Aku benci kelas baruku!!!!
Itu adalah kata yang paling ingin aku umumkan keseluruh dunia Indonesia saat pertama kali melihat makhluk-makhluk ajaib di kelas baruku. Aku tercekat bin terpesona begitu tahu kalau hampir sepuluh besar dari tiap-tiap kelas sepuluh dikumpulkan di kelas sebelas IPA dua ini. Kelas yang paling dekat dengan ruang kepsek. Yang paling disoroti guru karena pendahulunya yang emang mantap-mantap. Yang katanya sih meraih rata-rata tertinggi tiap semester. Juga kelas paling alim dengan manusianya yang nggak pernah neko-neko. Dan yang…yang… lainnya. Yang pastinya, aku nggak yakin kalau aku masuk kategori yang aku sebutin barusan walaupun pada kenyataannya aku ditempatkan di kelas mengerikan itu.
Itu adalah kata yang paling ingin aku umumkan keseluruh dunia Indonesia saat pertama kali melihat makhluk-makhluk ajaib di kelas baruku. Aku tercekat bin terpesona begitu tahu kalau hampir sepuluh besar dari tiap-tiap kelas sepuluh dikumpulkan di kelas sebelas IPA dua ini. Kelas yang paling dekat dengan ruang kepsek. Yang paling disoroti guru karena pendahulunya yang emang mantap-mantap. Yang katanya sih meraih rata-rata tertinggi tiap semester. Juga kelas paling alim dengan manusianya yang nggak pernah neko-neko. Dan yang…yang… lainnya. Yang pastinya, aku nggak yakin kalau aku masuk kategori yang aku sebutin barusan walaupun pada kenyataannya aku ditempatkan di kelas mengerikan itu.
Bukannya
aku takut bersaing sama anak-anak itu (sebenernya iya ding...hehehe). Apalagi kalau
dilihat dari wujud kaum IPA ini sih …pada punya irisan otak si jabrik Einstein
semua deh. Pendiem. Punya bejibun bakat. Nggak ada seru-serunya lagi. Aghhh!!
Dongkol banget sama makhluk macam gituan.
Seratus delapan satu dari kelas sepuluhku dulu. Saat kelasku
(mantan kelas maksudnya) masih dianugrahi kelas paling jengkelin plus bikin kepala
guru senut-senut kena migrain. Yang banyak tingkahlah, banyak yang bolos-lah,
pokoknya apa-lah yang bikin kelasku dulu di-blacklist sama guru-guru. Tapi justru kelas itulah yang aku rinduin.
Kelas yang penuh tawa, joke seru, juga sorak anak-anak narsis yang ngebet
pingin eksis.
Dan sekarang...aku musti berhadapan sama anak-anak super
jenius yang bawaannya kemana-mana kalau nggak buku ya laptop. Kalau nggak
surfing ya browsing. Oh Tuhan!! Ini benar-benar siksaan. Hiks…hiks….
Coba
sekarang aku tanya. Bukannya jam kosong itu adalah hadiah terindah buat anak
SMA. Bukannya biasanya (ini sih biasanya) diisi dengan ngobrol, main gitar,
nonton film atau ngisi perut di kantin. Tapi jawabannya ‘nggak’ sama kelasku.
Mulai dari pojok barat sampai pojok timur isinya kalau nggak anak-anak pada
baca buku… ya minimal ngerjain LKS lah. Pun saat guru yang bersangkutan nggak
ninggalin tugas. Hebring kan?! Ya Salam!!
***
“Aku mau pindah kelas.”
Aku ngedumel untuk yang keseribu kalinya begitu melihat wajah anak-anak kelasku lebih teliti. Dilihat
dari jarak seinci atau semeter pun tampang mereka tetep sama. Tampang tanpa ekspresi
tapi jenius abis. Udah sebelas-duabelas sama seabrek buku yang tiap hari
dibaca. Aku beneran pingin nangis sendiri mengingat kalau nyaris separuh
temen-temen yang dulu deket sama aku masuk kelas IPS yang kebetulan ada di
lantai dua. Nggak cukup waktu 15 menit istirahat buat nyamperin mereka. Itu pun
kalau kelasku nggak kebagian tugas atau apa gitu lah.
“Emang kenapa sih kalau disini?” Fitri tersenyum
menatapku. Lesung pipit di pipi kiri dan kanannya membuat namanya berganti
menjadi ‘Pipit’.
“Ya, orangnya nggak asyik aja.” Padahal dalam hati aku
ingin teriak ‘Mana bisa aku hidup di
kelas kayak kuburan gini. Mana bisa?!’.
