Aku Angin
Dulu waktu SMA, aku selalu heran
dengan teman-temanku yang alay
banget kalau curhat masalah
cowok, masalah cinta, masalah cinta
segitiga mereka atau apa pun yang berhubungan dengan perasaan aneh itu. Karena
jujur aja, aku bingung mau nanggepin gimana. Selama 18 tahun aku hidup kayaknya
aku belum pernah tuh naksir makhluk yang namanya cowok. Halah…boro-boro naksir,
orang bawaanya emosi melulu kalau deket-deket sama mereka. Nggak tau juga
kenapa. Aku cuma ngerasa ribet kalau ngomng sama mereka.
Sampai
saat akhir masa-masa kuliah , saat beberapa kawanku sudah mulai merencanakan ‘masa
depan’ mereka aku malah asyik merancang target terbesarku: beasiswa ke Havard. Aku
bahkan belum kepikiran siapa sih orang yang aku suka. Sempet juga aku curiga
lho kalau aku ini sejenis sama maho. Kwkwkw.
Sampai suatu hari aku ketemu sama makhluk itu. Saat
masa orientasi mahasiswa baru di UGM,
aku dan dia sama-sama jadi pemandu. Bukan kali pertama sih. Dia sekelas denganku
waktu SMA. Dulu sih aku hanya menganggapnya cowok biasa…kalau anak-anak
ROHIS menyebutnya ikhwan lah (yah, maksudku nggak alim tingkat dewa gitu lah),
temen sekelas dan kami juga sering banget dilibatkan dalam event yang sama.
Kebetulan juga kami masuk di universitas yang sama walau beda fakultas. Entah
darimana muasalnya jantungku bisa bertalu-talu saat aku melihatnya. Cewek yang walaupun jilbaban lumayan gede
masih aja bergelut dengan tanah Merapi, Merbabu, Bromo dan kawan-kawannya.
Masih aja nyempetin naik turun gunung walau nyadar tugas kuliah udah deadline
semua. Entah kenapa rasanya tuh aku bisa ngeluarin sifat feminimku di depan
dia. Wew…God, apa yang terjadi denganku?
Aku Langit.
Aku
tak pernah tahu gimana komentar laki-laki lain saat mereka jatuh cinta. Tapi buatku itu hal yang sangat
menyiksa. Apalagi perasaan itu datang
saat belum waktunya. Wuih!! Rasanya seperti pengin nancepin nih kepala di
trisula. Khususnya buat orang yang sudah benar-benar faham bahwa pacaran itu
haram, mendekati zina, dilarang agama…bla…bla…bla. Hew…udah nyiksa banget tuh.
Aku
pernah kenal perempuan yang dulu pernah jadi teman sekelasku. Dia gadis yang
tak pernah bisa duduk tenang di kelas, usil, lucu, lumayan tomboy—nggak lumayan
ding, tomboy banget malah—tapi manis
sekali kalau tertawa. Dua lesung pipit langsung menghiasi pipi ranumnya.
Aku
merasa nyaman kalau bicara dengannya. Sekedar membahas tugas sekolah atau acara ekskul yang diadakan sekolah. Mungkin
karena dia bukan tipikal perempuan yang malu-malu kalau bicara dengan lawan
jenis. Bisa juga sih karena pembawaannya yang easy going dan ceria. Entahlah, tapi satu hal yang bisa
kusimpulkan: aku jatuh cinta padanya.
Tuhan…cinta
kayak gini nih yang nyebelin banget. Udah orang yang ditaksir nggak nyadar-nyadar,
mana dia cuek banget lagi. Ditambah pula dia itu gampang banget bikin aku
cemburu. Ya aku tahu sih, dia emang tipe manusia care sama semua orang tanpa
kecuali. Tapi apa iya dia segitu gampangnya senyum cengar-cengir di depan cowok
lain. Igh….
Aku
benar-benar mati-matian menolak perasaanku sendiri. Menghindari dia
sejauh-jauhnya, puasa sebanyak-banyaknya, dan menyibukkan diri di berbagai
kepanitian sekolah dan les tambahan.
“Wow,
kamu hebat banget. Bisa ya ngehandel semuanya. Keren.”
Dan
itu pujian darinya yang sukses melunturkan dinding pertahananku. Aku menyerah.
Dan mulai menyelipkan satu doa tiap selesai sholat. Ya Allah, kalau dia memang bagian rusuk kiriku yang kau ambil, tolong
sampaikan perasaan ini padanya, jaga hatinya dan dekatkalah dia padaku,
tapi kalau bukan ya Allah…tolong jauhkan
dia sejauh-jauhnya.
Sepertinya
doaku dikabulkan. Walaupun aku satu universitas dengannya, tapi kami jarang
ketemu. Setidaknya itu meringankan perasaanku. Yah walauun sekali dua kali aku
bertemu dengannya, tapi sepertinya dia tak melihatku. Dan itu sudah cukup
membuat jantungku kembali berdegup.
