About

If I wind....I can bring every single laugh and tears in the same way
Should I tell you like the same way when I was crying or laughing at that time?

Let's be a friend!!!

Cari Blog Ini

Karena Allah Lebih Menyangimu


            

Agung Prahendika. Itu nama kakak laki-lakiku semata wayang. Satu-satunya saudara sekandung yang aku punya. Tidak ada yang istimewa memang. Dia cowok alim dengan tampang standar khas cowok Indonesia. Kalau dilihat dari segi fisik dia memang bakal langsung didiskualifikasi kalau ikut ajang pemilihan putra-putri daerah. Belum daftar aja pasti langsung ditolak. Hahaha.  Tapi dilihat dari sisi lain, dia salah satu orang yang aku anggap  cowok keren lho.  
            Mas Agung adalah sosok dewasa, maklum sih anak pertama , sabar , penyayang dan agamis banget. Aku belum pernah tau ada cowok yang jarang banget absen sholat tahajud seperti Mas Agung, hafalan Qur’an bejibun dan yang pasti punya otak lumayan cemerlang.
            Dari kecil aku memang lebih deket dengan Mas Agung ketimbang kedua ortuku. Iya sih, mereka sibuk kerja. Otomatis juga sampai aku sebongsor ini aku lebih suka bermanja-manja ria sama kakakku itu. Toh Mas Agung juga nggak keberatan aku pasang gaya alay atau merajuk di depan dia. Dia juga orang yang mensupportku habis-habisan ketika aku memutuskan untuk memakai jilbab yang lumayan lebar. Waktu Mas Agung kuliah di Jogja, tiap akhir pekan dia selalu sempetin pulang buat nengokin aku yang waktu itu masih SMA.
            Sampai akhirnya, saat aku duduk di kelas XII SMA, Mas Agung mengatakan keinginannya untuk menikah dengan kawan sekampusnya. Busyet dah…melongo gila aku. Dia bahkan belum lulus skripsi lho. Bukan itu sih alasan sebenarnya kenapa aku langsung merengut waktu Mas Agung mengatakan hal itu padaku . Aku nggak bisa mendiskripsikan peraaanku waktu itu. Antara seneng, sedih, penasaran, sebel…ah aku juga nggak tau apa. Waktu itu aku takut anget kalau Mas Agung bakalan nglupain aku kalau sudah punya istri.
            Aku masih inget gimana Mas Agung ngakak waktu aku dengan jujurnya ngeluhin hal itu. Dia mengacak rambutku sayang sambil menahan tawa. “Ya ampun dek…sampai segitunya kamu. Denger ya, sekalipun nanti Mas punya istri, punya anak, sayang Mas sama adek itu nggak bakalan berkurang.”  Cless dah rasanya!
            Hari yang dijanjikan itu pun tiba, hari lamaran maksudku. Mas Agung diantar 2 kawan baiknya yang kebetulan sudah aku kenal ( kenal nama doang ding), Mas Rian dan Mas Anggit, untuk lamaran di Semarang, tempat calon kakak iparku itu berada.
            Sepertinya Tuhan sedang berusaha memainkan takdir Mas Agung waktu itu. Mobil yang membawa rombongan pelamar itu kecelakaan. Mobil yang ditumpangi Mas Agung dan kawan-kawannya ringsek ditubruk bus pariwisata. Aku yang waktu itu sedang uji coba UAN langsung pingsan mendengar tangis Mama yang menelfonku pelan-pelan. Papa dan Mama selamat, mereka ada di mobil satunya yang selamat dari tabrakan maut itu. Tapi tidak dengan Mas Agung. Dia meninggal sejam setelah sampai di rumah sakit. Iya! Dia meninggal. Tanpa ada tanda apa-apa, tanpa bilang apa-apa dia pergi begitu saja.
            Aku menangis tak percaya. Bahkan sebulan setelah Mas Agung pergi pun aku masih tak percaya kalau Mas Agung sudah nggak akan nemuin aku lagi. Aku masih menganggapnya sibuk mengurusi kuliah dan skripsinya di Jogja. Aku  bahkan masih sesekali mengirim SMS padanya, walaupun pada akhirnya aku sadar kalau SMS itu tidak akan pernah ada lagi balasannya.
            Sejak Mas Agung meninggal juga, aku yang semula cewek cerewet dan aktif jadi sedikit pendiam. Entah…aku hanya merasa kalau sekarang sudah tidak akan ada orang yang bakal ngelindungi aku sama seperti yang Mas Agung lakukan. Aku jadi sedikit penakut dan introvert. Entah…aku sendiri juga nggak tahu kenapa.
Sampai sutau hari di ospek pertama kampus….
“Dek, kamu bener namanya ‘Mila’ dari Solo?” Waktu itu aku mengernyit bingung menatap dua sosok yang asing bagiku. Kalau dari kostum sih kayaknya mereka kakak tingkatku deh.
 “Kenal Agung Prahendika nggak?” Aku ternganga ketika sadar siapa dua orang didepanku. Bahkan ketika mereka menceritakan cuplikan lama kisah kakakku itu, aku langsung yakin siapa sebenernya mereka.
“Ya Allah, jadi kamu adeknya Agung? Alhamdulillah bisa ketemu juga. Waktu kami di ruang ICU saat itu, kakakmu sempat berbisik pada kami sebelum meninggal. Dia meminta kami untuk  menjagamu kalau-kalau kamu jadi masuk kesini. Wah, nggak nyangka bisa ketemu secepat ini…”
            Aku mematung.  Mas Agung? Bilang kayak gitu? Mataku sudah siap mengebah lagi. Bahkan ketika dia sudah meninggal pun dia masih mencoba melindungiku kan? Dan sekarang aku sudah mulai terbiasa dengan ketidakberadaan Mas Agung. Bukan melupakannya, cuma menggantikan sosoknya dengan sosok lain. Kak Rian dan Kak Adit yang sesekali memberi SMS penyemangat tiap aku mau ujian dan tak lupa juga  mantan calon kakak iparku yang justru sekarang jadi kakak kosku.
Mas Agung, aku akan baik-baik saja. Tanpa kamu pun aku akan baik-baik saja. Karena aku tahu sekarang, Allah sangat menyangi orang baik sepertimu. Itulah kenapa dia memanggilmu duluan.



Penyakit Bete!!!!!!

Ouwah!!! Apa lagi judul penyakit kali ini. Mentang-mentang anak kesehatan, yang dibahas hal aneh gini neh...Hahaha. Gak juga sih sebenernya. Ini nama penyakit yang penemunya adalah aku.. #LOL

Jadi gini nih ceritanya, aku mau sedikit curhat setelah penat dengan tugas, laporan, praktikum, proposal, LPJ,  desain...(gilak...kerjaanku kayak gerbong kereta Surabaya - Jakarta). Penyakit bete ini artikan saja ketika kamu-kamu udah bete tingkat akut dan tidak bisa ditolong dengan obat apapun. Halah!! :D

Jujur nih ya....penyakit ini langganan menghampiriku sejak aku masuk SMP, ketika udah sebel tuh sama tumpukan kerjakan yang barusan aku sebutin diatas, udah dipastikan kalau nih penyakit bakalan nangkring di seluruh tubuhku. Hehehe....