“Ya juga sih. Tapi udah ah terima aja. Nggak ada ruginya kan . Siapa tahu disini
jadi tambah pinter. Anak-anak disini kan mantap-mantap semua.” Pipit
mengedarkan pandangannya. Sepertinya pikirannya sama denganku. Dia pasti
ngerasa kalau kelas ini adalah kelas untuk kompetisi. Bukan buat narsis apalagi
eksis.
Dan aku cuma bisa mendengus kesal dengan kepolosan cewek
nomor wahid saat dikelas sepuluh dulu.
***
Aku nyaris terdesak …eh…. tersedak begitu tahu dimana
sebenernya Pipit tinggal. Sohib yang mulai akrab itu hanya menyahut sambil tersenyum
waktu dia bilang kalau home sweetnya 30
km dari tempat kami sekolah sekarang. Tiga puluh kilo?! Itu masih belum
ditambah 5 km dari tempat busnya ngetem untuk sampai ke home sweat homenya yang
emnag agak pelosok. Dan jarak segitu dia
lalui PP setiap hari. Illahi!
“Nggak capek?”
Pipit tersenyum lebar. “Ya capek sih.”
“Kenapa nggak nge-kos aja sih?” celutuk si kembar Oni,
temen sebangkuku yang akhir-akhir ini mulai akrab sama aku. Aku sudah
mengenalnya sejak kelas sepuluh. Cuma sebetas kenal sih. Awalnya sih pendiem
pangkat dua. Aku sering membatin lho, kok dia bisa ya tahan sama orang cerewet
macam aku. Dia apa nggak semumpel ya ndengerin aku ngeluh terus?
“Aku nggak suka nge-kos. Orang aku ngekos sehari aja
nggak kuat nahan kangen sama ibuku.”
Aku menelan ludah kaku. Kok rasanya kayak nelen sekilo meteor
ya. Aku membayangkan lagi jarak rumahku yang cuma 2 km dari sekolah. Itu pun
pakai motor. Tinggal tancap…weeeng. 5 menit nyampe dengan kecepatan standar
anak sekolah. Mana aku nggak pernah bensinin lagi (ya iyalah, sepedanya punya
temen seperjalananku). Lumayan capek juga sih kalau pakai ontel tapi kan
jarak segitu nggak mewakili seribu langkah setiap hari kan? Toh kalau pakai ontel
berangkatnya pasti bertiga sama
temen-temenku yang hobi biking semua. Cuma butuh 20 menit sambil ngobrol
buat nyampe sekolah. Itu pun kalau pingin. Really-very-extra want.
Itu pun aku sering ngeluh kepanasan waktu pulang sekolah.
Mana bakat punya kulit belang lagi. Aku sering nyari alasan kecapekan waktu
mama nyuruh aku apa gitu habis pulang sekolah. Aku musti cemberut sama mama
kalau aku disuruh keluar buat nyari something. Igh…panas nih, Ma…males
buanget.
“Trus kalau nanti aku nggak dijemput bapak, aku jalan lima kilo. Jalannya juga
naik-turun. “ Tangan Pipit meliuk-liuk menggambarkan betapa menakjubkan
medan yang dia lewati.
Hah!? Gila?! Nih orang nggak ngajak bercanda kan ? Nggak lucu tau
nggak sih.
Pikiranku melayang lagi. Ngebayangin kalau aku pulang
sore gara-gara kegiatan rohis atau semacamnya aku lebih milih dianter, trus
nanti pulangnya naik bus. Dan dijemput ditempat busnya nge-tem karena aku males
jalan. Padahal nggak jauh-jauh amat kok. Setengah kilo paling kurang. Itu pun
jalannya lurus, mulus, dan nggak panas-panas amat. Tapi aku milih maksa mama
atau papa yang repot abis buat jemput aku. Yah, emang sih mereka nggak
keberatan. Tapi kan ...
Pandanganku teralih lagi pada tas segede karung yang jadi
bawaan wajib makhluk SMA ini. Aku nggak bisa ngebayangin kalau musti jalan lima kilo sambil gendong
tas obesitas gini. Nggak banget.
“Trus kalau sampai dirumah ngapain? Tidur?” tanyaku
penasaran begitu aku ingat hobi satuku ini. Tidur siang berjam-jam.
“Ya enggak sih. Aku malah nggak pernah tidur siang....”
What?! Jalan lima
kilo trus nggak tidur?! Aku sama Oni melongo. Sumpeh ya… kaki nih orang pasti
terbuat dari lumatan besi plus stainless stell dilumerin tembaga, diamplas pake
alumunium. Kuat banget!!
