About

If I wind....I can bring every single laugh and tears in the same way
Should I tell you like the same way when I was crying or laughing at that time?

Let's be a friend!!!

Cari Blog Ini

Karena Allah Lebih Menyangimu


            

Agung Prahendika. Itu nama kakak laki-lakiku semata wayang. Satu-satunya saudara sekandung yang aku punya. Tidak ada yang istimewa memang. Dia cowok alim dengan tampang standar khas cowok Indonesia. Kalau dilihat dari segi fisik dia memang bakal langsung didiskualifikasi kalau ikut ajang pemilihan putra-putri daerah. Belum daftar aja pasti langsung ditolak. Hahaha.  Tapi dilihat dari sisi lain, dia salah satu orang yang aku anggap  cowok keren lho.  
            Mas Agung adalah sosok dewasa, maklum sih anak pertama , sabar , penyayang dan agamis banget. Aku belum pernah tau ada cowok yang jarang banget absen sholat tahajud seperti Mas Agung, hafalan Qur’an bejibun dan yang pasti punya otak lumayan cemerlang.
            Dari kecil aku memang lebih deket dengan Mas Agung ketimbang kedua ortuku. Iya sih, mereka sibuk kerja. Otomatis juga sampai aku sebongsor ini aku lebih suka bermanja-manja ria sama kakakku itu. Toh Mas Agung juga nggak keberatan aku pasang gaya alay atau merajuk di depan dia. Dia juga orang yang mensupportku habis-habisan ketika aku memutuskan untuk memakai jilbab yang lumayan lebar. Waktu Mas Agung kuliah di Jogja, tiap akhir pekan dia selalu sempetin pulang buat nengokin aku yang waktu itu masih SMA.
            Sampai akhirnya, saat aku duduk di kelas XII SMA, Mas Agung mengatakan keinginannya untuk menikah dengan kawan sekampusnya. Busyet dah…melongo gila aku. Dia bahkan belum lulus skripsi lho. Bukan itu sih alasan sebenarnya kenapa aku langsung merengut waktu Mas Agung mengatakan hal itu padaku . Aku nggak bisa mendiskripsikan peraaanku waktu itu. Antara seneng, sedih, penasaran, sebel…ah aku juga nggak tau apa. Waktu itu aku takut anget kalau Mas Agung bakalan nglupain aku kalau sudah punya istri.
            Aku masih inget gimana Mas Agung ngakak waktu aku dengan jujurnya ngeluhin hal itu. Dia mengacak rambutku sayang sambil menahan tawa. “Ya ampun dek…sampai segitunya kamu. Denger ya, sekalipun nanti Mas punya istri, punya anak, sayang Mas sama adek itu nggak bakalan berkurang.”  Cless dah rasanya!
            Hari yang dijanjikan itu pun tiba, hari lamaran maksudku. Mas Agung diantar 2 kawan baiknya yang kebetulan sudah aku kenal ( kenal nama doang ding), Mas Rian dan Mas Anggit, untuk lamaran di Semarang, tempat calon kakak iparku itu berada.
            Sepertinya Tuhan sedang berusaha memainkan takdir Mas Agung waktu itu. Mobil yang membawa rombongan pelamar itu kecelakaan. Mobil yang ditumpangi Mas Agung dan kawan-kawannya ringsek ditubruk bus pariwisata. Aku yang waktu itu sedang uji coba UAN langsung pingsan mendengar tangis Mama yang menelfonku pelan-pelan. Papa dan Mama selamat, mereka ada di mobil satunya yang selamat dari tabrakan maut itu. Tapi tidak dengan Mas Agung. Dia meninggal sejam setelah sampai di rumah sakit. Iya! Dia meninggal. Tanpa ada tanda apa-apa, tanpa bilang apa-apa dia pergi begitu saja.
            Aku menangis tak percaya. Bahkan sebulan setelah Mas Agung pergi pun aku masih tak percaya kalau Mas Agung sudah nggak akan nemuin aku lagi. Aku masih menganggapnya sibuk mengurusi kuliah dan skripsinya di Jogja. Aku  bahkan masih sesekali mengirim SMS padanya, walaupun pada akhirnya aku sadar kalau SMS itu tidak akan pernah ada lagi balasannya.
            Sejak Mas Agung meninggal juga, aku yang semula cewek cerewet dan aktif jadi sedikit pendiam. Entah…aku hanya merasa kalau sekarang sudah tidak akan ada orang yang bakal ngelindungi aku sama seperti yang Mas Agung lakukan. Aku jadi sedikit penakut dan introvert. Entah…aku sendiri juga nggak tahu kenapa.
Sampai sutau hari di ospek pertama kampus….
“Dek, kamu bener namanya ‘Mila’ dari Solo?” Waktu itu aku mengernyit bingung menatap dua sosok yang asing bagiku. Kalau dari kostum sih kayaknya mereka kakak tingkatku deh.
 “Kenal Agung Prahendika nggak?” Aku ternganga ketika sadar siapa dua orang didepanku. Bahkan ketika mereka menceritakan cuplikan lama kisah kakakku itu, aku langsung yakin siapa sebenernya mereka.
“Ya Allah, jadi kamu adeknya Agung? Alhamdulillah bisa ketemu juga. Waktu kami di ruang ICU saat itu, kakakmu sempat berbisik pada kami sebelum meninggal. Dia meminta kami untuk  menjagamu kalau-kalau kamu jadi masuk kesini. Wah, nggak nyangka bisa ketemu secepat ini…”
            Aku mematung.  Mas Agung? Bilang kayak gitu? Mataku sudah siap mengebah lagi. Bahkan ketika dia sudah meninggal pun dia masih mencoba melindungiku kan? Dan sekarang aku sudah mulai terbiasa dengan ketidakberadaan Mas Agung. Bukan melupakannya, cuma menggantikan sosoknya dengan sosok lain. Kak Rian dan Kak Adit yang sesekali memberi SMS penyemangat tiap aku mau ujian dan tak lupa juga  mantan calon kakak iparku yang justru sekarang jadi kakak kosku.
Mas Agung, aku akan baik-baik saja. Tanpa kamu pun aku akan baik-baik saja. Karena aku tahu sekarang, Allah sangat menyangi orang baik sepertimu. Itulah kenapa dia memanggilmu duluan.