Siapa sih yang nggak depresi juga ngeliat kerjaan tuh nggak pernah kelar walaupun udah dikerjain mati-matian sampe dibela-belain nggak tidur. Kan sebel juga. Nah klo udah gitu tuh aku bakalan  bolos sekolah, bolos rapat, atau bolos apapun dari kegiatan yang semestinya aku lakuin cuma buat tidur. Aku nggak bakalan peduli kalau tugasku udah teriak-teriak minta dikerjain, atau ketika temen-temenku pada nelfonin aku karena khawatir (hiks...mereka perhatian bangetttttt). Pokoknya aku bakalan makan makanan yang paling aku suka sebanyak-banyaknya, abis itu tidur seharian, bangun cuma buat sholat abis itu lanjut tidur. Udah kayak beruang hibernasi aja....

Dulu waktu SMP sama SMA seriiiiing banget aku kayak gitu. Bolos cuma gara-gara bete abiss...dan dirumah cuma tidur seharian. Nggak tau juga sih, kalau abis kayak gitu, besoknya pasti jadi semangat lagi. Kayak abis dicharger gitu. Wuhehehe....

Aku pikir, ketika aku kuliah ini, penyakit aneh itu gak bakalan ngehinggapi aku lagi. Mengingat betapa padetnya jadwal di kampus. Tapi....halah...itu cuma omdo kalau aku bilang, aku tetep semangat saban hari. Dan hari ini, hari pertama sebagai mahasiswa dimana aku kembali dibelenggu kebetean luar biasa dan berujung pada BOLOS. Hahaha....Aku nggak peduli kalau dua mata kuliah hari ini adalah mata kuliah jos yang bikin kelapa...eh...kepala cenut-cenut mempelajarinya. Aku juga nggak peduli kalau dari siang kawan-kawanku udah nelfonin nggak karuan saking khawatirnya. Bilangnya mereka khawatir, saking banyaknya amanah yang musti aku selesain sampai aku kolaps beneran. Iya sih sebenernya ini juga udah capeeeek banget. :D Maaf ya kawan...beneran nggak maksud membuat kaliah khawatir dah...hehehe. 

Wah untung aja semester ini aku nggak nargetin buat ngisi absen 100% penuh. Wuhehe...penasaran juga gimana rasanya bolos...hahahah.


Cinderella Complex


Arin mendengus kesal. Ditatapnya cewek berambut lurus panjang di depannya. Cewek pindahan dari luar kota yang cantiknya luar biasa (mayoritas bilang gituch sih). Namanya aja sudah bisa deskripsiinkalau dia itu bener-bener cantik kudrat. Jelita.
Hari pertama datang aja  udah bikin heboh. Terutama bagi makhluk berinisial male. Pada salting semua. Tapi yang jelas saja, ngebikin makhluk cewek di SMA yang nggak terlalu favorit itu nangis darah. Jelaslah, yang namanya cewek itu nggak bakal rela kalau ada yang lebih cantik dari dia. Tul nggak?
“Arin, aku pinjem PR-nya, dong!”pinta Jelita memelas.
Arin manyun. Ditatapnya lagi Jelita dengan lebih teliti. Kulit putih ‘cling’. Pipi mulus bersih dari jerawat. Bahkan komedo sekecil debu aja nggak ada yang berani nempel di hidung mancungnya. Arin kembali mendesah. Kapan ya hidungnya bisa meroket ke atas dikit? Nggak malah melesek ke dalam terus.  Atau, kapan ya rambutnya yang penuh cabang itu bisa halus kayak rambutnya Jelita? Sekalipun Arin pakai jilbab doi pingin dong punya rambut lurus bin halus kayak jelita.
“Makasih ya, Rin,” celutuk Jelita membuyarkan lamunan Arin. Jelita tersenyum lebar. Menunjukkan deretan giginya yang rapi bin putiiiiih. Duh, bikin Arin tambah ngiri deh.
JJJ

Arin menatap layar televisi di rumahnya malas. Dia jadi penasaran. Kenapa sih artis di televisi itu semuanya berwajah putih dengan muka sehalus sutera dan se-kinclong mutiara (ah...hiperbol nih)? Memangnya kulit item itu jelek banget apa? Arin menatap kulitnya yang sawo kematangan. Memang sih dari kelima saudaranya (maklum, keluarga besar) dia yang paling bright. Tapi kan....
“Rin dicari tuh,”kata Bang Zaki- abang sulungnya- tergagap. Arin mengernyit heran. Hah!? Siapa? Malem-malem gini? Ih...jangan-jangan peri baik hati yang mau nolongin Arin lagi. Pikiran kekanakannya muncul. Jangan-jangan karena dia udah ngasih contekan jawaban ke temen-temennya dia mau dikasih imbalan sama makhluk khayalan  itu(mohon jangan ditiru). Tiga buah permintaan langsung muncul di benak Arin. Jadi cantik, lebih cantik dan paling cantik.
Senyum Arin langsung menguap begitu tahu siapa yang datang. Jelita, sebuah motor Ninja, dan seorang cowok yang (bagi Arin) charming banget. Arin menatap cowok itu terpesona. Astagfirullah! Dia buru-buru mengalihkan pandangannya pada Jelita. Ah, beruntung banget jadi cewek kayak Jelita. Udah cantik cowoknya keren lagi.
Jelita masih tersenyum lebar seperti biasa. “Arin, maaf ya aku ganggu kamu malam-malam gini. Aku mau ngebalikin buku PR kimia kamu. Besok ada tugas kan? Tapi aku besok jadi peminjam bukumu yang pertama ya. Ini aku balikin supaya kamu bisa ngerjain tugasnya,” cerocos Jelita tanpa jeda. Arin melotot. Wihh...enak amat. Memangnya aku babumu apa.
Jelita ini memang cantik. Tapi doi nggak punya kerjaan lain selain double TP-tebar pesona, tebar perhatian-ke makhluk adam seantero SMA. Bukannya suuzhon lho, tapi kenyataan. Dia sendiri juga bilang gitu kok. Ngerjain PR aja nggak sempet. Sibuk ngadain show ke seluruh pojok sekolah katanya. 
“Kok nggak ngerjain sendiri sih, PR-nya kan gampang.” Arin sedikit mengurut dadanya pelan. Beneran deh, dia sedang meredam hatinya melihat tingkah Jelita yang mirip Miss dunia kesasar. Sok kecakepan banget sih nih cewek. Batin Arin kesal.
“Aku tuh nggak punya waktu buat begituan. Males,” sahut Jelita seperti biasa sambil memainkan ujung rambut rambutnya yang baru saja dikeriting spiral.
Arin menelan ludah sebel. Cantik sih cantik tapi nyebelinnya itu lho. Nggak tahaaan!
JJJ
Arin tersenyum kecut menatap pantulan dirinya dicermin.  Dia memonyongkan bibirnya kesal. Ugh...kapan ya dia berhenti meratapi ‘ke-ti-dak-sem-pur-na-an’ mukanya. Arin mulai berhalusinasi (entah, setiap menatap cermin dia pasti langsung berkhayal). Seandainya saja dia bisa lebih putih, ya nggak harus kayak Kate Winslet  lah, tapi seputih kain kafan juga nggak pa-pa (lho?), pasti dia nggak akan kena mirror sindrome kayak gini.
Saking ngefansnya sama cerita princess Arin selalu bermimpi hidup seperti Cinderella. Hidup menderita dulu. Tapi kan Cinderella cantik. Selalu disiksa ibu dan saudara tirinya. Tapi kan Cinderella cantik. Kemudian bertemu pangeran super ganteng. Karena Cinderella cantik. Meninggalkan selop kaca di tangga. Pangeran mencarinya kemudian menemukannya dan terpesona padanya. And happy ending ever after.  
Arin mendesah kesal. Dia memang nggak punya saudara dan ibu tiri. Dia juga merasa nggak hidup menderita. Kecuali dia sendiri yang membuat penderitaannya. Misalnya tentang ritual wajibnya setiap pagi. Yaitu berdiri mematung di depan cermin sambil terus meratapi wajahnya. Satu hal yang masih bisa dia syukuri. Dia paling cantik diantara keluarganya. Ya jelas sajalah. Abang-abangnya kan cowok semua. Ibu? Kan sudah tua.
“Arin bisa nggak sih kamu nyingkirin cermin itu?! Bantu Ibu’ di dapur gih!”sentakan Ibu meraung-raung membuyarkan lamunan Arin yang keblabasan.
“Ya, Bu...,” sahut Arin ogah-ogahan. Dia kembali menatap di cermin. Berharap kalau mukanya ini nggak sebelas-duabelas sama arang. Huff....
Sebenernya Arin nggak jelek-jelek amat kok. Pipinya aja nggak ada jerawatnya. Palingan juga bintik-bintik hitam di sana-sini yang sering dibilang Arin kalau itu tahi lalat. Emang sih antara kulit tangan sama muka Arin warnanya kontras banget. Secara aja tangannya kan ketutup sama baju panjang terus. Arin tuh cuma pingin mukanya halus, lembut, kinclong, putih kalau bisa, nggak ada jerawatnya, berseri-seri dan paling penting keliatan cantik.
JJJ