Pipit memainkan ujung bolpointnya. “Ya paling makan
bentar sambil istirahat. Habis itu ya
bersih-bersih, nyuci, sama jerang air. Trus mandi, ngajar TPA. Nanti malamnya
ngelesin tetanggaku yang baru kelas SD.Baru belajar. Paling nyampe jam sembilan
doang. Trus tidur.”
GLEK! Aku jadi menejer dadakan yang mencatat semua
omongan pipit barusan. Wow! Sampai segitunya. Dan itu dilakukan tiap hari?!
“Emang sampai rumah jam berapa?”
“Jam tiga. Kalau nggak ya jam empat kurang kalau musti
jalan lima kilo
itu.”
My Head! Astaganaga. Aku sampe rumah jam dua kurang. Trus
tidur sampe jam tiga. Kadang juga sampe
jam empat. Mandi, sholat, trus langsung duduk
manis nonton drama korea
sampai jam lima . Abis itu mijitin HP atau baca novel
sampai maghrib. Tidur jam sebelas malam. Bukan gara-gara belajar lho. Tapi
nonton film.
Aku cuma bisa terdiam ngebayangin hari-hari yang
dijalanin Pipit. Ngebandingin betapa aku
selama ini jenius banget kalau soal buang-buang waktu. Mandi berjam-jam cuma
buat luluran atau sekedar konser di kamar mandi. Natap cermin berjam-jam.
Padahal kalau dipikir-pikir tampangku juga nggak ada yang berubah. Nggak
mungkin banget kalau mendadak aku berubah kayak Koo Ah Ra. Pangling dong
ortuku. Tahi lalat juga masih ada di hidung. Nggak cantik tapi nggak sudi juga sih kalau
dibilang jelek.
Kalau dipikir lebih dalam, seharusnya aku punya waktu
lebih banyak. Nggak cuma tidur mlulu. Seharusnya juga bisa ngehasilin sesuatu
lebih dengan jari-jari panjangku. Toh, mama selalu bilang kalau aku punya banyak
hobi yang malas aku tekunin. Kayak jahit, nulis, masak sama nglukis. Ketimbang
tidur kan
lebih ada manfaatnya. Tapi aku....
***
Aku menatap malas gunungan buku MIPA yang ada di mejaku.
Illahi!! Aku salah milih jurusan nggak sih. Ternyata jadi anak IPA itu lumayan
menyiksa juga ya.
Aku menguap kesepuluh kalinya. Aku sudah mengucek mataku
berkali-kali dan nyuruh Oni nyubitin ujung jariku supaya ngantukku ilang. Ini sih gara-gara
malamnya aku bela-belain nonton Silent Death sampai larut. Bisa dilihat hasilnya
pagi ini kan .
“Tolong dong, Ni, dicubit. Ngantuk gila neh!” seruku
sambil menahan diri untuk tidak menguap. Malu tau.
Eh, bukannya dicubit malah dielus-elus. Sialan nih
anak…!! Ini sih namanya meninabobokanku. Oni emang paling nggak bisa nyakitin
orang. Sekalipun orang itu sendiri yang minta. Contohnya ya barisan tadi. Aku
sampai heran lho sama dia. Kok ada sih orang seajaib dab sebaik hati dia.
Ckckck.
Aku melirik bangku belakangku tempat Pipit duduk. Dari
tampangnya sih ketara banget kalau dia sudah nyaris merem.
“Ngantuk ya, Pit?”
“He’eh. Kemarin jalan lima kilo lagi. Malamnya musti bantuin Mbakku
buat tugas sekolah.” Pipit menyandarkan kepalanya di dinding. Mencoba menahan
kantuk yang aku yakin makin menjadi. Secara aja, gurunya tuh nerangin kayak
orang dongeng sih. Gimana nggak ileran semua coba. Jam terakhir pula. Klop
banget kan ?
Nah lho! Beda banget kan alasan ngantuknya sama aku. Aku sih
boro-boro bantuin mama ngerjain tugas kuliah pasca sarjananya. Tahu aja ogah.
***
“Papamu jadi arsitek ya?”
Aku menggeleng sambil tertawa. Sejak temen-temen mulai
akrab dan tahu kalau aku hobi gambar selalu itu aja yang ditanyain.
“Nggak kok. Papa usaha furniture. Emang kenapa sih?”
“Nggak pa-pa sih. Kok kamu itu bagus banget kalau
gambar.”
