlahan. “Ada apa denganmu? Bagaimana kau bisa menganggap  berbahaya kalau kau  tidak tahu  apa yang terjadi dengan mereka?!”
            Nathan  tercekat. Dia hanya menunduk melihat tatapan nanar dari gurunya itu. “Dok, ayo tinggalkan tempat ini. Aku tidak bisa menjamin keselamatan dokter kalau kita terus disini....”
            Gio mengabaikan teriakan Nathan. Disambar  jarum suntik yang sudah dia siapkan  sebelumnya. Dia mengambil sampel darah dari wanita yang kini telah tewas di depannya. Dia harus tahu...apa yang sebenarnya terjadi di sini. Penyakit macam apa yang menjangkiti mereka.
***
            Gio nyaris tidak  percaya dengan apa yang dilihatnya di bawah  mikroskop nano elektron yang dia miliki. Sampel darah wanita itu  mengandung virus yang sudah lama dinyatakan hilang dari muka bumi. Bagaimana bisa? Volksyrine, nama virus yang Gio temukan setengah dekade lalu muncul kembali setelah di berhasil membuat antivirusnya. Bagaimana bisa?
            Bukankah dulu dia menolak mematenkan vaksin yang  dibuatnya  agar seluruh lapisan masyarakat bisa menggunakan vaksin itu tanpa gangguan biaya? Bukankah dia sendri yang membagikan vaksin itu pada mayarakat saat kampanye presiden yang sekarang? Lalu bagaimana bisa virus itu kembali ada dan menyerang mereka yang sudah pernah mendapatkan vaksin?
            Gio menoleh saat pintu ruangannya dibuka. “Leo, apa yang kau  lakukan disini?”
          “Mengunjungi kawan lama,” sahut Leo cepat. “Kau sendiri kelihatan sibuk akhir-akhir ini? Aku jarang melihatmu mendampingi presiden.”
            Gio mencoba menyingkirkan file yang terpampang di komputernya dalam ketukan jari. Dia mencoba tersenyum tenang. “Presiden baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari dia. Kau sendiri, apa kau  menjalankan tugasmu dengan baik? Sebagai sekretarisnya?”
            Leo tertawa. “Tentu saja. Hey, kenapa kau ini? Kau kelihatan gugup?”
            “Gugup? Kenapa aku harus gugup?”
            “Benar juga ya. Kenapa juga kau harus gugup.” Leo membanting tubuhnya ke sofa. Dia menatap kawannya lama. “Gi, ada sesuatu yang harus kukatakan padamu...”
            Belum sempat Gio membuka mulutnya untuk bertanya,  sesuatu yang dingin menempel di kepalanya. Pelatuk. Sebuah pelatuk dan seseorang yang membawanya. Gio berbalik dan mendapati Nathan mengacungkan Walther  keperakan itu ke kepalanya. Pistol buatan Jerman itu tepat menyentuh batok kepalanya.
            “Nathan?! Apa yang kau lakukan?”
            “Maaf, Dok...aku harus melakukannya.” Gio nyaris tidak percaya melihat kilat tajam dari mata anak itu. Jangan-jangan dia....
            “Gio, aku sudah melarangmu berurusan dengan mereka. Tapi kenapa kau  ngotot untuk menyelinap menemui mereka?”
            “Apa kau tahu  sesuatu?” Gio berusaha membaca situasinya sekarang. Apa yang  sebenarnya terjadi dengan semua ini?
            “Itu memang Volksyrine. Virus lama yang kau temukan bersama Nathan, murid kesayanganmu itu. Aku menyuruh anak muda itu memodifikasinya.”
           Gio membulatkan matanya. Dia berbalik menatap Nathan dan  mendapati anak itu hanya menatapnya dengan mata penuh penyesalan. Ada apa ini?
            “Leo, apa yang sebenarnya terjadi?”
            “Aku ingin membuatnya menjadi senjata biologi pemusnah massal.”
            “APA?! Kau gila. Untuk apa?”
         “Tentu saja untuk balas dendam  pada orang-orang yang menggencet negara kita, mengeruk kekayaan tanah kita, dan memperbudak kita bertahun-tahun silam.”
            Gio nyaris tidak percaya dengan  pendengarannya.  Apa monster yang berdiri di depannya itu benar-benar kawannya?
            “Apa kau tahu...mereka juga pernah melakukannya pada kita. Menyebarkan virus mematikan pada kita lalu membuat vaksin untuk kita. Demi keuntungan. Demi uang. Itu juga cara yang akan aku gunakan pada mereka.”
            “Well, Leo...aku mengerti maksudmu, tapi kenapa harus membuat warga kita menderita? Mereka juga bagian dari tanah ini kan?”
            Leo mengangguk. “Itu hanya strategi tarik ulur. Kita harus membiarkan mereka  melihat kalau negara kita juga pernah tertular virus yang sama. Setidaknya mereka akan berpikir kalau  kita sama-sama korban.”
        Gio menelan ludah. Apa yang sebenarnya merasuki pikiran kawannya itu? “Kau mengkhianati bangsamu sendiri Leo...”
            “Tidak,” potong Leo cepat. “Kau pikir aku melakukan ini tanpa persetujuan atasan? Tidak bukan?”
            Presiden?! Bagaimana mugkin?!!
            “Maaf, Gio...tugasmu berakhir sampai sini. Orang baik sepertimu kadang memang menyebalkan.”
            Gio masih bisa melihat tubuh Leo yang lenyap dibalik pintu. Kini dia mengatur detak jantungnya saat dia mendengar suara pistol  yang dikokang. “Nathan... kenapa kau melakukannya? Kau tidak serius kan?”
            DOR!
            Nathan menghela nafas saat peluru itu sempurna menembus batok Gio. Membuat dokter paruh baya itu tergeletak tak bernyawa. “Demi uang,”sahut Nathan kemudian. “Karena aku tidak mau menjadi makhluk miskin yang terisolasi di blokade terdalam tempat ini.” *END*