Esoknya, Arin bertekad akan berubah. Bukannya berubah jadi Power Ranger seperti di film favorit adiknya. Tapi berubah lebih perhatian sama muka and kulitnya. Hari ini, Arin sudah bela-belain nguras tabungannya buat beli kosmetik. Mulai dari pemutih, penyegar, milk cleanser, lip gloss, dan lain-lain. Dan sebagainya. Yang jelas, menurut perkiraan Arin bisa ngebuat dia lebih cantik.
Malamnya, sebelum Arin tidur dia memakai masker yang menurut iklannya bisa membuat wajah merona bersinar. Dalam khayalannya saja, dia sudah punya kulit putih mulus. Tapi...yah namanya cewek, pasti mau dong kalau kulitnya jadi seputih kapas. Kalau yang ini namanya pucet. Ya nggak?
“ALAMAKKKK...!Arin ....lo apain muka lo?” Bang Zaki syok melihat perubahan muka Arin.
“Kanapa Bang? Tambah cantik ya?” sorak Arin antusias. Dia nyangka kalau dalam waktu semalam kulitnya jadi super putih.
“Cantik gundulmu...! sini...! belum ngaca ya,” Bang Zaki menyeret Arin ke kamar mandi. “Liat tuh! Kamu apain sih mukamu?”
Arin melotot menatap cermin. Dia benar-benar terpesona .....ehemmm.... mak- sudnya syok berat melihat pantulannya sendiri.
“YA Allah...! Bang...kok muncul jerawatnya sih. Bruntusan gini. AHHHHHHH....!” Arin histeris.
“Makanya...kamu apain sih?” Arin menatap Bang Zaki. Mukanya benar-benar memelas. Nyaris menangis malah.  Niatnya mau cantik malah ancur kayak gini
“Ya...udah bilang sama ibu. Suruh ngobatin.”
Huaaaa....! sebel....bener-bener pingin nangis. Huaaaa....! Arin meratapi mukanya yang sekarang jadi parah.

JJJ

Sejak pagi Arin sudah menekuk mukanya. Mukanya yang kusut jadi tambah ancur-ancuran. Sebenarnya dia malu banget berangkat sekolah dengan muka kemerahan kayak gini. Masih diingatnya reaksi ibunya saat melihat transmukanya. Ngomel-ngomel nggak karuan. Bilang kalau Arin itu nggak bersyukur.
Arin mengelus pipinya pelan. Ini sih udah mendingan daripada sesaat setelah dipergoki Bang Zaki tadi pagi. Entah dikasih apa sama ibunya tadi, yang jelas udah nggak sakit dan nggak merah-merah banget.
“Rin, boleh nggak gue curhat?” suara mendayu-dayunya Jelita menyeret Arin kembali ke alam sadarnya. Arin cuma melirik Jelita sekilas. Tapi  begitu melihat muka hampir nangisnya Jelita, mau-nggak mau akhirnya Arin menoleh pada Jelita.
“Mau curhat apa sih?”
Jelita menoleh ke arah Arin. Dia berjengit kaget. “LO APAIN MUKA LO?” Teriak Jelita kaget. Arin serasa ingin menimpuk mulut cewek itu dan meninggalkannya pergi. Melihat gelagat yang jelek, Jelita menutup mulutnya. “Upss...sorry.”
“Gue juga jerawatan nih,” Jelita menunjukkan tiga gunung kecil di pipinya. Arin nyaris ngakak melihatnya. Weleh...ternyata dia juga bisa jerawatan toh.
“Gue stress mikirin cowok gue.”
Arin mengernyit pelan. Cowok? Jangan-jangan yang dulu mboncengin Jelita malam-malam itu. What happen with him? Jangan-jangan dia selingkuh. Arin mendesah pelan. Ya Allah ngapain juga aku mikirin cowoknya Lita. Salah alamat nih orang kalau mau curhat cowok ke  aku.  
“Dia selalu bilang ke gue kalau dia mau putus sama gue.”
Tuh kan! Berarti bener kalau cowok itu selingkuh. Kena kutuk apa cowok itu? Atau jangan-jangan dia kena pelet cewek lain. Tanpa sadar Arin mengelus-elus jerawatnya lagi. Dia bersumpah dalam hati bakal ngebakar masker yang udah ngebuat wajahnya jadi kayak gini.
Jelita mulai nangis. Arin buru-buru menenangkannya. “Dia selalu bilang kalau dia nggak pantas buat aku. Padahal aku udah bilang ke dia kalau aku bener-bener sayang sama dia. aku nggak bisa hidup tanpa dia (lebay abizz). Tapi dia nggak peduli. Dia bilang kalau aku bisa ngedapetin cowok yang lebih dari dia,” ujar Jelita panjang lebar sambil terguguk.
Arin mendesah. Dia cuma mengelus pundak Jelita mencoba memberi simpati. Ternyata orang yang lagi jatuh cinta itu lebay banget ya. Masa’ sampai bilang nggak bisa hidup tanda si dia. Mana sampai bisa ngebuat jerawat sukses tumbuh di pipinya Jelita lagi.
“Udah, Lit. Sekarang saatnya belajar bukan mikirin cinta-cinta melulu,” sahut Arin garing. Pasalnya dia ini bener-bener nggak ngerti soal begituan.
“Makasih udah ndengerin curhat gue ya,” ujar Jelita tulus. Arin mengangguk santai.
“Oh ya, kamu pasti salah kosmetik ya, Rin. Sampai jerawatmu besar-besar kayak gitu. Banyak lagi,” tambahnya enteng. Arin serasa ingin melumat cewek ini ke dalam perutnya. Simpatinya tadi menguap entah kemana.
Jelita...awas lo!!!!
JJJ