Penyakit Bete!!!!!!

Ouwah!!! Apa lagi judul penyakit kali ini. Mentang-mentang anak kesehatan, yang dibahas hal aneh gini neh...Hahaha. Gak juga sih sebenernya. Ini nama penyakit yang penemunya adalah aku.. #LOL

Jadi gini nih ceritanya, aku mau sedikit curhat setelah penat dengan tugas, laporan, praktikum, proposal, LPJ,  desain...(gilak...kerjaanku kayak gerbong kereta Surabaya - Jakarta). Penyakit bete ini artikan saja ketika kamu-kamu udah bete tingkat akut dan tidak bisa ditolong dengan obat apapun. Halah!! :D

Jujur nih ya....penyakit ini langganan menghampiriku sejak aku masuk SMP, ketika udah sebel tuh sama tumpukan kerjakan yang barusan aku sebutin diatas, udah dipastikan kalau nih penyakit bakalan nangkring di seluruh tubuhku. Hehehe....

Siapa sih yang nggak depresi juga ngeliat kerjaan tuh nggak pernah kelar walaupun udah dikerjain mati-matian sampe dibela-belain nggak tidur. Kan sebel juga. Nah klo udah gitu tuh aku bakalan  bolos sekolah, bolos rapat, atau bolos apapun dari kegiatan yang semestinya aku lakuin cuma buat tidur. Aku nggak bakalan peduli kalau tugasku udah teriak-teriak minta dikerjain, atau ketika temen-temenku pada nelfonin aku karena khawatir (hiks...mereka perhatian bangetttttt). Pokoknya aku bakalan makan makanan yang paling aku suka sebanyak-banyaknya, abis itu tidur seharian, bangun cuma buat sholat abis itu lanjut tidur. Udah kayak beruang hibernasi aja....

Dulu waktu SMP sama SMA seriiiiing banget aku kayak gitu. Bolos cuma gara-gara bete abiss...dan dirumah cuma tidur seharian. Nggak tau juga sih, kalau abis kayak gitu, besoknya pasti jadi semangat lagi. Kayak abis dicharger gitu. Wuhehehe....