Sampai
saat aku mendaftarkan diri sebagai pemandu untuk masa orientasi mahasiswa baru,
aku kembali melihatnya. Dia dengan mata beningnya menatapku lama. Dia tersenyum
kikuk sambil mengangguk pelan. Dan aku kembali berharap. Ya Allah tolong sampaikan perasaanku padanya.
Aku angin
Astagfirullah…pasti
otakku sudah mulai nggak beres. Apa jangan-jangan gara-gara nih skripsi nggak
kelar-kelar aku jadi mulai keracunan ya. Ah, nggak ah. Tapi kenapa dari tadi
aku bisa ngeblank gini di depan laptop ya. Bahkan angin semilir dari rimbunnya
kampus Kedokteran pun tidak sanggup melegakan otakku yang berasa mampet. Cuma
gara-gara inget laki-laki itu kenapa semua ide yang tertata tadi luluh lantak
di terjang ombak Parangtritis ya.
Aku
menyentuh dadaku pelan. Memastikan kalau jantungku masih berdetak normal.
Lho…kenapa sekarang jadi deg-degan lagi sih. Astaghfirullah. Oi!Oi! What
happen?
“Kamu
jatuh cinta, Bila?” pekik Luna, teman se- kosku shock. “Wah… alhamdulillah…ternyata
kamu normal.”
“Hah?!
Kok bisa? Mana ada?! Tampang unyu-unyu gini dibilang jatuh cinta. Belum cukup
umur ah,” kilahku cepat.
“Tampang
unyu-unyu?! Makan tuh unyu-unyu. Nyadardong, bro…udah semester akhir.”
“Iya,
iya…tapi mana ada aku segampang itu jatuh cinta. Sama orang itu lagi.” Bayangan cowok itu langsung mampir lagi di
sudut otakku. Mana ada aku bisa jatuh cinta sama cowok cuek macam dia?!
Luna
tertawa. “Makanya jangan Subota doang yang dibaca.
Novel-novel teenlit itu dibaca juga dong.”
Aku
terpana. Lha hubungannya apa coba? Aku menghela nafas dalam begitu Luna ngakak.
Jatuh cinta? Apa iya?
Aku Langit
“Makan,
bro?” Aku menoleh saat karibku menawarkan semangkok pangsit padaku. Aku
menggeleng lemah.
“Puasa
lagi?” Aku mengangguk sambil membalas tatapan herannya. “Ya elah, elu niatan
ngirit luar biasa apa emang puasa sih?!”
Aku
tersenyum. Ada yang lebih penting dari itu sob, jeritku dalam hati. Aku
buru-buru mengemasi barangku sebelum dia bertanya lebih jauh. Ada yang harus
kulakukan juga di kantor administrasi universitas.
Langkahku
terhenti. Dan tubuhku bergetar melihatnya. Gadis dengan balutan jilbab biru
muda itu tengah berjalan melintasi gedung perpus. Warna favoritnya dari dulu.
Ya Allah…kenapa akhir-akhir ini sering sekali ketemu sih. Terlambat untuk
menghindar. Mata beningnya menatapku, tapi dia buru-buru menunduk setelah
memberikan seulas senyum.
Aku
teringat kata-kata yang aku camkan 5 tahun lalu. Jika kau mencintainya jangan pernah mengganggunya, mengatakan apapun
padanya, merobohkan imannya. Jangan tunjukkan apapun padanya, jangan
mempesonanya. Doakan jodoh yang terbaik untukmu dan untuknya. ‘Dia’ pasti akan
datang pada saatnya. Dan kapan waktunya?
Ya Allah kalau memang jodoh mudahkanlah dan
sampaikan cinta ini padanya. Kalua tidak tolong jauhkan dia sejauh-jauhnya. Bismillah.
Saatnya bergerak sebagai laki-laki bro!
Aku Angin
Oh
well, berdasarkan data yang aku peroleh. Tanya sana-sini, curhat sana curhat
sini. Sampai aku bela-belain semedi ke Merbabu buat jernihin pikiranku. Tanya
sama mbak-mbak yang sudah lulus tahun-tahun sebelumnya…kayaknya aku positif
jatuh hati deh. Dengannya. Oh my…what
should I do? So…ini pertama kalinya aku bisa nyimpulin kalau cinta itu
ngebingungin.
“Trus
aku musti gimana mbak? Aku bakalan sering ketemu sama dia nih. Kita didivisi
yang sama coba mbak. Aku musti gimana?” Aku mulai alay. Oh, well…aku ngerti
sekarang kenapa dulu temen-temenku pada alay banget kalau soal ginian.
Mbak
yang jadi tempat curhatku itu cuma tertawa melihat ekspresiku. “Yang namanya
jodoh nggak bakalan kemana kok, deg.”