Arin melongo melihat cowok yang diapit  Jelita mesra. Masya Allah, Lita. Nih orang bener-bener perlu diingetin deh. Dia sedang jalan-jalan di mall setelah ikut kajian rutin, yah sekedar mampir,  ketika memergoki Jelita sedang menggandeng cowok. Arin melongo melihat cowok yang digandeng Jelita. Bukan karena terpesona tapi karena syok berat. Cowok ini... 1800 bedanya dari cowok yang dulu pernah nganterin Lita ke rumahnya. Awalnya Arin ngira kalau itu supirnya Jelita. Tapi masak Jelita nempel terus di samping supirnya. Kalau bukan cowoknya siapa lagi coba? Husnozhon deh? Kakaknya mungkin.  Perasaan dia dan Bang Zaki aja nggak pernah kayak gitu. Atau jangan-jangan cowok yang dulu itu luluran pake arang sampai berubah jadi kayak gini.
“Arin...kebetulan banget. Kenalin nih, ini cowokku. Yang aku ceritain ke kamu tempo hari,” kata Jelita sumringah.
Arin membatu. Illahi! Dia masih syok melihat cowok disamping Jelita. Ini bukan ceritanya Sarah and The Beast kan? Juga bukan ceritanya si Cantik dan si Buruk Rupa kan? Arin cuma geleng-geleng kepala setelah sadar dari lamunannya.
Arin menatap cowok di depannya kaku. ‘imut’ banget. Alias Item mutlak. Mungkin masih sedarah sama arang tuh. Udah gitu, jerawatnya banyak lagi. Kalau dijajarkan sama Jelita mirip banget sama tivi di rumah kakeknya. Item putih gitu. Tampangnya juga dibawah standar. Arin menelan ludah berkali-kali. Astagfirullah...kok ngehina gini sih.
“Dia baik banget lho, Rin. Dia udah nyelametin gue dari keterpurukan gue waktu SMP. Pokoknya dia ini is number one,”kata Jelita lagi. Penuh semangat dan kobaran api cinta. Hwehwew...
“Oh, gitu yah. Trus yang dulu nganterin kamu itu siapa?” desis Arin lemah.
Jelita mengernyit pelan. “Oh...itu? Itu supir gue. Dia sudah punya anak-istri. Tinggalnya juga di rumah gue. Cuma waktu itu mobilnya rusak aja. Jadi kepaksa pake motornya kakak gue,” terang Jelita panjang lebar dan tanpa diminta.
Arin tambah melongo. ALAMAKK.....!
JJJ

Arin memajang fotonya dan Jelita yang sengaja ia bingkai di dinding. Ternyata sesebel apa pun dia sama Jelita, cewek itu tetap memberinya pelajaran yang berharga.  Cantik atau tampan bukan sekedar fisik. Lebih pada hati yang menyiratkan kecantikan. Inner beauty gitu lah.
Jelita bisa jatuh hati sama cowok pas-pasan (mau bilang dibawah standar nggak tega sih) kayak gitu. Ternyata kecantikan atau ketampanan bukan standar untuk mendapatkan pasangan. Bukan standar untuk lebih dihargai orang lain dan dicintai orang lain. Juga bukan standar untuk masuk surga.
“Cantik itu bukan kemutlakan. Tapi relatif. Tidak berharga kecantikan tanpa keimanan. Tidak berharga kecantikan tanpa ketulusan. Karena cantik itu hati. Hati yang bersih akan berkapilaritas ke kulit dan menampakkan kecantikan yang sesungguhnya,” Arin mengakhiri tulisan di buku diarynya sambil tersenyum. Dia mengalihkan perhatiannya ke jajaran kosmetik yang terlanjur dia beli.
Sudah diputuskan! Dia tidak akan membuang barang-barang itu (sayang uangnya gitu lho). Dia akan tetap memulai misinya untuk lebih care sama kulitnya. Tapi juga dengan catatan dia nggak akan maksain kulitnya untuk berubah jadi putih dalam semalem. Menjaga dan merawat amanah Allah itu kan wajib. Hehehe....





Karanganyar, Minggu, 11 April 2010 di hangatnya matahari.
Look! I’m so beaty.
                                   


                                                

Marry Your Daughter


Waktu itu aku cuma buka-buka blog orang atas suggesstnya kawan....dan tiba-tiba lagu ini mengalun dan sukses menggelitik gendang telingaku. Lagu karya Brian Knight yang suaranya emang ehem ini ternyata juga jadi lagu favorit kakak-kakak kostku. Dan sukseslah lagu ini masuk di playlist MP3 laptopku dan kuulang berputar-putar sampe mbak kosku yang lain bilang:
"Busyet dah, Mil....kamu nggak pendarahan koklea kuping gitu dengerin lagu yang sama dari kemarin?"
 :D...hahahaha...

Suer dah....lagunya enak banget buat didengerin. So sweet banget. Aku bisa dapet satu chapter buat Novel "Dear Diary" yang baru on going cuma gara-gara dengerin lagu ini. Emang sih, lagunya khas banget lugu proposing, tapi kalau dilihat dari sisi cewek, lagu ini kan juga mewakili banget gimana perasaan laki-laki ketika berhadapan dengan orangtua perempuan yang disukainya. Ehem....

