About

If I wind....I can bring every single laugh and tears in the same way
Should I tell you like the same way when I was crying or laughing at that time?

Let's be a friend!!!

Cari Blog Ini

Serpihan Doa untuk Gaza


Serpihan Doa untuk Gaza
            Dinda menahan gemelutuk gerahamnya. Ditatapnya tajam laki-laki yang berdiri dengan pandangan memohon di depannya. Laki-laki yang tiga tahun lalu resmi menjadi pelengkap hidup Dinda.
            Mata Dinda berkabut. Dia mencoba meredam sesak yang meremas-remas paru-parunya. Jantungnya berdetak lambat. Dia bisa merasakan kalau darahnya tersendat-sendat mengalir.
            “Aku mohon, Din. Izikan aku pergi,” pinta Rifqi untuk yang kesekian kalinya.
            Dinda mengalihkan mukanya cepat. Menyembunyikan tangis yang siap pecah.
            “Aku sudah menginginkan hal ini sejak lama, Din. Kamu tahu itu. Dan ini kesempatanku untuk pergi kesana.…” Rifqi menggegam tangan istrinya erat.
            “Tapi kenapa harus Gaza, Mas?!”
            Dinda menundukkan kepalanya dalam-dalam. Bodoh sekali dia menanyakan itu pada laki-laki di depannya ini. Sudah pasti jawabannya itu. Tidak ada yang lain.
            “Karena disanalah aku bisa mewujudkan impianku. Pergi ke negeri para nabi dan menyaksikan sendiri kemulian Masjidil Aqsa.” Rifqi mencoba tersenyum begitu Dinda mulai berani membalas tatapannya.
            “Bohong!”
            Rifqi menahan nafasnya. “Aku…aku…”
            “Itu negeri kancah perang kan, Mas. Negeri yang dipenuhi sungai darah, sorak kepedihan, mayat, mesiu,” Dinda menggigit ujung bibirnya.  “Kenapa Mas harus pergi ke tempat seperti itu? Kenapa?!”
            Diam. Hanya kedipan mata Rifqi dan Dinda yang saling beradu.
            “Kenapa harus kesana, Mas? Tidak ada hal lain kah yang bisa  Mas lakukan tanpa harus kesana?” tangis Dinda pecah.
            “Mas mau bilang kalau Mas ini dokter dan punya kewajiban menyelamatkan nyawa manusia begitu kan?! Mas mau bilang kalau Mas ini merindukan mati syahid di tempat itu kan?! Itu kan impianmu, Mas?!” Suara Dinda melengking beradu dengan hujan Mei yang masih deras.
            Rifqi  memeluk istrinya cepat. “Karena aku manusia, Din. Aku tak akan sanggup melihat penderitaan mereka lebih dari ini. Aku akan kesana apa pun resikonya. Karena dengan pergi kesana pun aku tidak akan bisa meringankan derita mereka. Tapi setidaknya itu adalah bertanggungjawabanku pada sesama saudara, Din.”
            “Lalu bagaimana dengan aku dan Alma.”
            Rifqi melepaskan pelukannya. Ditatapnya mata bulat dan bening Dinda penuh makna. Bayangan tawa manis anak pertamanya berkelebat cepat. Anak yang lahir belum setahun lalu. “Aku menitipkanmu dan Alma pada Allah. Dia lah sebaik-baik penjaga, Din.”
            Dinda terdiam diantara tangisnya. Dia memang tidak pernah bisa dan tidak akan pernah bisa meluluhkan kerasnya hati Rifqi. Rifqi selalu punya sejuta alasan unutuk meyakinkannya. Yah...seperti saat ini.
***
            Dinda menatap butir-butir bening yang mengalir turun di tepi jendela sambil menepuk pelan Alma yang tertidur dipangkuannya. Pikirannya menerawang.
            Tidak ada yang lebih membahagiakan bagi Dinda saat tahu kalau Rifqi meminangnya. Seorang dokter termuda dengan IPK terbaik di kampusnya. Laki-laki yang punya tampang oriental meskipun asli keturunan Indonesia.
            Rifqi yang pintar, charming, punya suara lembut. Rifqi yang selalu menjadi pendokrak semangat alias orator saat mengadakan kampanye menentang kebiadapan bangsa yang pernah dibantai Babilonia itu. Rifqi yang punya semangat juang tinggi. Rifqi yang selalu melakukan sujud panjang dan mendoakan saudara-saudaranya di Palestina. Rifqi yang begitu peduli pada saudaranya. Rifqi yang…ah, membuat Dinda berpikir begitu sempurnanya laki-laki yang dikirim Allah untuknya itu.