Aku
merengut. Iya sih tapi jantungku bisa kena stroke dadakan kalau kepental-pental
terus gini. Padahal dulu juga biasa aja tuh kalau ketemu, trus kenapa
akhir-akhir ini jadi kayak gini ya. Aku menyentuh pipiku yang akhir-akhir ini
sering memerah kalau ketemu dengannya. Coba dihitung, kami jadi pemandu di
kelompok yang sama, di divisi yang sama di UKM universitas, berkali-kali jadi
panitia di tempat yang sama. Oh God…jangan-jangan ini tanda-tanda…
Bayanganku
memudar medengar bunyi SMS dari ponselku. Aku menahan nafas ngeliat nama yang
terpampang di inbox. Nama yang hanya aku hubungi kalau ada reunian kelas SMA.
Iqbal.
Nabila, ada yang mau aku bicarakan. Bisa
ketemuan?
Dan
jantungku benar-benar berdentum lima kali lipat.
Aku cinta
Nabila
cengar-cengir sendiri melihat undangan—koreksi: desain undangan maksudnya—yang dipegangnya. Dia meraba nama yang tertera di
undangan itu. Memastikan kalau tidak ada kesalahan penulisan atau apa.
Duh…duh…dia mulai lebay tuh. Iqbal Rahardian. Nabila Syafira. Nabila terlonjak begitu
mendengarnya ponselnya berbunyi.
Langit.
Nama yang tertera di layar ponsetnya. Itu Iqbal. Dia cepat mengetik SMS balasan
untuk laki-laki itu penuh semangat.
“Boleh
aku tanya?”
“Apa?”
“Apa
kau menerima lamaranku karena kamu menyukaiku?’
Nabila
tertawa memacanya. “Iyalah.”
“Sejak
kapan?”
“Ehm…sejak
jadi pemandu bareng. Kamu sendiri?”
“Sejak
SMA. Kelas 2.”
Nabila
shock membacanya. Wah…nggak disangka. Dia membuka inboxnya saat SMS iqbal
datang sebelum dia sempat membalas SMS sebelumnya.
“Sepertinya
Allah mengabulkan doaku untuk menyampaikan perasaanku padamu saat waktunya.”
Pipi
Nabila bersemu. Bersyukur banget dia cuma sendirian di kamarnya. Setidaknya dia
tidak akan direcoki adiknya yang memang selalu tidur bareng dia.
“Boleh
aku tanya?”
“Apa?”
“Kenapa
kau menyebutku angin?”
“Karena
kamu itu menyejukkan seperti angin. Ceria seperti angin laut. Tapi juga kadang
dingin dan cuek seperti angin gunung. Kamu sendiri kenapa memanggilku langit.”
Nabila
tersipu. Wuih…romantis juga orang ini. Nggak mau kalah ah.
“Karena
kamu langitku. Kamu memberi matahari waktu siang dan bulan waktu malam. Kamu
memberi mendung tapi juga memberi pelangi. Dan itu sempurna buatku. Aku juga
berharap kamu bisa menjadi langitku selamanya. Karena langit akan selalu
menemukan angin dimana pun dia berada kan? ” Nabila terkikik membaca SMS balasannya.
Nabila
memeluk teddy bear yang dikirim Iqbal dan keluarganya bersama barang seserahan
tadi sore. Salah satu benda yang diinginkan Nabila dan membuat Iqbal ngakak
setelah sebelumnya ternganga.
Well,
apa itu cinta. Dia adalah hal yang sederhana. Dia datang disaat yang kadang
tidak diharapkan. Tapi dia sungguh sangat sederhana. Dia tidak perlu
diperlakukan istimewa karena dia yang akan memperlakukanmu istimewa. Simpanlah segala
bentuk ungkapan cinta dan derap-derap hati rapat-rapat. Allah akan menjawabnya
dengan lebih indah di saat yang tepat.
Dan Cinta itu Ada
Nabila menatap lekat Ami, adik
ceweknya yang masih SMA yang sedang asyik nonton TV disampingnya. Dia
menyipitkan mata. “Deg, kamu pernah jatuh cinta nggak?”
Ami langsung menoleh mendengar kata sensitif itu
disebut kakaknya. “Ya pernah lah, Mbak. Aku kan normal.” Ami menatap kakaknya
yang malah pasang tampang manyun. “Yaelah, Mbak…nggak usah sok galau napa?
Kalau mbak tanya: kenapa ya aku belum pernah jatuh cinta sebelum Kak Iqbal
ngelamar Mbak. Jawabannya gampang kok. Bisa aja kan, Kak Iqbal itu jatuh hati
sama Mbak duluan. Trus dia doain mbak supaya hati mbak itu nggak kepincut sama
cowok lain sampai saatnya tiba. Dan begitu saatnya tiba kepincutlah, Mbak sama
Kak Iqbal. Case Closed!”
Nabila
ternganga. “Lho deg, kok kamu tahu apa yang mbak mau tanyain?”
Ami
menghela nafas. Well, Mbak…tahukah Mbak,
Mbak udah nanyain pertanyaan yang sama dan mengutarakan jawaban yang sama lima
belas kali dalam sehari. Udah over dosis aku dengernya!!!!!!!
From
my beloved siste’s story, nad my friend's status
Big thanks.. ^^v