Serpihan Doa untuk Gaza
Dinda menahan gemelutuk gerahamnya.
Ditatapnya tajam laki-laki yang berdiri dengan pandangan memohon di depannya.
Laki-laki yang tiga tahun lalu resmi menjadi pelengkap hidup Dinda.
Mata Dinda berkabut. Dia mencoba
meredam sesak yang meremas-remas paru-parunya. Jantungnya berdetak lambat. Dia
bisa merasakan kalau darahnya tersendat-sendat mengalir.
“Aku mohon, Din. Izikan aku pergi,”
pinta Rifqi untuk yang kesekian kalinya.
Dinda mengalihkan mukanya cepat.
Menyembunyikan tangis yang siap pecah.
“Aku sudah menginginkan hal ini
sejak lama, Din. Kamu tahu itu. Dan ini kesempatanku untuk pergi kesana.…”
Rifqi menggegam tangan istrinya erat.
“Tapi kenapa harus Gaza , Mas?!”
Dinda menundukkan kepalanya
dalam-dalam. Bodoh sekali dia menanyakan itu pada laki-laki di depannya ini.
Sudah pasti jawabannya itu. Tidak ada yang lain.
“Karena disanalah aku bisa
mewujudkan impianku. Pergi ke negeri para nabi dan menyaksikan sendiri kemulian
Masjidil Aqsa.” Rifqi mencoba tersenyum begitu Dinda mulai berani membalas
tatapannya.
“Bohong!”
Rifqi menahan nafasnya. “Aku…aku…”
“Itu negeri kancah perang kan , Mas. Negeri yang
dipenuhi sungai darah, sorak kepedihan, mayat, mesiu,” Dinda menggigit ujung
bibirnya. “Kenapa Mas harus pergi ke
tempat seperti itu? Kenapa?!”
Diam. Hanya kedipan mata Rifqi dan
Dinda yang saling beradu.
“Kenapa harus kesana, Mas? Tidak ada
hal lain kah yang bisa Mas lakukan tanpa
harus kesana?” tangis Dinda pecah.
“Mas mau bilang kalau Mas ini dokter
dan punya kewajiban menyelamatkan nyawa manusia begitu kan ?! Mas mau bilang kalau Mas ini
merindukan mati syahid di tempat itu kan ?!
Itu kan
impianmu, Mas?!” Suara Dinda melengking beradu dengan hujan Mei yang masih
deras.
Rifqi memeluk istrinya cepat. “Karena aku manusia,
Din. Aku tak akan sanggup melihat penderitaan mereka lebih dari ini. Aku akan
kesana apa pun resikonya. Karena dengan pergi kesana pun aku tidak akan bisa
meringankan derita mereka. Tapi setidaknya itu adalah bertanggungjawabanku pada
sesama saudara, Din.”
“Lalu bagaimana dengan aku dan Alma .”
Rifqi melepaskan pelukannya.
Ditatapnya mata bulat dan bening Dinda penuh makna. Bayangan tawa manis anak
pertamanya berkelebat cepat. Anak yang lahir belum setahun lalu. “Aku
menitipkanmu dan Alma
pada Allah. Dia lah sebaik-baik penjaga, Din.”
Dinda terdiam diantara tangisnya. Dia
memang tidak pernah bisa dan tidak akan pernah bisa meluluhkan kerasnya hati
Rifqi. Rifqi selalu punya sejuta alasan unutuk meyakinkannya. Yah...seperti
saat ini.
***
Dinda menatap butir-butir bening
yang mengalir turun di tepi jendela sambil menepuk pelan Alma yang tertidur dipangkuannya. Pikirannya
menerawang.
Tidak ada yang lebih membahagiakan
bagi Dinda saat tahu kalau Rifqi meminangnya. Seorang dokter termuda dengan IPK
terbaik di kampusnya. Laki-laki yang punya tampang oriental meskipun asli
keturunan Indonesia .
Rifqi yang pintar, charming, punya suara lembut. Rifqi
yang selalu menjadi pendokrak semangat alias orator saat mengadakan kampanye
menentang kebiadapan bangsa yang pernah dibantai Babilonia itu. Rifqi yang
punya semangat juang tinggi. Rifqi yang selalu melakukan sujud panjang dan
mendoakan saudara-saudaranya di Palestina. Rifqi yang begitu peduli pada
saudaranya. Rifqi yang…ah, membuat Dinda berpikir begitu sempurnanya laki-laki
yang dikirim Allah untuknya itu.