            Laki-laki yang punya impian mati syahid itu selalu punya energi ekstra untuk menggalang dana bagi Palestina diantara kesibukannya yang bejibun sebagai dokter anestesi. Dia tidak pernah absent berpartisipasi dalam acara social terutama untuk Gaza.
            “Aku ingin pergi ke Palestina, menyelamatkan orang-orang di sana dan mengusir manusia tak punya perikemanusiaan itu.”
            Dinda tersenyum mengingat kata-kata Rifqi saat dia dan Rifqi menyelesaikan coas mereka bersama-sama. Dia kadang hanya menganggap kata-kata suaminya itu angin lalu. Bukan impian apalagi kenyataan. Tapi tidak untuk saat ini. Dinda tidak pernah menyangka kalau tinggal 48 jam lagi sisa waktu sebelum mengantar Rifqi ke bandara.
            Dinda tidak pernah menyangka kalau tangisan Rifqi saat melihat berita negeri itu adalah tangisan keputusasaan karena tidak bisa membantu apa-apa selain doa kepada Gaza. Dia baru menyadari kenapa Rifqi jadi alergi makan setelah membaca koran. Ya, karena laki-laki itu menahan perih yang meyayat saat melihat bayi-bayi tanpa dosa terlahir bagai monster gara-gara uranium.
            Kenapa? Apa yang sebenarnya membuat hati Rifqi seperti dikuliti setiap melihat, mendengar dan berbicara soal Gaza. Apa yang membuatnya sampai berlinangan air mata seperti itu, Ya Rabb? Padahal apa yang Rifqi dengar, lihat atau bicarakan juga sama apa yang dilihat, didengar dan dibicarakan Dinda. Tapi Dinda hanya berkomentar pendek. ‘Semoga Allah melaknat orang-orang tak beradap seperti mereka.’ Cuma itu tidak lebih dan tidak kurang. Hanya mata sembab yang mewakili nurani perempuannya terketuk. Belum ada linangan air mata yang membanjiri pipinya.
            Jadi apa ya Allah? Apa? Apa yang membuat Rifqi berhasil membuat anak Kapuas di pipinya.
            “Din, kamu tidak apa-apa?”
            Dinda terlonjak kaget saat Rifqi menyentuh pundaknya pelan. Dia tersenyum memebalas tatapan suaminya.
            “Kamu tidak apa-apa?” ulang Rifqi sedikit khawatir.
            Dinda menggeleng cepat.  Ditatapnya Rifqi lebih dalam.
            “Kamu benar-benar ridho denganku kan, Din?”
            Dinda mengagukkan kepalanya lemah. Dia menahan tangisnya. Tidak boleh. Ini detik-detik terakhir dia bisa melihat Rifqi di depannya. Dia tidak boleh membuat laki-laki itu muram gara-gara sifat cengengnya.
            “Din…?”
            Dinda cepat-cepat mengangguk sebelum kemantapan hatinya hilang. Dia tersenyum lebar.  Ya Allah....“Ya, Mas. Insyaallah, aku ridha.”
            Rifqi tersenyum tipis. “Tapi aku tidak janji untuk bisa kembali ke sini. Aku tidak janji, Din.”
            Dinda mempertahankan bibirnya agar membentuk senyuman. “Mas, aku ridha, Mas. Apa pun yang Allah tentukan buat Mas dan aku …itu yang terbaik unutuk kita kan, Mas.”
            Senyum Rifqi mengembang. Dia mengesun pipi Alma berkali-kali.
            Ya Allah…senyum itu kapan terakhir Dinda melihatnya. Sebegitukah inginnya Rifqi terbang ke negeri kancah perang itu?
            “Mas, bolehkah aku meminta agar Allah mempertemukanmu dengan ku juga semua saudara-saudara kita disana di sebuah tempat dengan taman kesturi didalamnya. Aku ingin agar kita semua bisa melihat langit yang sama kelak…”
            Rifqi mengacak jilbab Dinda pelan. Dia menahan senyum gelinya. “Doakan aku bisa melakukan yang terbaik disana.”  Dan menjemput syahid jika bisa,’ batin Rifqi.
***
            Dinda menatap layar TV 21 inch itu dengan mata tak berkedip. Dia punya hobi baru setelah Rifqi benar-benar pergi ke Gaza. Rifqi bergabung dengan seluruh dokter dari Asia sebagai relawan disana.