Bagian yang paling aku suka tentu aja bagian reffnya: 

Can marry your daughter

And make her my wife
I want her to be the only girl that I love for the rest of my life
And give her the best of me 'till the day that I die, yeah
I'm gonna marry your princess
And make her my queen
She'll be the most beautiful bride that I've ever seen


Klepek-klepek nggak sih kalau dinyanyiin kayak gitu. Mau ah...entar... sebagai kado pertama ...hahaha
#ngarepmodeon

My Department

Yeah....ngomong-ngomong hampir satu setengah tahun aku hidup di Farmasi, kayaknya aku belum pernah ya menyinggung kehidupanku di dunia kampus ini. Hahaha...monoton banget kalau cuma dilihat dari sudut pandang aku belajar. Masuk kuliah, absen, praktikum, pretes dosen, laporan, ujian. Something yang standar banget buat anak kuliah. Tapi aku nemuin hal yang luar biasa banget selama setahun ini....
Ehm.....aku mau cerita dikit tentang BEM DKM (Departemen Kekaryaan Mahasiswa), Salah satu departemen tepat aku akan mengakhiri tugasku tahun ini. Wahahaha....bahasanya ngebingungin ya... :3

Aku nggak mau membahas soal BEM fakultas Farmasi kok, http://bem.farmasi.ugm.ac.id bakal udah ngejelasin semuanya tentang Badan eksekutif fakultas farmasi itu. Aku cuma ingin mengenang aja, departemen dimana tempat aku kerja, tempat aku kebut-kebutan sama deadline, tempat aku ngakak-ngakak sama temen-temen. 


Yah....gambar disamping ini gambar anak-anak kece yang setahun ini meramaikan departemen baru di BEM KM Farmasi....
Hahaha...jadi inget pas ngambarnya gimana, dan sekarang aku malah lupa naruh hard file alias sketsa aslinya dimana...:D
Nih anak-anaknya:
1. Yoce Aprianto ; sebagai kepala departemen yang paling sering nraktir anak-anaknya. :D. Aku juga nggak ngerti gimana mas Yoce bisa enjoy banget membawa lebih dari selusin cewek-cewek gini. Hahaha....
2. Anastasia Putri M
3. Argandita Meiftasari
4. Sekar
5. Natalia
6. Asri Mega
7. Evi Trinovita
8.Mb Licil (Amalia)
9.Mb Lisar (Amalia)
10 Mb Nindi Wulandari
11. Magdalena Devika
12. Layung Sekar K
13. Yiko Chi Darma
14. Julika
15. Amila Ahsani

Duh....ternyata aku belum hafal nama panjang semuanya ya...:D
Nah setahun ini, udah banyaaaaaak banget yang kita lalui bareng. Mulai dari pengakraban di L'cost yang mengeruk dompetnya Pak Kadep, agenda kerja mulai dari Kelas Bahasa, Tutorial, PIMFI, PSC, Buat buku farset, sosialisasi PKM, Pemilihan Mapres, wewe.....banyak banget ya temen-temen.....dan agenda gabut lainnya yang tak terhitung, kayak ongkang-ongkang disekre BEM, atau sekedar leyeh-leyeh bareng (pernah nggak sih?) 

Mengenang aja sih, apalagi ini kan udah mau akhir kepengurusan 2013. Rasanya cepet banget ya...kayaknya baru aja kemaren kenalan, wawancara di BEM...dan  baru beberapa jam lalu sebelum aku mosting tulisan nggak genah ini, kita-kita kembali mengeruk dompetnya Pak Kadep... (duh, gomen ne ya Mas...^^). 

Ini nih tampang aslinya....:D

Salam Ukhti

Assalamu’alaikum Ukhti….gimana kabarnya?

Ehm, tak perlu dijawab pun aku tahu kalau kau pasti baik-baik saja. Aku yakin Allah akan terus menjagamu. Iya kan…..

Ukhti, sebelumnya….aku minta maaf.
Tapi sepertinya kata maaf pun tidak akan cukup mewakili kesalahanku padamu.
Maaf ya, Ukh….kalau selama ini aku terlalu bersikap dingin padamu. Bersikap seolah kau ini makhluk kasat mata dengan  hati baja. Aku tahu kok kalau kamu sering menghela nafas  menyadari tingkah childishku yang kadang memang kebablasan. Atau bertingkah sok tega membiarkanmu meng-handle semua kecerobohanku. Padahal dalam hati aku ingin sekali membantumu. Aku tahu kamu bukan orang yang rapuh, bukan orang yang gampang menangis cuma karena hal sepele. Tapi mungkin juga….ada sebagian tingkahku yang bisa membuatmu menangis diam-diam. Entah karena sikap dinginku, sok cuek, tukang PHP, ah…banyaklah pokoknya.

Ukhti, aku membangun dinding diantara kita bukan karena sengaja.
Sejujurnya, inilah cara terbaik yang bisa aku pikirkan untuk melindungmu dari fitnah. Aku tidak mau hanya karena SMS penyemangat yang sering aku kirim ke sesama ikhwan, kukirim padamu dan membuat imanmu goyah. Aku tidak mau ada kecamuk PHP tiap kali menanyakan kabar atau sekedar membangunkan qiyamul lail.  Sungguh Ukhti, aku tidak bermaksud menyakiti hatimu, membuatmu kesal atau membuatmu merutukiku berkali-kali.

Ukhti, taukah kamu?
Hati ini lemah. Banyak sekali bisikan syaiton yang berhembus di dalamnya. Mendengarmu bicara dengan tutur haluspun mampu membuat imanku bergetar. Entahlah….karena itu Ukhti, bukankah lebih baik kalau aku menjauhimu. Sebelum syaitan dan anak cucunya bertepuk tangan atas keberhasilan rencana mereka.

Sungguh Ukhti, aku menjauhimu bukan karena aku membencimu.
Bukan karena aku menyukai orang lain juga.
Tapi karena menjaga hati ini. Dari zina dan turunannya. Dari hati yang mulai berbisik kotor. Dari pikiran yag mulai berharap. Yah…seperti itulah.
Jadi Ukhti, tolong dimaafkan sekali lagi.