Laki-laki yang punya impian mati
syahid itu selalu punya energi ekstra untuk menggalang dana bagi Palestina
diantara kesibukannya yang bejibun sebagai dokter anestesi. Dia tidak pernah
absent berpartisipasi dalam acara social terutama untuk Gaza .
“Aku ingin pergi ke Palestina,
menyelamatkan orang-orang di sana
dan mengusir manusia tak punya perikemanusiaan itu.”
Dinda tersenyum mengingat kata-kata
Rifqi saat dia dan Rifqi menyelesaikan coas
mereka bersama-sama. Dia kadang hanya menganggap kata-kata suaminya itu angin
lalu. Bukan impian apalagi kenyataan. Tapi tidak untuk saat ini. Dinda tidak
pernah menyangka kalau tinggal 48 jam lagi sisa waktu sebelum mengantar Rifqi
ke bandara.
Dinda tidak pernah menyangka kalau
tangisan Rifqi saat melihat berita negeri itu adalah tangisan keputusasaan
karena tidak bisa membantu apa-apa selain doa kepada Gaza . Dia baru menyadari kenapa Rifqi jadi
alergi makan setelah membaca koran. Ya, karena laki-laki itu menahan perih yang
meyayat saat melihat bayi-bayi tanpa dosa terlahir bagai monster gara-gara
uranium.
Kenapa? Apa yang sebenarnya membuat
hati Rifqi seperti dikuliti setiap melihat, mendengar dan berbicara soal Gaza . Apa yang membuatnya
sampai berlinangan air mata seperti itu, Ya Rabb? Padahal apa yang Rifqi
dengar, lihat atau bicarakan juga sama apa yang dilihat, didengar dan
dibicarakan Dinda. Tapi Dinda hanya berkomentar pendek. ‘Semoga Allah melaknat
orang-orang tak beradap seperti mereka.’ Cuma itu tidak lebih dan tidak kurang.
Hanya mata sembab yang mewakili nurani perempuannya terketuk. Belum ada
linangan air mata yang membanjiri pipinya.
Jadi apa ya Allah? Apa? Apa yang
membuat Rifqi berhasil membuat anak Kapuas di
pipinya.
“Din, kamu tidak apa-apa?”
Dinda terlonjak kaget saat Rifqi
menyentuh pundaknya pelan. Dia tersenyum memebalas tatapan suaminya.
“Kamu tidak apa-apa?” ulang Rifqi
sedikit khawatir.
Dinda menggeleng cepat. Ditatapnya Rifqi lebih dalam.
“Kamu benar-benar ridho denganku kan , Din?”
Dinda mengagukkan kepalanya lemah.
Dia menahan tangisnya. Tidak boleh. Ini detik-detik terakhir dia bisa melihat
Rifqi di depannya. Dia tidak boleh membuat laki-laki itu muram gara-gara sifat
cengengnya.
“Din…?”
Dinda cepat-cepat mengangguk sebelum
kemantapan hatinya hilang. Dia tersenyum lebar. Ya Allah....“Ya, Mas. Insyaallah, aku ridha.”
Rifqi tersenyum tipis. “Tapi aku
tidak janji untuk bisa kembali ke sini. Aku tidak janji, Din.”
Dinda mempertahankan bibirnya agar
membentuk senyuman. “Mas, aku ridha, Mas. Apa pun yang Allah tentukan buat Mas
dan aku …itu yang terbaik unutuk kita kan ,
Mas.”
Senyum Rifqi mengembang. Dia mengesun pipiAlma
berkali-kali.
Senyum Rifqi mengembang. Dia mengesun pipi
Ya Allah…senyum itu kapan terakhir
Dinda melihatnya. Sebegitukah inginnya Rifqi terbang ke negeri kancah perang
itu?
“Mas, bolehkah aku meminta agar
Allah mempertemukanmu dengan ku juga semua saudara-saudara kita disana di
sebuah tempat dengan taman kesturi didalamnya. Aku ingin agar kita semua bisa
melihat langit yang sama kelak…”
Rifqi mengacak jilbab Dinda pelan.
Dia menahan senyum gelinya. “Doakan aku bisa melakukan yang terbaik
disana.” Dan menjemput syahid jika bisa,’ batin Rifqi.