Setelah Alma tidur dan tak ada pasien lagi, Dinda tak akan semenit pun melepaskan pandangannya dari wanita jelita yang menyiarkan  berita  tentang Gaza di layar kaca itu. Dia tak akan beranjak sebelum acara seperti Fokus malam, Metro pagi, siang, petang itu selesai.
            Dinda selalu berharap melihat sosok Rifqi yang secara tidak sengaja tersorot kamera. Dan memastikan kalau laki-laki yang sebulan lalu telah berangkat bersama dokter-dokter lainnya itu masih hidup. Dia memang tidak berharap kalau Rifqi kembali tapi setidaknya dia masih bisa bernafas tenang kalau melihat suaminya masih hidup.
            Majalah politik dan koran internasional yang dulu selalu dihindari Dinda gara-gara isinya tidak ada yang lain selain Gaza kini mulai rajin Dinda selipkan ditas kerjanya. Dia tidak peduli jika dia bisa mual melihat potongan-potongan tubuh setelah jatuhnya Molotov setiap kali membaca berita tentang Palestina.
            Dinda mengeras volume TVnya. Dia ingin merasakan apa yang dirasakan Rifqi setiap melihat berita ini hingga menangis. Dia ingin tahu seperti apa sebenernya perasaan Rifqi.
            Susah payah ditelan liurnya sendiri saat Dinda menyaksikan seorang anak Palestina mengibarkan bendera negaranya sambil meneriakkan takbir berkali-kali. Hatinya bertalu-talu melihatnya.
            Ya Allah…Mereka...anak-anak polos tanpa dosa yang tak pernah mengenal kata tertawa bahagia.
            Jantung Dinda berhenti berdetak. Dia meremas tangan Farhan, adik laki-lakinya, yang pulas di sampingnya. Telinga Dinda berdenging. Darahnya serasa mampat. Berhenti di sudut jantungnya. Dia tidak ingin mendengar, melihat dan merasakan apa pun selain sepi.
            Illahi! Jangan! YA Rabbi…hamba mohon....
            ‘....Pemirsa baru saja kami mendapat kabar mobil tim mer-C yang membawa dokter-dokter dari seluruh dunia menuju Palestina dibom bardir oleh Israel. 19 orang meninggal dan sisanya luka parah. Berikut ini adalah nama-nama dokter yang meninggal dan yang bisa diidentifikasi...’
            Rifqi Nur Rahman
           Dinda tercekat melihat nama laki-laki itu masuk daftar. Badannya terguncang hebat. Dia tahu ini akan terjadi. Dia tahu. Tapi kenapa sesak itu seolah-olah membuatnya hancur. Membuat dunia serasa kiamat. Tangis Dinda pecah. Dia menggigit ujung bantal sofa, mencegah agar tangisnya tak semakin kencang.
            “Mbak?! Mbak ini kenapa?!
            Ya Rabbi…Allah lebih mencintaimu daripada aku, Rif….
***
            Dinda meremas jemarinya begitu film yang ada di depannya selesai diputar. Otaknya bekerja aktif mengkopi semua slide yang ada di film itu. Tangisnya pecah. Disusul peserta lainnya yang mengikuti acara penggalangan dana sosial untuk Gaza.
            Darah, debu, air mata. Semua tersimpan lengkap di otak besarnya. Dadanya bergemuruh mengingat apa yang barusan dia saksikan. Sebegitu kejamnya kah Israel pada negeri pasir itu? Sebegitukah? Kenapa selama ini dia tidak sadar? Kenapa bisa?
           Jerit pilu wanita, tangisan bayi, takbir menggema. Senyum yang menghilang, raut ketakutan, desah ketabahan. Semuanya seperti melodi yang mengetuk manusia yang masih memiliki jiwa.
            Bagaimana mungkin mereka bisa berkata kalau mereka bahagia mendengar semua keluarga mereka mati syahid. Kenapa senyum itu masih terkembang kalau mereka kehilangan orang-orang yang menjadi penopang hidup mereka. Sedang Dinda, berita tentang jenazah Rifqi yang akan dipulangkan saja membuat tulangnya serasa dicabik-cabik. Dunia pekat. Dan air mata yang senantiasa membanjir. Dia mengurung diri berhari-hari. Dan membuat semuanya seolah-olah akhir dari segalanya. Padahal masih ada Alma, ibu, mama dan keluar besarnya yang ada disampingnya.