Aku pikir, ketika aku kuliah ini, penyakit aneh itu gak bakalan ngehinggapi aku lagi. Mengingat betapa padetnya jadwal di kampus. Tapi....halah...itu cuma omdo kalau aku bilang, aku tetep semangat saban hari. Dan hari ini, hari pertama sebagai mahasiswa dimana aku kembali dibelenggu kebetean luar biasa dan berujung pada BOLOS. Hahaha....Aku nggak peduli kalau dua mata kuliah hari ini adalah mata kuliah jos yang bikin kelapa...eh...kepala cenut-cenut mempelajarinya. Aku juga nggak peduli kalau dari siang kawan-kawanku udah nelfonin nggak karuan saking khawatirnya. Bilangnya mereka khawatir, saking banyaknya amanah yang musti aku selesain sampai aku kolaps beneran. Iya sih sebenernya ini juga udah capeeeek banget. :D Maaf ya kawan...beneran nggak maksud membuat kaliah khawatir dah...hehehe. 

Wah untung aja semester ini aku nggak nargetin buat ngisi absen 100% penuh. Wuhehe...penasaran juga gimana rasanya bolos...hahahah.


Cinderella Complex


Arin mendengus kesal. Ditatapnya cewek berambut lurus panjang di depannya. Cewek pindahan dari luar kota yang cantiknya luar biasa (mayoritas bilang gituch sih). Namanya aja sudah bisa deskripsiinkalau dia itu bener-bener cantik kudrat. Jelita.
Hari pertama datang aja  udah bikin heboh. Terutama bagi makhluk berinisial male. Pada salting semua. Tapi yang jelas saja, ngebikin makhluk cewek di SMA yang nggak terlalu favorit itu nangis darah. Jelaslah, yang namanya cewek itu nggak bakal rela kalau ada yang lebih cantik dari dia. Tul nggak?
“Arin, aku pinjem PR-nya, dong!”pinta Jelita memelas.
Arin manyun. Ditatapnya lagi Jelita dengan lebih teliti. Kulit putih ‘cling’. Pipi mulus bersih dari jerawat. Bahkan komedo sekecil debu aja nggak ada yang berani nempel di hidung mancungnya. Arin kembali mendesah. Kapan ya hidungnya bisa meroket ke atas dikit? Nggak malah melesek ke dalam terus.  Atau, kapan ya rambutnya yang penuh cabang itu bisa halus kayak rambutnya Jelita? Sekalipun Arin pakai jilbab doi pingin dong punya rambut lurus bin halus kayak jelita.
“Makasih ya, Rin,” celutuk Jelita membuyarkan lamunan Arin. Jelita tersenyum lebar. Menunjukkan deretan giginya yang rapi bin putiiiiih. Duh, bikin Arin tambah ngiri deh.
JJJ