                                                                                                                Salam,

                                                                                                                Ikhwan

Reminder Named Pipit


        
          Aku benci kelas baruku!!!!
  Itu adalah kata yang paling ingin aku  umumkan keseluruh dunia Indonesia saat pertama kali melihat makhluk-makhluk ajaib di kelas baruku. Aku tercekat bin terpesona begitu tahu kalau hampir sepuluh besar dari tiap-tiap kelas sepuluh dikumpulkan di kelas sebelas IPA dua ini. Kelas yang paling dekat dengan ruang kepsek. Yang paling disoroti guru karena pendahulunya yang emang mantap-mantap. Yang katanya sih meraih rata-rata tertinggi tiap semester. Juga kelas paling alim dengan manusianya yang nggak pernah neko-neko. Dan yang…yang… lainnya. Yang pastinya, aku nggak yakin kalau aku masuk kategori yang aku sebutin barusan walaupun pada kenyataannya aku ditempatkan di kelas mengerikan itu.
Bukannya aku takut bersaing sama anak-anak itu (sebenernya iya ding...hehehe). Apalagi kalau dilihat dari wujud kaum IPA ini sih …pada punya irisan otak si jabrik Einstein semua deh. Pendiem. Punya bejibun bakat. Nggak ada seru-serunya lagi. Aghhh!! Dongkol banget sama makhluk macam gituan.
            Seratus delapan satu dari kelas sepuluhku dulu. Saat kelasku (mantan kelas maksudnya) masih dianugrahi kelas paling jengkelin plus bikin kepala guru senut-senut kena migrain. Yang banyak tingkahlah, banyak yang bolos-lah, pokoknya apa-lah yang bikin kelasku dulu di-blacklist sama guru-guru.  Tapi justru kelas itulah yang aku rinduin. Kelas yang penuh tawa, joke seru, juga sorak anak-anak narsis yang ngebet pingin eksis.  
            Dan sekarang...aku musti berhadapan sama anak-anak super jenius yang bawaannya kemana-mana kalau nggak buku ya laptop. Kalau nggak surfing ya browsing. Oh Tuhan!! Ini benar-benar siksaan. Hiks…hiks….
Coba sekarang aku tanya. Bukannya jam kosong itu adalah hadiah terindah buat anak SMA. Bukannya biasanya (ini sih biasanya) diisi dengan ngobrol, main gitar, nonton film atau ngisi perut di kantin. Tapi jawabannya ‘nggak’ sama kelasku. Mulai dari pojok barat sampai pojok timur isinya kalau nggak anak-anak pada baca buku… ya minimal ngerjain LKS lah. Pun saat guru yang bersangkutan nggak ninggalin tugas. Hebring kan?! Ya Salam!!
***
            “Aku mau pindah kelas.”
            Aku ngedumel untuk yang keseribu kalinya begitu  melihat wajah anak-anak kelasku lebih teliti. Dilihat dari jarak seinci atau semeter pun tampang mereka tetep sama. Tampang tanpa ekspresi tapi jenius abis. Udah sebelas-duabelas sama seabrek buku yang tiap hari dibaca. Aku beneran pingin nangis sendiri mengingat kalau nyaris separuh temen-temen yang dulu deket sama aku masuk kelas IPS yang kebetulan ada di lantai dua. Nggak cukup waktu 15 menit istirahat buat nyamperin mereka. Itu pun kalau kelasku nggak kebagian tugas atau apa gitu lah.
            “Emang kenapa sih kalau disini?” Fitri tersenyum menatapku. Lesung pipit di pipi kiri dan kanannya membuat namanya berganti menjadi ‘Pipit’.
            “Ya, orangnya nggak asyik aja.” Padahal dalam hati aku ingin teriak ‘Mana bisa aku hidup di kelas kayak kuburan gini. Mana bisa?!’.
            “Ya juga sih. Tapi udah ah terima aja. Nggak ada ruginya kan. Siapa tahu disini jadi tambah pinter. Anak-anak disini kan mantap-mantap semua.” Pipit mengedarkan pandangannya. Sepertinya pikirannya sama denganku. Dia pasti ngerasa kalau kelas ini adalah kelas untuk kompetisi. Bukan buat narsis apalagi eksis.
            Dan aku cuma bisa mendengus kesal dengan kepolosan cewek nomor wahid saat dikelas sepuluh dulu.
***
            Aku nyaris terdesak …eh…. tersedak begitu tahu dimana sebenernya Pipit tinggal. Sohib yang mulai akrab itu hanya menyahut sambil tersenyum waktu dia bilang kalau home sweetnya 30 km dari tempat kami sekolah sekarang. Tiga puluh kilo?! Itu masih belum ditambah 5 km dari tempat busnya ngetem untuk sampai ke home sweat homenya yang emnag agak pelosok.  Dan jarak segitu dia lalui PP setiap hari. Illahi!
            “Nggak capek?”
            Pipit tersenyum lebar. “Ya capek sih.”
            “Kenapa nggak nge-kos aja sih?” celutuk si kembar Oni, temen sebangkuku yang akhir-akhir ini mulai akrab sama aku. Aku sudah mengenalnya sejak kelas sepuluh. Cuma sebetas kenal sih. Awalnya sih pendiem pangkat dua. Aku sering membatin lho, kok dia bisa ya tahan sama orang cerewet macam aku. Dia apa nggak semumpel ya ndengerin aku ngeluh terus?
            “Aku nggak suka nge-kos. Orang aku ngekos sehari aja nggak kuat nahan kangen sama ibuku.”
            Aku menelan ludah kaku. Kok rasanya kayak nelen sekilo meteor ya. Aku membayangkan lagi jarak rumahku yang cuma 2 km dari sekolah. Itu pun pakai motor. Tinggal tancap…weeeng. 5 menit nyampe dengan kecepatan standar anak sekolah. Mana aku nggak pernah bensinin lagi (ya iyalah, sepedanya punya temen seperjalananku). Lumayan capek juga sih kalau pakai ontel tapi kan jarak segitu nggak mewakili seribu langkah setiap hari kan? Toh kalau pakai ontel  berangkatnya pasti bertiga sama temen-temenku yang hobi biking semua. Cuma butuh 20 menit sambil ngobrol buat nyampe sekolah. Itu pun kalau pingin. Really-very-extra want.
            Itu pun aku sering ngeluh kepanasan waktu pulang sekolah. Mana bakat punya kulit belang lagi. Aku sering nyari alasan kecapekan waktu mama nyuruh aku apa gitu habis pulang sekolah. Aku musti cemberut sama mama kalau aku disuruh keluar buat nyari something. Igh…panas nih, Ma…males buanget.
            “Trus kalau nanti aku nggak dijemput bapak, aku jalan lima kilo. Jalannya juga naik-turun. “ Tangan Pipit meliuk-liuk menggambarkan betapa menakjubkan medan yang dia lewati.
            Hah!? Gila?! Nih orang nggak ngajak bercanda kan? Nggak lucu tau nggak sih.
            Lima kilo? On foot? Ya Rabbi.... Ya ampun…kalau aku jalanin pasti tahun 2012 ntar tubuhku tinggal kerangka doang. Gimana nggak?! Jalan lima kilo tiap hari?! Illahi Rabbi. Ini sih namanya diet kebablasan.