            Aku...aku....
            Dinda membekap mulutnya. Kemana hati nuraniku selama ini. Kenapa aku tidak bisa merasakan sakitnya kehilangan, padahal aku kehilangan ratusan ribu saudaraku di negeri sana. Kenapa aku harus merasa dunia ini kiamat kalau aku hanya kehilangan suami  sedang mereka yang kehilangan semuanya saja masih bisa mengembangkankan senyum mereka.
            Bagaimana mereka bisa menganggap dunia ini tidak kejam kalau mereka selalu disodori dengan peluru, mesiu, dan Molotov. Kenapa mereka bisa hidup tenang kalau malaikat maut menjadi bayangan mereka. Kenapa?
            “Karena tempat itu adalah pintu syurga, Din. Siapa sih yang tidak senang jika dia berpijak di depan syurga. Siapa yang tidak senang ketika mereka tahu kalau mereka bisa masuk surga dengan mudah. “
            Tangis Dinda makin kencang mengingat perkataan Rifqi. 
            “Saudaraku seiman, mukminin dan mukminat, ini adalah potongan-potongan film yang diambil asli dari negeri saya sendiri, Palestina, di Gaza,” suara penerjemah Hafez, laki-laki asal Palestin yang kebetulan berkunjung ke Indonesia, menggema. Dia memutarkan cupilikan kekejaman Israel pada seluruh relawan yang ikut acara itu. “Saya sebagai warga Palestina mohon doanya kepada semua saudara di seluruh dunia untuk Palestina. Kita…”
            Pikiran Dinda berkecamuk.  Dia tak mendengar apa-apa lagi selain suara kecil hatinya.  Ya Allah ampuni aku jika aku baru bisa mengerti keadaan saudaraku saat ini. Ampuni Ya Rabb....
            Dinda menerawang.  Dia membiarkan air matanya turun. Perlahan.
Disini disaat kita makan dengan nikmat, mereka sedang berjuang menyelamatkan nyawa. Disaat kita hanya asyik menonton mereka di tv mereka sedang menggaungkan takbir sambil berjuang mengusir  zionis meski hanya dengan sebuah keyakinan. Disaat kita sholat dengan terburu-buru gara-gara ingin cepat hang out , mereka masih bisa sujud dengan tenang meski nyawa sedang teregang dari tubuh mereka. Ketika para wanita disini sibuk memoles diri di salon, mereka disana berjuang mempertahankan kehormatannya dengan darah dan air mata. Saat kita mengeluh dengan garangnya matahari tropis, mereka yang ada disana masih bisa tersenyum meski mesin baja menggilas tubuh mereka.  
Mereka tidak peduli dengan peluru yang mengoyak daging mereka asal mereka bisa mempertahankan tanah mereka. Tidak peduli selongsong menghujani mereka setiap hari asal keimanan yang menjadi akhir nafas mereka. Mereka tidak peduli kalau dunia tidak peduli pada mereka asal Allah bersama mereka.
Andai bisa...andai bisa, aku ingin membawa mereka kesini. Andai bisa, aku ingin mereka merasakan betapa nikmatnya hidup dalam damai. Andai bisa, aku ingin para biadap itu enyah dari bumi. Andai bisa aku ingin membuat mereka tertawa. Andai bisa, aku ingin melihat senyum anak-anak Gaza. Andai bisa....
“Aku ingin melihat mereka tersenyum. Aku ingin melihat negeri itu tersenyum, Din. Aku ingin mengembalikan senyum mereka secepatnya.”
Kata-kata Rifqi menggema lagi. Ya, Rif andai kita bisa...
            Tidak! Pasti bisa!
            “Mulai saat ini aku akan melakukan apa pun untukmu wahai Gaza. Sekecil apapun aku akan lakukan untukmu. Aku akan mencoba untuk membuatmu tersenyum...,” desah Dinda pelan.
***

            Ya Allah ampunilah kami jika kami hanya bisa mengirim doa, Maafkan kami wahai saudara-saudaraku kalau kami telah melupakanmu. Maaf kan kami jika kami tak mampu meringankan bebanmu. Untuk semua saudara seiman jangan lupa untuk menyelipkan sebait doa kita untuk Palestina.


¡Compártelo!

0 komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger
 
Little Queen Wind Copyright © 2011 | Tema diseñado por: compartidisimo | Con la tecnología de: Blogger