Arin menatap layar televisi di rumahnya malas. Dia jadi penasaran. Kenapa sih artis di televisi itu semuanya berwajah putih dengan muka sehalus sutera dan se-kinclong mutiara (ah...hiperbol nih)? Memangnya kulit item itu jelek banget apa? Arin menatap kulitnya yang sawo kematangan. Memang sih dari kelima saudaranya (maklum, keluarga besar) dia yang paling bright. Tapi kan....
“Rin dicari tuh,”kata Bang Zaki- abang sulungnya- tergagap. Arin mengernyit heran. Hah!? Siapa? Malem-malem gini? Ih...jangan-jangan peri baik hati yang mau nolongin Arin lagi. Pikiran kekanakannya muncul. Jangan-jangan karena dia udah ngasih contekan jawaban ke temen-temennya dia mau dikasih imbalan sama makhluk khayalan  itu(mohon jangan ditiru). Tiga buah permintaan langsung muncul di benak Arin. Jadi cantik, lebih cantik dan paling cantik.
Senyum Arin langsung menguap begitu tahu siapa yang datang. Jelita, sebuah motor Ninja, dan seorang cowok yang (bagi Arin) charming banget. Arin menatap cowok itu terpesona. Astagfirullah! Dia buru-buru mengalihkan pandangannya pada Jelita. Ah, beruntung banget jadi cewek kayak Jelita. Udah cantik cowoknya keren lagi.
Jelita masih tersenyum lebar seperti biasa. “Arin, maaf ya aku ganggu kamu malam-malam gini. Aku mau ngebalikin buku PR kimia kamu. Besok ada tugas kan? Tapi aku besok jadi peminjam bukumu yang pertama ya. Ini aku balikin supaya kamu bisa ngerjain tugasnya,” cerocos Jelita tanpa jeda. Arin melotot. Wihh...enak amat. Memangnya aku babumu apa.
Jelita ini memang cantik. Tapi doi nggak punya kerjaan lain selain double TP-tebar pesona, tebar perhatian-ke makhluk adam seantero SMA. Bukannya suuzhon lho, tapi kenyataan. Dia sendiri juga bilang gitu kok. Ngerjain PR aja nggak sempet. Sibuk ngadain show ke seluruh pojok sekolah katanya. 
“Kok nggak ngerjain sendiri sih, PR-nya kan gampang.” Arin sedikit mengurut dadanya pelan. Beneran deh, dia sedang meredam hatinya melihat tingkah Jelita yang mirip Miss dunia kesasar. Sok kecakepan banget sih nih cewek. Batin Arin kesal.
“Aku tuh nggak punya waktu buat begituan. Males,” sahut Jelita seperti biasa sambil memainkan ujung rambut rambutnya yang baru saja dikeriting spiral.
Arin menelan ludah sebel. Cantik sih cantik tapi nyebelinnya itu lho. Nggak tahaaan!
JJJ
Arin tersenyum kecut menatap pantulan dirinya dicermin.  Dia memonyongkan bibirnya kesal. Ugh...kapan ya dia berhenti meratapi ‘ke-ti-dak-sem-pur-na-an’ mukanya. Arin mulai berhalusinasi (entah, setiap menatap cermin dia pasti langsung berkhayal). Seandainya saja dia bisa lebih putih, ya nggak harus kayak Kate Winslet  lah, tapi seputih kain kafan juga nggak pa-pa (lho?), pasti dia nggak akan kena mirror sindrome kayak gini.
Saking ngefansnya sama cerita princess Arin selalu bermimpi hidup seperti Cinderella. Hidup menderita dulu. Tapi kan Cinderella cantik. Selalu disiksa ibu dan saudara tirinya. Tapi kan Cinderella cantik. Kemudian bertemu pangeran super ganteng. Karena Cinderella cantik. Meninggalkan selop kaca di tangga. Pangeran mencarinya kemudian menemukannya dan terpesona padanya. And happy ending ever after.  
Arin mendesah kesal. Dia memang nggak punya saudara dan ibu tiri. Dia juga merasa nggak hidup menderita. Kecuali dia sendiri yang membuat penderitaannya. Misalnya tentang ritual wajibnya setiap pagi. Yaitu berdiri mematung di depan cermin sambil terus meratapi wajahnya. Satu hal yang masih bisa dia syukuri. Dia paling cantik diantara keluarganya. Ya jelas sajalah. Abang-abangnya kan cowok semua. Ibu? Kan sudah tua.
“Arin bisa nggak sih kamu nyingkirin cermin itu?! Bantu Ibu’ di dapur gih!”sentakan Ibu meraung-raung membuyarkan lamunan Arin yang keblabasan.
“Ya, Bu...,” sahut Arin ogah-ogahan. Dia kembali menatap di cermin. Berharap kalau mukanya ini nggak sebelas-duabelas sama arang. Huff....
Sebenernya Arin nggak jelek-jelek amat kok. Pipinya aja nggak ada jerawatnya. Palingan juga bintik-bintik hitam di sana-sini yang sering dibilang Arin kalau itu tahi lalat. Emang sih antara kulit tangan sama muka Arin warnanya kontras banget. Secara aja tangannya kan ketutup sama baju panjang terus. Arin tuh cuma pingin mukanya halus, lembut, kinclong, putih kalau bisa, nggak ada jerawatnya, berseri-seri dan paling penting keliatan cantik.
JJJ

Esoknya, Arin bertekad akan berubah. Bukannya berubah jadi Power Ranger seperti di film favorit adiknya. Tapi berubah lebih perhatian sama muka and kulitnya. Hari ini, Arin sudah bela-belain nguras tabungannya buat beli kosmetik. Mulai dari pemutih, penyegar, milk cleanser, lip gloss, dan lain-lain. Dan sebagainya. Yang jelas, menurut perkiraan Arin bisa ngebuat dia lebih cantik.
Malamnya, sebelum Arin tidur dia memakai masker yang menurut iklannya bisa membuat wajah merona bersinar. Dalam khayalannya saja, dia sudah punya kulit putih mulus. Tapi...yah namanya cewek, pasti mau dong kalau kulitnya jadi seputih kapas. Kalau yang ini namanya pucet. Ya nggak?
“ALAMAKKKK...!Arin ....lo apain muka lo?” Bang Zaki syok melihat perubahan muka Arin.
“Kanapa Bang? Tambah cantik ya?” sorak Arin antusias. Dia nyangka kalau dalam waktu semalam kulitnya jadi super putih.
“Cantik gundulmu...! sini...! belum ngaca ya,” Bang Zaki menyeret Arin ke kamar mandi. “Liat tuh! Kamu apain sih mukamu?”
Arin melotot menatap cermin. Dia benar-benar terpesona .....ehemmm.... mak- sudnya syok berat melihat pantulannya sendiri.
“YA Allah...! Bang...kok muncul jerawatnya sih. Bruntusan gini. AHHHHHHH....!” Arin histeris.
“Makanya...kamu apain sih?” Arin menatap Bang Zaki. Mukanya benar-benar memelas. Nyaris menangis malah.  Niatnya mau cantik malah ancur kayak gini
“Ya...udah bilang sama ibu. Suruh ngobatin.”
Huaaaa....! sebel....bener-bener pingin nangis. Huaaaa....! Arin meratapi mukanya yang sekarang jadi parah.