When You Start Counting Down Your Time

Menghitung mundur sebuah waktu....
Apa yang akan kamu lakukan kalau kamu  ngerasa  waktu yang kamu miliki tinggal 1,5 tahun. Yep 1,5 tahun. Kupikir waktu yang terlalu singkat untuk mengumpulkan kenangan dari orang-orang terdekat. Entah orang mana pun yang kau sukai.


Waktu itu seperti  satuan pedang kan?! Tapi pedang itu kadang menyayat lembut atau menebas kasar, tergantung kondisi juga sih. Lalu apa yang kau lakukan kalau waktu yang kau miliki tinggal 1,5 tahun? Tidak mungkin kan kamu menangis meraung-raung sambil memaki kenapa waktu itu cepat sekali berlalu. Berpikir  pintar dong. 1,5 tahun....apa yang harus dicapai dalam 1,5 tahun? Apa yang kau berikan pada orang-orang terdekatmu selama 1,5 tahun itu. Think carefully!

Buatku 1,5 tahun itu waktu yang cukup kalau aku cuma mau menghabiskan buat selfishly. Something so nonsense! Tapi...1,5 tahun itu bukan waktu yang cukup buatku untuk memberikan apa yang bisa aku usahakan untuk orang-orang yang aku cintai. Bapak...Ibu...my lovely siblings. Entah apa yang bisa diberikan dalam waktu sesingkat itu. 

Buat Bapak-Ibu yang sudah merawat sejak bayi, iyakah 1,5 tahun cukup untuk membalas sayang mereka. Dipikir pun mau balas dengan apa coba. Iya sih mungkin prestasi, kesholehan, hafalan...ah yang terakhir bikin sakit kepala. Berapa yang bisa dipersembahkan pada mereka untuk membuat mereka memakai mahkota disurga. 

Dan...lagi....1,5 tahun, dengan kondisi yang masih berjauhan, bisakah mereka, orang-orang yang mencintaimu tidak membanjir air matanya waktu ditinggal pergi. Iyakah mereka tidak mengenangmu dalam sakit. Kalau aku jadi orang dengan sisa 1,5 tahun, aku akan melarang mereka menangis Buat apa? Toh, tujuan terakhir sama kan. Akhirat. Hanya antriannya aja yang berbeda. 

Well, sebenarnya....wajar kan kalau misal ada orang yang ngerasa 1,5 tahun  sisa hidupnya ingin menatap orang-orang yang dicintanya lebih lama? Bisa bercengkrama lebih lama? Berharap orang yang menyukai diam-diam kelak tidak akan menangisinya. Yah, paling tidak bisa mengukir kenangan baru lah. Sambil menyelesaikan kewajiban yang  memang harus dipikulnya...

:D 
midnight dream.
Miss you  so much  Mommy  and Daddy. 

Powered By Blogger
 
Little Queen Wind Copyright © 2011 | Tema diseñado por: compartidisimo | Con la tecnología de: Blogger