            Pikiranku melayang lagi. Ngebayangin kalau aku pulang sore gara-gara kegiatan rohis atau semacamnya aku lebih milih dianter, trus nanti pulangnya naik bus. Dan dijemput ditempat busnya nge-tem karena aku males jalan. Padahal nggak jauh-jauh amat kok. Setengah kilo paling kurang. Itu pun jalannya lurus, mulus, dan nggak panas-panas amat. Tapi aku milih maksa mama atau papa yang repot abis buat jemput aku. Yah, emang sih mereka nggak keberatan. Tapi kan...
            Pandanganku teralih lagi pada tas segede karung yang jadi bawaan wajib makhluk SMA ini. Aku nggak bisa ngebayangin kalau musti jalan lima kilo sambil gendong tas obesitas gini. Nggak banget.
            “Trus kalau sampai dirumah ngapain? Tidur?” tanyaku penasaran begitu aku ingat hobi satuku ini. Tidur siang berjam-jam.
            “Ya enggak sih. Aku malah nggak pernah tidur siang....”
            What?! Jalan lima kilo trus nggak tidur?! Aku sama Oni  melongo. Sumpeh ya… kaki nih orang pasti terbuat dari lumatan besi plus stainless stell dilumerin tembaga, diamplas pake alumunium. Kuat banget!!
            Pipit memainkan ujung bolpointnya. “Ya paling makan bentar sambil istirahat. Habis itu  ya bersih-bersih, nyuci, sama jerang air. Trus mandi, ngajar TPA. Nanti malamnya ngelesin tetanggaku yang baru kelas SD.Baru belajar. Paling nyampe jam sembilan doang. Trus tidur.”
            GLEK! Aku jadi menejer dadakan yang mencatat semua omongan pipit barusan. Wow! Sampai segitunya. Dan itu dilakukan tiap hari?!
            “Emang sampai rumah jam berapa?”
            “Jam tiga. Kalau nggak ya jam empat kurang kalau musti jalan lima kilo itu.”
            My Head! Astaganaga. Aku sampe rumah jam dua kurang. Trus tidur sampe jam tiga.  Kadang juga sampe jam empat. Mandi, sholat, trus langsung duduk  manis nonton drama korea sampai jam  lima. Abis itu mijitin HP atau baca novel sampai maghrib. Tidur jam sebelas malam. Bukan gara-gara belajar lho. Tapi nonton film.
            Aku cuma bisa terdiam ngebayangin hari-hari yang dijalanin Pipit.  Ngebandingin betapa aku selama ini jenius banget kalau soal buang-buang waktu. Mandi berjam-jam cuma buat luluran atau sekedar konser di kamar mandi. Natap cermin berjam-jam. Padahal kalau dipikir-pikir tampangku juga nggak ada yang berubah. Nggak mungkin banget kalau mendadak aku berubah kayak Koo Ah Ra. Pangling dong ortuku. Tahi lalat juga masih ada di hidung.  Nggak cantik tapi nggak sudi juga sih kalau dibilang jelek.
            Kalau dipikir lebih dalam, seharusnya aku punya waktu lebih banyak. Nggak cuma tidur mlulu. Seharusnya juga bisa ngehasilin sesuatu lebih dengan jari-jari panjangku. Toh, mama selalu bilang kalau aku punya banyak hobi yang malas aku tekunin. Kayak jahit, nulis, masak sama nglukis. Ketimbang tidur kan lebih ada manfaatnya. Tapi aku....
***
            Aku menatap malas gunungan buku MIPA yang ada di mejaku. Illahi!! Aku salah milih jurusan nggak sih. Ternyata jadi anak IPA itu lumayan menyiksa juga ya.
            Aku menguap kesepuluh kalinya. Aku sudah mengucek mataku berkali-kali dan nyuruh Oni nyubitin ujung jariku  supaya ngantukku ilang. Ini sih gara-gara malamnya aku bela-belain nonton Silent Death sampai larut. Bisa dilihat hasilnya pagi ini kan.
            “Tolong dong, Ni, dicubit. Ngantuk gila neh!” seruku sambil menahan diri untuk tidak menguap. Malu tau.
            Eh, bukannya dicubit malah dielus-elus. Sialan nih anak…!! Ini sih namanya meninabobokanku. Oni emang paling nggak bisa nyakitin orang. Sekalipun orang itu sendiri yang minta. Contohnya ya barisan tadi. Aku sampai heran lho sama dia. Kok ada sih orang seajaib dab sebaik hati dia. Ckckck.
            Aku melirik bangku belakangku tempat Pipit duduk. Dari tampangnya sih ketara banget kalau dia sudah nyaris merem.
            “Ngantuk ya, Pit?”
            “He’eh. Kemarin jalan lima kilo lagi. Malamnya musti bantuin Mbakku buat tugas sekolah.” Pipit menyandarkan kepalanya di dinding. Mencoba menahan kantuk yang aku yakin makin menjadi. Secara aja, gurunya tuh nerangin kayak orang dongeng sih. Gimana nggak ileran semua coba. Jam terakhir pula. Klop banget kan?
            Nah lho! Beda banget kan alasan ngantuknya sama aku. Aku sih boro-boro bantuin mama ngerjain tugas kuliah pasca sarjananya. Tahu aja ogah.
***
            “Papamu jadi arsitek ya?”
            Aku menggeleng sambil tertawa. Sejak temen-temen mulai akrab dan tahu kalau aku hobi gambar selalu itu aja yang ditanyain.
            “Nggak kok. Papa usaha furniture. Emang kenapa sih?”
            “Nggak pa-pa sih. Kok kamu itu bagus banget kalau gambar.”
            Aku tersenyum malu. Sebenernya kalau mau jujur gambarku nggak bagus-bagus amat kok. Sepupuku aja sering bilang kalau gambaranku kayak anak TK. “Ngomong-ngomong, Bapakmu apa?” Aku sengaja nyebut ‘Bapak’ karena memang gitulah Pipit memanggil ayahnya.  Sebenernya aku tahu kalau itu pertanyaan paling nggak sopan yang pernah aku ajuin. Tapi mau gimana lagi. Keburu penasaran nih. Siapa tahu Bapaknya Pipit tuh juragan sapi. Ntar kan bisa sering-sering main ke rumahnya sambil belajar nunggangin sapi. Hahaha…
            “Bapakku pedagang sayur. Sayur keliling gitu,” sahutnya jujur, tenang, tanpa sungkan.
            Tanganku langsung berhenti menari diatas karton. Aku tercenung lama. Entah kenapa jantungku seperti membentur sesuatu. Mataku mengerjap cepat menatap Pipit. Mencari tampang bercanda dia. Tapi yang kutemukan senyum penuh makna dan kejujuran.
            “Ibu?”
            “Di PKK. Yah kayak jualan kue dirumah gitu.”
            Kepalaku mengangguk otomatis. Aku buru-buru mengalihkan pandanganku begitu senyum Pipit terkembang tanpa beban.
            Aku selalu mengira kalau semua anak SMA ini adalah anak-anak pejabat atau juragan. Yah minimal PNS lah. Aku akui kalau bulanan di SMA ini lumayan mahal. Maklumlah SMA favorit. Dan anak-anak orang kayak yang aku sebutin barusan  yang bisa sekolah disini. Meskipun nggak menutup kemingkinan anak lain sekolah disini. Tapi mengingat pengeluaran perbulan yang saringan sama  UMR di kotaku, pasti itu berat buat Pipit.