JJJ

Sejak pagi Arin sudah menekuk mukanya. Mukanya yang kusut jadi tambah ancur-ancuran. Sebenarnya dia malu banget berangkat sekolah dengan muka kemerahan kayak gini. Masih diingatnya reaksi ibunya saat melihat transmukanya. Ngomel-ngomel nggak karuan. Bilang kalau Arin itu nggak bersyukur.
Arin mengelus pipinya pelan. Ini sih udah mendingan daripada sesaat setelah dipergoki Bang Zaki tadi pagi. Entah dikasih apa sama ibunya tadi, yang jelas udah nggak sakit dan nggak merah-merah banget.
“Rin, boleh nggak gue curhat?” suara mendayu-dayunya Jelita menyeret Arin kembali ke alam sadarnya. Arin cuma melirik Jelita sekilas. Tapi  begitu melihat muka hampir nangisnya Jelita, mau-nggak mau akhirnya Arin menoleh pada Jelita.
“Mau curhat apa sih?”
Jelita menoleh ke arah Arin. Dia berjengit kaget. “LO APAIN MUKA LO?” Teriak Jelita kaget. Arin serasa ingin menimpuk mulut cewek itu dan meninggalkannya pergi. Melihat gelagat yang jelek, Jelita menutup mulutnya. “Upss...sorry.”
“Gue juga jerawatan nih,” Jelita menunjukkan tiga gunung kecil di pipinya. Arin nyaris ngakak melihatnya. Weleh...ternyata dia juga bisa jerawatan toh.
“Gue stress mikirin cowok gue.”
Arin mengernyit pelan. Cowok? Jangan-jangan yang dulu mboncengin Jelita malam-malam itu. What happen with him? Jangan-jangan dia selingkuh. Arin mendesah pelan. Ya Allah ngapain juga aku mikirin cowoknya Lita. Salah alamat nih orang kalau mau curhat cowok ke  aku.  
“Dia selalu bilang ke gue kalau dia mau putus sama gue.”
Tuh kan! Berarti bener kalau cowok itu selingkuh. Kena kutuk apa cowok itu? Atau jangan-jangan dia kena pelet cewek lain. Tanpa sadar Arin mengelus-elus jerawatnya lagi. Dia bersumpah dalam hati bakal ngebakar masker yang udah ngebuat wajahnya jadi kayak gini.
Jelita mulai nangis. Arin buru-buru menenangkannya. “Dia selalu bilang kalau dia nggak pantas buat aku. Padahal aku udah bilang ke dia kalau aku bener-bener sayang sama dia. aku nggak bisa hidup tanpa dia (lebay abizz). Tapi dia nggak peduli. Dia bilang kalau aku bisa ngedapetin cowok yang lebih dari dia,” ujar Jelita panjang lebar sambil terguguk.
Arin mendesah. Dia cuma mengelus pundak Jelita mencoba memberi simpati. Ternyata orang yang lagi jatuh cinta itu lebay banget ya. Masa’ sampai bilang nggak bisa hidup tanda si dia. Mana sampai bisa ngebuat jerawat sukses tumbuh di pipinya Jelita lagi.
“Udah, Lit. Sekarang saatnya belajar bukan mikirin cinta-cinta melulu,” sahut Arin garing. Pasalnya dia ini bener-bener nggak ngerti soal begituan.
“Makasih udah ndengerin curhat gue ya,” ujar Jelita tulus. Arin mengangguk santai.
“Oh ya, kamu pasti salah kosmetik ya, Rin. Sampai jerawatmu besar-besar kayak gitu. Banyak lagi,” tambahnya enteng. Arin serasa ingin melumat cewek ini ke dalam perutnya. Simpatinya tadi menguap entah kemana.
Jelita...awas lo!!!!
JJJ