Aku tersenyum malu. Sebenernya kalau mau jujur gambarku
nggak bagus-bagus amat kok. Sepupuku aja sering bilang kalau gambaranku kayak
anak TK. “Ngomong-ngomong, Bapakmu apa?” Aku sengaja nyebut ‘Bapak’ karena
memang gitulah Pipit memanggil ayahnya. Sebenernya aku tahu kalau itu pertanyaan
paling nggak sopan yang pernah aku ajuin. Tapi mau gimana lagi. Keburu
penasaran nih. Siapa tahu Bapaknya Pipit tuh juragan sapi. Ntar kan bisa
sering-sering main ke rumahnya sambil belajar nunggangin sapi. Hahaha…
“Bapakku pedagang sayur. Sayur keliling gitu,” sahutnya
jujur, tenang, tanpa sungkan.
Tanganku langsung berhenti menari diatas karton. Aku
tercenung lama. Entah kenapa jantungku seperti membentur sesuatu. Mataku
mengerjap cepat menatap Pipit. Mencari tampang bercanda dia. Tapi yang
kutemukan senyum penuh makna dan kejujuran.
“Ibu?”
“Di PKK. Yah kayak jualan kue dirumah gitu.”
Kepalaku mengangguk otomatis. Aku buru-buru mengalihkan
pandanganku begitu senyum Pipit terkembang tanpa beban.
Aku selalu mengira kalau semua anak SMA ini adalah
anak-anak pejabat atau juragan. Yah minimal PNS lah. Aku akui kalau bulanan di
SMA ini lumayan mahal. Maklumlah SMA favorit. Dan anak-anak orang kayak yang
aku sebutin barusan yang bisa sekolah
disini. Meskipun nggak menutup kemingkinan anak lain sekolah disini. Tapi
mengingat pengeluaran perbulan yang saringan sama UMR di kotaku, pasti itu berat buat Pipit.
“Ya Allah, Pit. Aku kagum sama kamu,” cetusku spontan.
Dan hanya dibalas senyum terkembang dari Pipit.
“Hah!? Kok bisa?” tanya Pipit bingung.
Aku menatap Pipit lebih lama. Cantik, manis, agamis, murah
senyum, dan yang pasti aja jenius. Dia juga pantang menyerah. Melakukan apa pun
yang bisa dia lakukan sampai akhir. Aku jarang banget lho denger keluhan keluar
dari bibir mungilnya. Beda sama aku. Ulangan susah dikit aja langsung ribut.
Aku bisa ngebayangin hari-hari yang selalu dijalanin
Pipit. Mungkin bagiku itu monoton, tapi bagi Pipit itu sudah jadi bagian
hidupnya. Satu-satunya yang dia keluhkan adalah ngeliat Bapaknya yang banting
tulang tiap hari cuma buat sekolah dia. Apalagi dia kan anak ketiga dari empat bersaudara. Nggak
gampangkan ngehidupin empat anak yang semuanya sekolah.
Aku nyaris
nangis dengernya. Ingat mama dan papa yang sering denger aku ngeluh kalau uang
jajanku kurang. Juga sering minta yang aneh-aneh sama mama. Hiks...hiks.... aku
baru nyadar kalau aku ini anak yang nyusahin buat mama sama papa.
***
“Hidup ini harus punya mimpi. Karena
mimpi yang akan memberi kehidupan. Jadi tulis mimpimu biar nggak lupa dan
biarkan mimpi-mimpimu itu yang menuntunmu. ”
Coba tebak siapa yang bilang kayak
gitu? Aku dong. Tentu aja setelah nyontek dari salah satu buku motivasi.
Sengaja aku kutip karena isinya bagus banget.
Aku suka banget ngeliat tampang
Pipit yang berkedut serius tiap kali aku ngomong. Padahal aku tuh termasuk
orang yang omongannya ngaco atau bisanya bercanda doang. Jarang banget bisa
diajak serius. Hehehe…
Aku jadi inget waktu dia nanyain
hari ulang tahunku. Aku jawab ngasal dengan nada datar.
“30 Februari. Kenapa? Mau ngado ya?”
Aku nggak tau apa aku punya tampang ngeyakinin banget waktu itu tapi yang jelas
Pipit langsung ber-o panjang sambil mencatat hari ultahku itu di notesnya.
Gila! Nih anak kepolosan amat. Tentu
saja aku nahan geli nggak karuan. Baru beberapa bulan kemudian dia
ngamuk-ngamuk di depanku saat tahu kalau aku membohonginya soal hari ultah itu.