            “Ya Allah, Pit. Aku kagum sama kamu,” cetusku spontan. Dan hanya dibalas senyum terkembang dari Pipit.
            “Hah!? Kok bisa?” tanya Pipit bingung.
            Aku menatap Pipit lebih lama. Cantik, manis, agamis, murah senyum, dan yang pasti aja jenius. Dia juga pantang menyerah. Melakukan apa pun yang bisa dia lakukan sampai akhir. Aku jarang banget lho denger keluhan keluar dari bibir mungilnya. Beda sama aku. Ulangan susah dikit aja langsung ribut.
            Aku bisa ngebayangin hari-hari yang selalu dijalanin Pipit. Mungkin bagiku itu monoton, tapi bagi Pipit itu sudah jadi bagian hidupnya. Satu-satunya yang dia keluhkan adalah ngeliat Bapaknya yang banting tulang tiap hari cuma buat sekolah dia. Apalagi dia kan anak ketiga dari empat bersaudara. Nggak gampangkan ngehidupin empat anak yang semuanya sekolah.
Aku nyaris nangis dengernya. Ingat mama dan papa yang sering denger aku ngeluh kalau uang jajanku kurang. Juga sering minta yang aneh-aneh sama mama. Hiks...hiks.... aku baru nyadar kalau aku ini anak yang nyusahin buat mama sama papa.
***
            “Hidup ini harus punya mimpi. Karena mimpi yang akan memberi kehidupan. Jadi tulis mimpimu biar nggak lupa dan biarkan mimpi-mimpimu itu yang menuntunmu. ”
            Coba tebak siapa yang bilang kayak gitu? Aku dong. Tentu aja setelah nyontek dari salah satu buku motivasi. Sengaja aku kutip karena isinya bagus banget.
            Aku suka banget ngeliat tampang Pipit yang berkedut serius tiap kali aku ngomong. Padahal aku tuh termasuk orang yang omongannya ngaco atau bisanya bercanda doang. Jarang banget bisa diajak serius. Hehehe…
            Aku jadi inget waktu dia nanyain hari ulang tahunku. Aku jawab ngasal dengan nada datar.
            “30 Februari. Kenapa? Mau ngado ya?” Aku nggak tau apa aku punya tampang ngeyakinin banget waktu itu tapi yang jelas Pipit langsung ber-o panjang sambil mencatat hari ultahku itu di notesnya.
            Gila! Nih anak kepolosan amat. Tentu saja aku nahan geli nggak karuan. Baru beberapa bulan kemudian dia ngamuk-ngamuk di depanku saat tahu kalau aku membohonginya soal hari ultah itu. Kalau bukan karena penulisan biodata siswa dia pasti akan mengingat ultahku di hari yang nggak bakalan ada itu.
            “Ami, 30 Februari itu nggak ada?!”
            Aku ngakak. “Siapa suruh kamu percaya.”
            “Lho…dulu kamu serius banget sih bilangnya.”
            Aku menatap Pipit yang mulai menulis mimpinya. Aku bisa menebak apa yang dia tulis.
            “Mimpimu apa, Mi?” tanyanya padaku setelah menunjukkan 100 mimpi yang ditulisnya di notes mungil. Tuh bener kan. Hampir 60% mimpi yang dia tulis tuh buat ortunya. 
            Aku menatapnya sekilas sambil sesekali melirik lagi ke buku notenya yang masih sibuk kubolak-balik. “Membuat sahabat-sahabat aku seperti kamu tuh bahagia,” sahutku sekenanya.
            Pipit hanya tertawa geli. “Pasti bercanda lagi kan?”
            Aku menggeleng. “Kayaknya nggak deh.”
***
            Pipit masih tersenyum pagi ini. Sama seperti hari-hari sebelumnya. Aku membalasnya lebih lebar. Senyumnya itu lho yang mungkin bisa membuatku bertahan dan betah  di kelasku yang masih saja membosankan ini (sebenernya kalau mau jujur udah nggak ngebosenin banget ding. Cuma kurang heboh aja.). Membuatku nggak banyak mengeluh soal kekurangan dan kelebihan dari kelas yang memang luar biasa di beberapa bagian.
            Aku tahu sekarang apa yang dinamakan kesempatan, ketulusan dan penghargaan. Pipit sudah nunjukin sama aku kalau aku punya waktu lebih banyak di rumah ketimbang cuma buat tidur dan nonton TV. Aku punya fasilitas yang cukup kalau cuma untuk memenuhi standar hidup (standar hidup pelajar maksudnya). Mulai dari komputer buat ngerjain tugas, HP buat komunikasi, sampai bejibun buku buat referensi. Termasuk uang SPP dan uang saku yang nggak pernah telat dari mama dan papa. Plus tip-tip dari Mama kalau beliaunya lagi nggak pelit. Hihihi….
            Aku nggak perlu ngeyel dibeliin laptop mini yang bisa dilipat plus layar sentuh , toh alhamdulillah aku masih ada komputer  yang punya kapasitas (lumayan) cepet. Aku nggak perlu minta tambahan saku karena aku akan mencoba mengerem ngemil dan jajan. Pipit sudah mengajariku untuk mensyukuri segala yang diberi-Nya dan berhenti ngeluh. Berhenti mendongak dan berharap keajaiban.
            Dia adalah makhluk paling tulus yang pernah aku kenal. Dia nggak pernah menyembunyikan perasaan yang akan menyakiti hatinya. Kalau dia emang nggak suka ya bilang nggak suka. Nggak pernah munafik sama temen, apalagi sampai menjelekkan temen-temennya dibelakang. Itu hal yang paling aku sukai dari Pipit dan kesederhanaannya.
            Aku kadang berjanji pada diriku sendiri kalau aku bisa aku akan membantunya semampuku. Aku nggak mungkin ngebiarin dia disakiti sama temen lain apalagi sama semua problem yang kayaknya banyak banget di depannya. Tapi mana ada sih orang yang mau nyakitin anak sebaik dia. Impossible banget deh. Tapi kalaupun ada aku akan buat dia membayar apa yang diperbuatnya (idih...lagaknya).
            Kau tahu....saat aku kehilangan semangatku, aku selalu memandangi Pipit lama dan memastikan senyumnya masih ada. Aku memaksanya menuliskan  SEMANGAT! CHAYO! di bukuku. Dan kalau aku benar-benar drop aku akan memandangi tulisan itu dan tersenyum. Secara nggak langsung Pipit udah ngasih tahu kalau ada yang lebih beruntung daripada orang lain.
***
            Kutulis ini untuk sahabatku Pipit yang selalu ngingetin aku tentang artinya syukur. Sahabatku yang tak akan kalah oleh keadaan meskipun keterbatasan membelenggunya. Sahabatku yang selalu polos dan menerima kompleksitas hidup ini dengan kesederhanaannya. Sejuta sayang untuk anak-anak Science 2 yang nggak pernah berhenti ngasih semangat dan selalu menginspirasi. Luph u all….

                                                                                                Karanganyar, 11 Agustus 2011

           












































































Powered By Blogger
 
Little Queen Wind Copyright © 2011 | Tema diseñado por: compartidisimo | Con la tecnología de: Blogger