Arin melongo melihat cowok yang diapit  Jelita mesra. Masya Allah, Lita. Nih orang bener-bener perlu diingetin deh. Dia sedang jalan-jalan di mall setelah ikut kajian rutin, yah sekedar mampir,  ketika memergoki Jelita sedang menggandeng cowok. Arin melongo melihat cowok yang digandeng Jelita. Bukan karena terpesona tapi karena syok berat. Cowok ini... 1800 bedanya dari cowok yang dulu pernah nganterin Lita ke rumahnya. Awalnya Arin ngira kalau itu supirnya Jelita. Tapi masak Jelita nempel terus di samping supirnya. Kalau bukan cowoknya siapa lagi coba? Husnozhon deh? Kakaknya mungkin.  Perasaan dia dan Bang Zaki aja nggak pernah kayak gitu. Atau jangan-jangan cowok yang dulu itu luluran pake arang sampai berubah jadi kayak gini.
“Arin...kebetulan banget. Kenalin nih, ini cowokku. Yang aku ceritain ke kamu tempo hari,” kata Jelita sumringah.
Arin membatu. Illahi! Dia masih syok melihat cowok disamping Jelita. Ini bukan ceritanya Sarah and The Beast kan? Juga bukan ceritanya si Cantik dan si Buruk Rupa kan? Arin cuma geleng-geleng kepala setelah sadar dari lamunannya.
Arin menatap cowok di depannya kaku. ‘imut’ banget. Alias Item mutlak. Mungkin masih sedarah sama arang tuh. Udah gitu, jerawatnya banyak lagi. Kalau dijajarkan sama Jelita mirip banget sama tivi di rumah kakeknya. Item putih gitu. Tampangnya juga dibawah standar. Arin menelan ludah berkali-kali. Astagfirullah...kok ngehina gini sih.
“Dia baik banget lho, Rin. Dia udah nyelametin gue dari keterpurukan gue waktu SMP. Pokoknya dia ini is number one,”kata Jelita lagi. Penuh semangat dan kobaran api cinta. Hwehwew...
“Oh, gitu yah. Trus yang dulu nganterin kamu itu siapa?” desis Arin lemah.
Jelita mengernyit pelan. “Oh...itu? Itu supir gue. Dia sudah punya anak-istri. Tinggalnya juga di rumah gue. Cuma waktu itu mobilnya rusak aja. Jadi kepaksa pake motornya kakak gue,” terang Jelita panjang lebar dan tanpa diminta.
Arin tambah melongo. ALAMAKK.....!
JJJ

Arin memajang fotonya dan Jelita yang sengaja ia bingkai di dinding. Ternyata sesebel apa pun dia sama Jelita, cewek itu tetap memberinya pelajaran yang berharga.  Cantik atau tampan bukan sekedar fisik. Lebih pada hati yang menyiratkan kecantikan. Inner beauty gitu lah.
Jelita bisa jatuh hati sama cowok pas-pasan (mau bilang dibawah standar nggak tega sih) kayak gitu. Ternyata kecantikan atau ketampanan bukan standar untuk mendapatkan pasangan. Bukan standar untuk lebih dihargai orang lain dan dicintai orang lain. Juga bukan standar untuk masuk surga.
“Cantik itu bukan kemutlakan. Tapi relatif. Tidak berharga kecantikan tanpa keimanan. Tidak berharga kecantikan tanpa ketulusan. Karena cantik itu hati. Hati yang bersih akan berkapilaritas ke kulit dan menampakkan kecantikan yang sesungguhnya,” Arin mengakhiri tulisan di buku diarynya sambil tersenyum. Dia mengalihkan perhatiannya ke jajaran kosmetik yang terlanjur dia beli.
Sudah diputuskan! Dia tidak akan membuang barang-barang itu (sayang uangnya gitu lho). Dia akan tetap memulai misinya untuk lebih care sama kulitnya. Tapi juga dengan catatan dia nggak akan maksain kulitnya untuk berubah jadi putih dalam semalem. Menjaga dan merawat amanah Allah itu kan wajib. Hehehe....





Karanganyar, Minggu, 11 April 2010 di hangatnya matahari.
Look! I’m so beaty.
                                   


                                                

Powered By Blogger
 
Little Queen Wind Copyright © 2011 | Tema diseñado por: compartidisimo | Con la tecnología de: Blogger