![]() |
Mas
Agung adalah sosok dewasa, maklum sih anak pertama , sabar , penyayang dan
agamis banget. Aku belum pernah tau ada cowok yang jarang banget absen sholat
tahajud seperti Mas Agung, hafalan Qur’an bejibun dan yang pasti punya otak
lumayan cemerlang.
Dari
kecil aku memang lebih deket dengan Mas Agung ketimbang kedua ortuku. Iya sih,
mereka sibuk kerja. Otomatis juga sampai aku sebongsor ini aku lebih suka
bermanja-manja ria sama kakakku itu. Toh Mas Agung juga nggak keberatan aku
pasang gaya alay atau merajuk di depan dia. Dia juga orang yang mensupportku
habis-habisan ketika aku memutuskan untuk memakai jilbab yang lumayan lebar. Waktu
Mas Agung kuliah di Jogja, tiap akhir pekan dia selalu sempetin pulang buat
nengokin aku yang waktu itu masih SMA.
Sampai
akhirnya, saat aku duduk di kelas XII SMA, Mas Agung mengatakan keinginannya
untuk menikah dengan kawan sekampusnya. Busyet dah…melongo gila aku. Dia bahkan
belum lulus skripsi lho. Bukan itu sih alasan sebenarnya kenapa aku langsung
merengut waktu Mas Agung mengatakan hal itu padaku . Aku nggak bisa
mendiskripsikan peraaanku waktu itu. Antara seneng, sedih, penasaran, sebel…ah
aku juga nggak tau apa. Waktu itu aku takut anget kalau Mas Agung bakalan
nglupain aku kalau sudah punya istri.
Aku
masih inget gimana Mas Agung ngakak waktu aku dengan jujurnya ngeluhin hal itu.
Dia mengacak rambutku sayang sambil menahan tawa. “Ya ampun dek…sampai
segitunya kamu. Denger ya, sekalipun nanti Mas punya istri, punya anak, sayang
Mas sama adek itu nggak bakalan berkurang.” Cless
dah rasanya!
Hari
yang dijanjikan itu pun tiba, hari lamaran maksudku. Mas Agung diantar 2 kawan
baiknya yang kebetulan sudah aku kenal ( kenal nama doang ding), Mas Rian dan
Mas Anggit, untuk lamaran di Semarang, tempat calon kakak iparku itu berada.
Sepertinya
Tuhan sedang berusaha memainkan takdir Mas Agung waktu itu. Mobil yang membawa
rombongan pelamar itu kecelakaan. Mobil yang ditumpangi Mas Agung dan kawan-kawannya
ringsek ditubruk bus pariwisata. Aku yang waktu itu sedang uji coba UAN
langsung pingsan mendengar tangis Mama yang menelfonku pelan-pelan. Papa dan
Mama selamat, mereka ada di mobil satunya yang selamat dari tabrakan maut itu.
Tapi tidak dengan Mas Agung. Dia meninggal sejam setelah sampai di rumah sakit.
Iya! Dia meninggal. Tanpa ada tanda apa-apa, tanpa bilang apa-apa dia pergi
begitu saja.
Aku
menangis tak percaya. Bahkan sebulan setelah Mas Agung pergi pun aku masih tak
percaya kalau Mas Agung sudah nggak akan nemuin aku lagi. Aku masih
menganggapnya sibuk mengurusi kuliah dan skripsinya di Jogja. Aku bahkan masih sesekali mengirim SMS padanya,
walaupun pada akhirnya aku sadar kalau SMS itu tidak akan pernah ada lagi
balasannya.
Sejak
Mas Agung meninggal juga, aku yang semula cewek cerewet dan aktif jadi sedikit
pendiam. Entah…aku hanya merasa kalau sekarang sudah tidak akan ada orang yang
bakal ngelindungi aku sama seperti yang Mas Agung lakukan. Aku jadi sedikit
penakut dan introvert. Entah…aku sendiri juga nggak tahu kenapa.
Sampai sutau hari di
ospek pertama kampus….
“Dek, kamu bener
namanya ‘Mila’ dari Solo?” Waktu itu aku mengernyit bingung menatap dua sosok
yang asing bagiku. Kalau dari kostum sih kayaknya mereka kakak tingkatku deh.
“Kenal Agung Prahendika nggak?” Aku ternganga
ketika sadar siapa dua orang didepanku. Bahkan ketika mereka menceritakan
cuplikan lama kisah kakakku itu, aku langsung yakin siapa sebenernya mereka.
“Ya Allah, jadi kamu
adeknya Agung? Alhamdulillah bisa ketemu juga. Waktu kami di ruang ICU saat
itu, kakakmu sempat berbisik pada kami sebelum meninggal. Dia meminta kami
untuk menjagamu kalau-kalau kamu jadi
masuk kesini. Wah, nggak nyangka bisa ketemu secepat ini…”
Aku mematung. Mas Agung? Bilang kayak gitu? Mataku sudah siap mengebah lagi. Bahkan ketika dia sudah meninggal pun dia masih mencoba melindungiku kan? Dan sekarang aku sudah mulai terbiasa dengan ketidakberadaan Mas Agung. Bukan melupakannya, cuma menggantikan sosoknya dengan sosok lain. Kak Rian dan Kak Adit yang sesekali memberi SMS penyemangat tiap aku mau ujian dan tak lupa juga mantan calon kakak iparku yang justru sekarang jadi kakak kosku.
Aku mematung. Mas Agung? Bilang kayak gitu? Mataku sudah siap mengebah lagi. Bahkan ketika dia sudah meninggal pun dia masih mencoba melindungiku kan? Dan sekarang aku sudah mulai terbiasa dengan ketidakberadaan Mas Agung. Bukan melupakannya, cuma menggantikan sosoknya dengan sosok lain. Kak Rian dan Kak Adit yang sesekali memberi SMS penyemangat tiap aku mau ujian dan tak lupa juga mantan calon kakak iparku yang justru sekarang jadi kakak kosku.
Mas Agung, aku akan
baik-baik saja. Tanpa kamu pun aku akan baik-baik saja. Karena aku tahu
sekarang, Allah sangat menyangi orang baik sepertimu. Itulah kenapa dia
memanggilmu duluan.
0 komentar:
Posting Komentar