***
Dinda menatap layar TV 21 inch itu
dengan mata tak berkedip. Dia punya hobi baru setelah Rifqi benar-benar pergi ke
Gaza . Rifqi
bergabung dengan seluruh dokter dari Asia
sebagai relawan disana.
Setelah Alma tidur dan tak ada pasien lagi, Dinda tak
akan semenit pun melepaskan pandangannya dari wanita jelita yang
menyiarkan berita tentang Gaza
di layar kaca itu. Dia tak akan beranjak sebelum acara seperti Fokus malam,
Metro pagi, siang, petang itu selesai.
Dinda selalu berharap melihat sosok
Rifqi yang secara tidak sengaja tersorot kamera. Dan memastikan kalau laki-laki
yang sebulan lalu telah berangkat bersama dokter-dokter lainnya itu masih
hidup. Dia memang tidak berharap kalau Rifqi kembali tapi setidaknya dia masih
bisa bernafas tenang kalau melihat suaminya masih hidup.
Majalah politik dan koran
internasional yang dulu selalu dihindari Dinda gara-gara isinya tidak ada yang
lain selain Gaza
kini mulai rajin Dinda selipkan ditas kerjanya. Dia tidak peduli jika dia bisa
mual melihat potongan-potongan tubuh setelah jatuhnya Molotov setiap kali
membaca berita tentang Palestina.
Dinda mengeras volume TVnya. Dia ingin
merasakan apa yang dirasakan Rifqi setiap melihat berita ini hingga menangis.
Dia ingin tahu seperti apa sebenernya perasaan Rifqi.
Ya
Allah…Mereka...anak-anak polos tanpa dosa yang tak pernah mengenal kata tertawa
bahagia.
Jantung Dinda berhenti berdetak. Dia
meremas tangan Farhan, adik laki-lakinya, yang pulas di sampingnya. Telinga
Dinda berdenging. Darahnya serasa mampat. Berhenti di sudut jantungnya. Dia
tidak ingin mendengar, melihat dan merasakan apa pun selain sepi.
Illahi!
Jangan! YA Rabbi…hamba mohon....
‘....Pemirsa baru saja kami mendapat
kabar mobil tim mer-C yang membawa dokter-dokter dari seluruh dunia menuju
Palestina dibom bardir oleh Israel .
19 orang meninggal dan sisanya luka parah. Berikut ini adalah nama-nama dokter
yang meninggal dan yang bisa diidentifikasi...’
Rifqi Nur Rahman
Dinda tercekat melihat nama laki-laki
itu masuk daftar. Badannya terguncang hebat. Dia tahu ini akan terjadi. Dia
tahu. Tapi kenapa sesak itu seolah-olah membuatnya hancur. Membuat dunia serasa
kiamat. Tangis Dinda pecah. Dia menggigit ujung bantal sofa, mencegah agar tangisnya
tak semakin kencang.
“Mbak?! Mbak ini kenapa?!
Ya
Rabbi…Allah lebih mencintaimu daripada aku, Rif ….
***
Dinda meremas jemarinya begitu film
yang ada di depannya selesai diputar. Otaknya bekerja aktif mengkopi semua
slide yang ada di film itu. Tangisnya pecah. Disusul peserta lainnya yang
mengikuti acara penggalangan dana sosial untuk Gaza .
Darah, debu, air mata. Semua
tersimpan lengkap di otak besarnya. Dadanya bergemuruh mengingat apa yang
barusan dia saksikan. Sebegitu kejamnya kah Israel pada negeri pasir itu?
Sebegitukah? Kenapa selama ini dia tidak sadar? Kenapa bisa?
Jerit pilu wanita, tangisan bayi,
takbir menggema. Senyum yang menghilang, raut ketakutan, desah ketabahan.
Semuanya seperti melodi yang mengetuk manusia yang masih memiliki jiwa.
Bagaimana mungkin mereka bisa
berkata kalau mereka bahagia mendengar semua keluarga mereka mati syahid.
Kenapa senyum itu masih terkembang kalau mereka kehilangan orang-orang yang
menjadi penopang hidup mereka. Sedang Dinda, berita tentang jenazah Rifqi yang
akan dipulangkan saja membuat tulangnya serasa dicabik-cabik. Dunia pekat. Dan
air mata yang senantiasa membanjir. Dia mengurung diri berhari-hari. Dan
membuat semuanya seolah-olah akhir dari segalanya. Padahal masih ada Alma , ibu, mama dan keluar
besarnya yang ada disampingnya.