Kalau bukan karena penulisan biodata siswa dia pasti akan mengingat ultahku di
hari yang nggak bakalan ada itu.
“Ami, 30 Februari itu nggak ada?!”
Aku ngakak. “Siapa suruh kamu
percaya.”
“Lho…dulu kamu serius banget sih
bilangnya.”
Aku menatap Pipit yang mulai menulis
mimpinya. Aku bisa menebak apa yang dia tulis.
“Mimpimu apa, Mi?” tanyanya padaku
setelah menunjukkan 100 mimpi yang ditulisnya di notes mungil. Tuh bener kan.
Hampir 60% mimpi yang dia tulis tuh buat ortunya.
Aku menatapnya sekilas sambil
sesekali melirik lagi ke buku notenya yang masih sibuk kubolak-balik. “Membuat
sahabat-sahabat aku seperti kamu tuh bahagia,” sahutku sekenanya.
Pipit hanya tertawa geli. “Pasti
bercanda lagi kan?”
Aku menggeleng. “Kayaknya nggak
deh.”
***
Pipit masih tersenyum pagi ini. Sama seperti hari-hari
sebelumnya. Aku membalasnya lebih lebar. Senyumnya itu lho yang mungkin bisa
membuatku bertahan dan betah di kelasku
yang masih saja membosankan ini (sebenernya kalau mau jujur udah nggak
ngebosenin banget ding. Cuma kurang heboh aja.). Membuatku nggak banyak
mengeluh soal kekurangan dan kelebihan dari kelas yang memang luar biasa di
beberapa bagian.
Aku tahu sekarang apa yang dinamakan kesempatan,
ketulusan dan penghargaan. Pipit sudah nunjukin sama aku kalau aku punya waktu
lebih banyak di rumah ketimbang cuma buat tidur dan nonton TV. Aku punya
fasilitas yang cukup kalau cuma untuk memenuhi standar hidup (standar hidup
pelajar maksudnya). Mulai dari komputer buat ngerjain tugas, HP buat
komunikasi, sampai bejibun buku buat referensi. Termasuk uang SPP dan uang saku
yang nggak pernah telat dari mama dan papa. Plus tip-tip dari Mama kalau beliaunya
lagi nggak pelit. Hihihi….
Aku nggak perlu ngeyel
dibeliin laptop mini yang bisa dilipat plus layar sentuh , toh alhamdulillah
aku masih ada komputer yang punya
kapasitas (lumayan) cepet. Aku nggak perlu minta tambahan saku karena aku akan
mencoba mengerem ngemil dan jajan. Pipit sudah mengajariku untuk mensyukuri
segala yang diberi-Nya dan berhenti ngeluh. Berhenti mendongak dan berharap
keajaiban.
Dia adalah makhluk paling tulus yang pernah aku kenal.
Dia nggak pernah menyembunyikan perasaan yang akan menyakiti hatinya. Kalau dia
emang nggak suka ya bilang nggak suka. Nggak pernah munafik sama temen, apalagi
sampai menjelekkan temen-temennya dibelakang. Itu hal yang paling aku sukai
dari Pipit dan kesederhanaannya.
Aku kadang berjanji pada diriku sendiri kalau aku bisa
aku akan membantunya semampuku. Aku nggak mungkin ngebiarin dia disakiti sama
temen lain apalagi sama semua problem yang kayaknya banyak banget di depannya.
Tapi mana ada sih orang yang mau nyakitin anak sebaik dia. Impossible banget
deh. Tapi kalaupun ada aku akan buat dia membayar apa yang diperbuatnya
(idih...lagaknya).
Kau tahu....saat aku kehilangan semangatku, aku selalu
memandangi Pipit lama dan memastikan senyumnya masih ada. Aku memaksanya
menuliskan SEMANGAT! CHAYO! di bukuku.
Dan kalau aku benar-benar drop aku akan memandangi tulisan itu dan tersenyum.
Secara nggak langsung Pipit udah ngasih tahu kalau ada yang lebih beruntung
daripada orang lain.
***
Kutulis ini untuk sahabatku Pipit yang selalu ngingetin
aku tentang artinya syukur. Sahabatku yang tak akan kalah oleh keadaan meskipun
keterbatasan membelenggunya. Sahabatku yang selalu polos dan menerima kompleksitas
hidup ini dengan kesederhanaannya. Sejuta sayang untuk anak-anak Science 2 yang
nggak pernah berhenti ngasih semangat dan selalu menginspirasi. Luph u all….
Karanganyar,
11 Agustus 2011
0 komentar:
Posting Komentar