Aku...aku....
Dinda membekap mulutnya. Kemana hati nuraniku selama ini. Kenapa aku
tidak bisa merasakan sakitnya kehilangan, padahal aku kehilangan ratusan ribu
saudaraku di negeri sana .
Kenapa aku harus merasa dunia ini kiamat kalau aku hanya kehilangan suami sedang mereka yang kehilangan semuanya saja
masih bisa mengembangkankan senyum mereka.
Bagaimana
mereka bisa menganggap dunia ini tidak kejam kalau mereka selalu disodori
dengan peluru, mesiu, dan Molotov. Kenapa mereka bisa hidup tenang kalau
malaikat maut menjadi bayangan mereka. Kenapa?
“Karena tempat itu adalah pintu syurga, Din. Siapa sih
yang tidak senang jika dia berpijak di depan syurga. Siapa yang tidak senang
ketika mereka tahu kalau mereka bisa masuk surga dengan mudah. “
Tangis Dinda makin kencang mengingat
perkataan Rifqi.
“Saudaraku seiman, mukminin dan
mukminat, ini adalah potongan-potongan film yang diambil asli dari negeri saya
sendiri, Palestina, di Gaza,” suara penerjemah Hafez, laki-laki asal Palestin
yang kebetulan berkunjung ke Indonesia ,
menggema. Dia memutarkan cupilikan kekejaman Israel pada seluruh relawan yang
ikut acara itu. “Saya sebagai warga Palestina mohon doanya kepada semua saudara
di seluruh dunia untuk Palestina. Kita…”
Pikiran Dinda berkecamuk. Dia tak mendengar apa-apa lagi selain suara
kecil hatinya. Ya Allah ampuni aku jika aku baru bisa mengerti keadaan saudaraku saat
ini. Ampuni Ya Rabb....
Dinda menerawang. Dia membiarkan air matanya turun. Perlahan.
Disini disaat kita makan dengan nikmat, mereka sedang
berjuang menyelamatkan nyawa. Disaat kita hanya asyik menonton mereka di tv
mereka sedang menggaungkan takbir sambil berjuang mengusir zionis meski hanya dengan sebuah keyakinan. Disaat
kita sholat dengan terburu-buru gara-gara ingin cepat hang out , mereka masih bisa sujud dengan tenang meski nyawa sedang
teregang dari tubuh mereka. Ketika para wanita disini sibuk memoles diri di
salon, mereka disana berjuang mempertahankan kehormatannya dengan darah dan air
mata. Saat kita mengeluh dengan garangnya matahari tropis, mereka yang ada
disana masih bisa tersenyum meski mesin baja menggilas tubuh mereka.
Mereka tidak peduli dengan peluru yang mengoyak daging
mereka asal mereka bisa mempertahankan tanah mereka. Tidak peduli selongsong
menghujani mereka setiap hari asal keimanan yang menjadi akhir nafas mereka.
Mereka tidak peduli kalau dunia tidak peduli pada mereka asal Allah bersama
mereka.
Andai bisa...andai bisa, aku ingin membawa mereka
kesini. Andai bisa, aku ingin mereka merasakan betapa nikmatnya hidup dalam
damai. Andai bisa, aku ingin para biadap itu enyah dari bumi. Andai bisa aku
ingin membuat mereka tertawa. Andai bisa, aku ingin melihat senyum anak-anak Gaza . Andai bisa....
“Aku ingin
melihat mereka tersenyum. Aku ingin melihat negeri itu tersenyum, Din. Aku
ingin mengembalikan senyum mereka secepatnya.”
Kata-kata Rifqi menggema lagi. Ya, Rif andai kita bisa...
Tidak! Pasti bisa!
“Mulai saat ini aku akan melakukan
apa pun untukmu wahai Gaza .
Sekecil apapun aku akan lakukan untukmu. Aku akan mencoba untuk membuatmu
tersenyum...,” desah Dinda pelan.
***
Ya Allah ampunilah kami jika kami hanya bisa mengirim doa, Maafkan kami wahai saudara-saudaraku kalau kami telah melupakanmu. Maaf
0 komentar:
Posting Komentar